1.
Pengertian Transplantasi
Transplantasi berasal dari bahasa
Inggris to transplant, yang berarti to move from one place to another,
bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Adapun pengertian menurut ahli ilmu
kedokteran, transplantasi itu ialah pemindahan jaringan atau organ dari tempat
satu ke tempat lain. Yang dimaksud jaringan di sini ialah kumpulan sel-sel
(bagian terkecil dari individu) yang sama mempunyai fungsi tertentu.
Transplantasi adalah pemindahan
organ tubuh yang masih mempunyai daya hidup sehat untuk menggantikan organ
tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi lagi dengan baik. (Muhammad Ali
Hasan, 2000:121). Pencangkokan ginjal adalah pengoperasian dan pemindahan
ginjal dari orang lain atau dari binatang yang sesuai dengan struktur
anatominya kepada pasien yang membutuhkannya. (Mahjuddin, 2003:130).
Menurut Masjfuk zuhdi, (1994:86). Tranplantasi organ tubuh adalah
pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan
organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik yang apabila
diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita untuk bertahan hidupnya
tidak ada lagi.
Berdasarkan definisi tersebut,
Transplantasi adalah perpindahan sebagian atau seluruh jaringan atau organ dari
satu individu pada individu itu sendiri atau pada individu lainnya baik yang
sama maupun berbeda spesies. Saat ini yang lazim di Indonesia adalah pemindahan
suatu jaringan atau organ antar manusia. Bukan antara hewan ke manusia,
sehingga menimbulkan pengertian bahwa transplantasi adalah pemindahan seluruh
atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain atau dari satu tempat ke
tempat yang lain di tubuh yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk
mengganti organ yang rusak atau tak berfungsi pada penerima dengan organ lain
yang masih berfungsi dari pendonor.
Pada kegiatan transplantasi organ
tubuh melibatkan tiga pihak. Diantaranya donor, resipien, dan tim ahli. Donor
yaitu orang yang menyumbangkan organ tubuhnya yang masih sehat untuk
dipasangkan pada orang lain yang organ tubuhnya menderita sakit atau memiliki
kelainan. Resipien yaitu orang yang menerima organ tubuh dari donor atau orang
yang organ tubuhnya menderita sakit atau memiliki kelainan. Sedangkan tim ahli
adalah para dokter yang menangani oprasi tranplantasi organ tubuh dari pihak
donor kepada resipien.
2.
Jenis - Jenis dan Tipe Transplantasi Anggota
Badan
Berikut
terdapat empat jenis transplantasi :
a. Transplantasi Autograft: Yaitu
perpindahan dari satu tempat ketempat lain dalam tubuh itu sendiri,yang
dikumpulkan sebelum pemberian kemoterapi.
b. Transplantasi Alogenik: Yaitu
perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang sama spesiesnya,baik dengan
hubungan keluarga atau tanpa hubungan keluarga.
c. Transplantasi Isograf: Yaitu
perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang identik,misalnya pada gambar
identik.
d. Transplantasi Xenograft: Yaitu
perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang tidak sama spesiesnya.
Adapun
tipe transplantasi anggota badan ada tiga macam. Yaitu :
a. Donor
orang yang masih hidup
Dalam tipe ini diperlukan
seleksi yang cermat dan harus diadakan pemeriksaan kesehatan yang lengkap dan
menyeluruh baik terhadap donor maupun resipien. Hal ini dilakukan untuk
menghindari kegagalan tranplantasi yang disebabkan adanya penolakan tubuh
resipien dan juga untuk menghindari dan mencegah resiko bagi donor. Yang perlu
diperhatikan adalah :
1) Kecocokan
organ tubuh antara donor dan resipien.
2) Kesehatan
si donor, baik sebelum diangkat organ
tubuhnya maupun
sesudahnya.
b.
Donor dari orang yang dalam keadaan koma
Yaitu
pentranplantasian organ tubuh dimana seorang pendonor dalam keadaan koma atau diduga
kuat akan segera meninggal. Menurut M. Ali Hasan, selama orang itu masih hidup
tidak boleh organ tubuhnya diambil. Karena itu akan mempercepat kematiannya dan berarti
mendahului kehendak Allah. Juga tidak etis memperlakukan orang yang sudah koma
dengan mempercepat
kematiannya. Selama masih ada nyawanya wajib berikhtiar untuk menyembuhkannya.
c. Donor
orang yang sudah meninggal
Menurut Prof. Dr.H Abuddin
nata, (2001:102), Yaitu organ tubuh yang di tranplantasikan diambil ketika
donor dinyatakan sudah meninggal. Adapun donor organ tubuh orang yang sudah meninggal, seperti
mata, jantung dan ginjal menurut M. Ali Hasan tidak menyalahi aturan agama
islam, dengan alasan :
1) Alangkah
terpuji bila organ tubuh itu dapat dimanfaatkan oleh orang lain yang masih
memerlukannya daripada rusak begitu saja setelah dikubur.
2) Tindakan
kemanusiaan sangat dihargai oleh agama Islam.
3) Menghilangkan
penderitaan orang lain (Bahaya Kemudharatan dihilangkan).
Meskipun dibenarkan, tetapi perlu diperhatikan
beberapa hal :
1) Izin
dari keluarga si mayat, supaya tidak timbul fitnah dikemudian hari.
2) Mungkin
juga berbentuk wasiat dari pendonor selagi masih hidup.
Sedangkan Djamaluddin
Miri membagi transplantasi menjadi dua bagian :
a. Transplantasi
jaringan seperti pencangkokan kornea mata.
b. Transplantasi
organ seperti pencangkokan organ ginjal, jantung dan sebagainya.
Melihat dari hubungan genetik antara donor (pemberi
jaringan atau organ yang ditransplantasikan) dari resipien (orang yang menerima
pindahan jaringan atau organ), ada tiga macam pencangkokan :
a. Auto transplantasi, yaitu
transplantasi di mana donor resipiennya satu individu. Seperti seorang yang
pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan daging dari bagian
badannya yang lain dalam badannya sendiri.
Pada auto transplantasi hampir selalu tidak pernah mendatangkan reaksi
penolakan, sehingga jaringan atau organ yang ditransplantasikan hampir selalu
dapat dipertahankan oleh resipien dalam jangka waktu yang cukup lama.
b. Homo transplantasi, yakni di mana
transplantasi itu donor dan resipiennya individu yang sama jenisnya, (jenis di
sini bukan jenis kelamin, tetapi jenis manusia dengan manusia). Pada homo transplantasi ini bisa
terjadi donor dan resipiennya dua individu yang masih hidup, bisa juga terjadi
antara donor yang telah meninggal dunia yang disebut cadaver donor, sedang resipien masih hidup. Pada homo transplantasi
dikenal tiga kemungkinan :
1) Apabila resipien dan donor adalah
saudara kembar yang berasal dari satu telur, maka transplantasi hampir selalu
tidak menyebabkan reaksi penolakan. Pada golongan ini hasil transplantasinya
serupa dengan hasil transplantasi pada auto transplantasi.
2) Apabila resipien dan donor adalah
saudara kandung atau salah satunya adalah orang tuanya, maka reaksi penolakan
pada golongan ini lebih besar daripada golongan pertama, tetapi masih lebih
kecil daripada golongan ketiga.
3) Apabila resipien dan donor adalah
dua orang yang tidak ada hubungan saudara, maka kemungkinan besar transplantasi
selalu menyebabkan reaksi penolakan.
Pada waktu sekarang homo
transplantasi paling sering dikerjakan dalam klinik, terlebih-lebih dengan
menggunakan cadaver donor, karena :
1) Kebutuhan organ dengan mudah dapat
dicukupi, karena donor tidak sulit dicari.
2) Dengan perkembangan ilmu pengetahuan
yang sangat pesat, terutama dalam bidang immunologi, maka reaksi penolakan
dapat ditekan seminimal mungkin.
c. Hetero transplantasi ialah yang
donor dan resipiennya dua individu yang berlainan jenisnya, seperti
transplantasi yang donornya adalah hewan sedangkan resipiennya manusia. Pada hetero
transplantasi hampir selalu meyebabkan timbulnya reaksi penolakan yang sangat
hebat dan sukar sekali diatasi. Maka itu, penggunaanya masih terbatas pada
binatang percobaan. Tetapi pernah diberitakan adanya percobaan
mentransplantasikan kulit babi yang sudah di iyophilisasi untuk menutup luka
bakar yang sangat luas pada manusia.
Sekarang hampir semua organ telah dapat
ditransplantasikan, sekalipun sebagian masih dalam taraf menggunakan binatang
percobaan, kecuali otak, karena memang tehnisnya amat sulit. Namun demikian
pernah diberitakan bahwa di Rusia sudah pernah dilakukan percobaan
mentransplantasikan kepala pada binatang dengan hasil baik.
3.
Hukum Transplantasi Anggota Badan
Hukum
transplantasi anggota badan jika si pendonor masih hidup menurut Prof. Dr. H
Abuddinnata, (2001:102), Donor semacam ini hukumnya haram. Apabila tranplantasi
organ tubuh diambil dari orang yang masih sehat. Sesuai dengan firman Allah
SWT. QS. Al-Baqarah ayat 195 yang artinya :
Artinya
: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” ( Q.S.
Al-Baqarah : 195).
Ayat
tersebut menjelaskan agar manusia tidak melakukan tindakan yang gegabah dan
ceroboh dalam melakukan sesuatu. Tetapi harus memikirkan akibatnya yang
kemungkinan besar akan lebih berakibat fatal bagi sipendonor. Orang yang telah
mendonorkan organ tubuhnya tidak akan mendapatkan organ tubuhnya yang telah
didonorkan kembali. Berdasarkan kaidah ushul :
دَرْءُ المَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى
جَلْبٍ المَصَالِحِ
Artinya
: “Menghindari madarat (bahaya) harus didahulukan atas mencari (menarik)
maslahah (kebaikan).”
Dan dalam kaidah ushul yang lain :
اَلضَّرُوْرَةُ لاَيَزَالُ بِا لضَّرَرِ
Artinya : “Bahaya (kemudlaratan) tidak boleh dihilangkan
dengan bahaya (kemudlaratan) lainnya.”
Namun, dalam pembicaraan kelompok fiqh
Islam yang berada dibawah naungan Rabithah alam Islami pada pertemuannya yang
kedelapan yang diadakan pada bulan Rabiul Awwal 1405 H di Makkah. Dalam
pertemuan itu membicarakan tentang transplantasi. Berikut hasil dari pertemuan
tersebut :
“Sesungguhnya
mengambil anggota badan orang yang hidup, dan transplantasinya pada badan orang
lain yang dibutuhkan untuk menyelamatkan hidupnya atau untuk mengembalikan
fungsi dari sebagian anggota badannya. Maka ini diperbolehkan dan tidak
bertentangan dengan kehormatan manusia yang diambil anggota badannya, karena
dalam hal ini banyak kemaslahatannya, dan termasuk menolong orang yang
ditransplantasi, ini termasuk perbuatan yang diperbolehkan dan termasuk
perbuatan mulya bila memenuhi syarat-syarat berikut ini :
1.
Tidak
mendatangkan bahaya bagi orang yang menghibahkan anggota badannya yang dapat
mengganggu kehidupannya, seperti dalam kaedah syariah : bahwa bahaya tidak
dapat dihilangkan dengan bahaya lainnya, atau dengan yang lebih bahaya, karena
penghibah dalam hal ini termasuk dalam golongan orang yang membahayakan dirinya dan ini dilarang
oleh syariah.
2.
Hendaknya
penghibahan anggota badan itu dengan suka rela dari penghibah dan tidak ada
paksaan.
3.
Hendaknya
transplantasi ini adalah jalan satu-satunya yang mungkin dilakukan untuk
menyelamatkan pasien.
4.
Hendaknya
kesuksesan proses transplantasi dan pengambilan anggota badan sukses pada
umumnya.
Adapun donor yang
benar-benar dilarang dan diharamkan adalah mendonorkan anggota tubuhnya yang
dapat mengakibatkan terjadinya pencampur-adukan nasab atau keturunan. Misalnya,
donor testis bagi pria atau donor indung telur bagi perempuan. Sungguh Islam
telah melarang untuk menisbahkan dirinya pada selain bapak maupun ibunya. Allah
SWT. Berfirman dalam Q.S. Al-Mujaddilah ayat 2 yang artinya : “Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita
yang melahirkan mereka.” (Q.S. al-Mujadilah [58] : 2)
Selanjutnya Rasulullah SAW. Bersabda, yang
artinya :
“Barang siapa yang menasabkan dirinya
pada selain bapaknya, atau mengurus sesuatu yang bukan urusannya maka atas
orang tersebut adalah laknat Allah, Malaikat dan seluruh manusia”.
Begitu pula dinyatakan oleh Rasulullah SAW :
Artinya : “Wanita manapun yang telah
mamasukkan nasabnya pada suatu kaum padahal bukan bagian dari kaum tersebut
maka dia terputus dari Allah, dia tidak akan masuk surga; dan laki-laki manapun
yang menolak anaknya padahal dia mengetahui (bahwa anak tersebut anaknya) maka
Allah menghijab Diri-Nya dari laki-laki tersebut, dan Allah akan menelanjangi
(aibnya) dihadapan orang-orang yang terdahulu maupun yang kemudian”.
Adapun donor kedua testis
maupun kedua indung telur, hal tersebut akan mengakibatkan kemandulan. Tentu hal
ini bertentangan dengan perintah Islam untuk memelihara keturunan.
Hukum kedua yaitu mentranplantasikan
organ tubuh dalam keadaan sekarat atau koma. Dan itu tidak diperbolehkan.
Karena hal yang demikian sama saja mendahului kehendak Allah. Hal tersebut
dapat disebut euthanasia atau mempercepat kematian, meskipun dokter mengatakan
si donor segera meninggal. Sesuai dengan hadits Nabi SAW. :
Artinya
: “Tidak boleh membuat mudharat pada dirinya dan tidak boleh pula membikin
mudharat pada orang lain.” (HR. Ibnu Majah).
Berdasarkan hadits tersebut,
mengambil organ tubuh orang dalam keadaan kesakarat atau koma haram hukumnya
karena dapat mudharat kepada donor tersebut yang berakibat mempercepat
kematiannya. Manusia wajib berusaha untuk menyembuhkan penyakit demi
mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati itu ditangan allah. Oleh sebab
itu manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri atau mempercepat kematian
orang lain, meskipun hal itu dilakukan oleh dokter dengan maksud mengurangi
atau menghilangkan penderitaan pasien.
Kita tidak boleh
membahayakan orang lain untuk keuntungan diri sendiri. Perbuatan tersebut
diharamkan dengan alasan apapun sekalipun untuk tujuan yang mulia.
Hukum yang ketiga adalah
untuk pendonor yang keadaannya sudah meninggal. Mengambil organ tubuh donor
yang sudah meninggal hukumnya mubah, dengan syarat :
a. Bahwa
resipien dalam keadaan darurat yang mengancam jiwanya bila tidak dilakukan
tranplantasi itu, sedangkan ia sudah berobat secara optimal, tetapi tidak
berhasil.
b. Pencangkokan
cocok dengan organ resipien.
c. Tidak
akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat bagi resipien dari pada
keadaan sebelumnya.
d. Harus
ada wasiat dari donor kepada ahli warisnya untuk menyumbangkan organ tubuhnya
apabila ia sudah meninggal dan atau ada izin dari ahli warisnya.
Sesuai dengan Fatwa MUI
tanggal 29 Juni 1987, bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih
baik maka pengambilan jantung orang telah meninggal untuk kepentingan orang
yang masih hidup dapat dibenarkan oleh hukum islam dengan syarat ada izin dari
yang bersangkutan dan izin dari keluarga wali. Ada beberapa hal yang
membolehkan transplantasi :
a. Pengambilan
anggota badan dari orang yang meninggal untuk menyelamatkan orang lain yang
membutuhkan, dengan syarat : hendaknya orang yang diambil anggota badannya
adalah orang yang mukallaf, dan dia telah memberikan izin pengambilan anggota
badannya semasa hayatnya.
b. Boleh
mengambil anggota badan hewan yang bisa dimakan setelah disembelih, atau hewan
lainnya ketika dalam keadaan darurat untuk ditransplantasikan pada manusia yang
membutuhkan.
c. Mengambil
sebagian anggota badan orang lain untuk ditransplantasikan atau untuk menambal
anggota badan orang yang membutuhkan.
d. Boleh
memasang anggota badan buatan yang terbuat dari metal atau bahan lainnya pada
tubuh manusia untuk mengobati sakitnya seperti persendian atau heart valve dan
lainnya.
Yang
tidak membolehkan donor orang yang sudah meninggal, alasannya adalah seseorang
yang sudah mati tidak dibolehkan
menyumbangkan organ tubuhnya atau mewasiatkan untuk menyumbangkannya. Karena
seorang dokter tidak berhak memanfaatkan salah satu organ tubuh seseorang yang
telah meninggal untuk ditransplantasikan kepada orang yang membutuhkan.
Adapun
hukumnya mayat memiliki kehormatan yang wajib dipelihara sebagaimana orang
hidup. dan yang demikian (transplantasi) adalah penganiayaan terhadapnya. maka
Allah SWT. Telah mengharamkan pelanggaran kehormatan mayat sebagaimana
pelanggaran kehormatan orang hidup. Diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA
bahwa Rasulullah SAW. Bersabda :
إِنَّ
كَسْرَ عِظَمُ الْمَيِّتِ مِثْلُ كَسْرِ عِظَمَهُ حَيًّا - رواه احمد
وابو داوود وابن ماجه -
Artinya: “Sesungguhnya
memecahkan tulang mayat sama seperti memecahkan tulangnya sewaktu masih hidup.” (HR.
Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah)
Menurut
M. Ali Hasan haram hukumnya apabila ada unsur merusak mayat karena itu sebagai
penghinaan bagi mayat tersebut. Kekhawatiran lain adalah mengenai orang yang mendonorkan tubuhnya kepada
orang yang berlainan agama atau orang yang berbuat maksiat dengan pemikiran
perbuatan maksiatnya akan berkelanjutan. Kekhawatiran ini terjawab berdasarkan
QS. An-Najm ayat 39-41 yang artinya : “Dan bahwa manusia itu tidak memproleh
selain apa yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan.
Kemudian akan diberi balasannya dengan balasan yang paling sempurna” (Q.S. An-Najm :
39-41)
Berdasar
ayat tersebut, seorang akan mendapat balasan sesuai amalnya didunia, dosa orang
lain tidak menjadi tanggungjawabnya. Mengenai organ tubuh yang diharamkan yang
dicangkokkan kepada manusia, ada dua pendapat :
a. Halal
karena darurat dan tidak ada jalan lain lagi.
b. Haram
Para ulama fiqh (pakar hukum Islam) klasik sepakat bahwa
menyambung organ tubuh manusia dengan organ manusia boleh selama organ lainnya
tidak didapatkan. Sedangkan pakar hukum Islam kontemporer berbeda pendapat akan
boleh dan tidaknya transplantasi organ tubuh manusia. Berikut ini pernyataan
para pakar hukum Islam klasik dan kontemporer :
Imam al-Nawawi (W. abad VI) dalam
karyanya Minhaj al-Talibin mengatakan : “Jika seseorang menyambung tulangnya
dengan barang yang najis karena tidak ada barang yang suci maka hukumnya udhzur
(tidak apa-apa). Namun, apabila ada barang yang suci kemudian disambung dengan
barang yang najis maka wajib dibuka jika tidak menimbulkan bahaya, dikatakan
jika membahayakan atau (menimbulkan) kematian maka tidak mengambilnya (tulang
tersebut) itu dibolehkan”.
Zakariya al-Ansari (abad IX) dalam
karyanya Fathu al-Wahhab Sharh Manhaj al-Tullab, kitab Manhaj al-Tullab
merupakan kitab ringkasan dari kitab Minhaj al-Talibin karya imam al-Nawawi (W.
abad VI). Zakariya mengatakan : “Jika
ada seseorang melakukan penyambungan tulangnya atas dasar butuh dengan tulang
yang najis dengan alasan tidak ada tulang lain yang cocok. Maka hal itu,
diperbolehkan dan sah sholatnya dengan tulang najis tersebut. Kecuali, jika dalam
penyambungan itu tidak ada unsur kebutuhan atau ada tulang lain yang suci
selain tulang manusia maka ia wajib membuka (mencabut) kembali tulang najis
tersebut walaupun sudah tertutup oleh daging. Dengan catatan, jika proses
pengambilan tulang najis tersebut aman (tidak membahayakan) dan tidak
menyebabkan kematian”.
Al-Bujayrami, dalam komentarnya atas
‘ibarah (teks) kitab Fathu al-Wahhab
di atas, mengatakan bahwa tidak diperbolehkannya menyambung tulang dengan
tulang manusia, jika yang lain masih ada walaupun tulangnya hewan yang najis
seperti celeng dan anjing. Oleh karena itu, jika yang lain baik yang suci
maupun yang najis tidak ada, maka menyambung tulang dengan tulang manusia itu
hukumnya boleh.
Pakar hukum Islam kontemporer dalam
masalah transplantasi boleh dan tidaknya ada dua pendapat :
a. Pertama, Ibn Baz ulama dari Saudi Arabia mengatakan bahwa praktek
transplantasi anggota tubuh manusia kepada manusia lainnya yang dilakukan atas
dasar kemaslahatan pada orang lain itu tidak boleh berdasarklan hadith Nabi
saw.
كَسْرُ
عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
Artinya : “Merusak tulang orang mati
hukumnya sama dengan merusak tulang orang hidup”.
Hadits
tersebut menunjukkan bahwa manusia itu muhtaramah (mulya) hidup dan matinya dan
kalaupun si mayyit mewasiatkan anggota tubuhnya untuk diberikan kepada orang
lain, maka wasiat itu tidak sah karena manusia tidak mempunyai (hak atas)
tubuhnya sendiri dan ahli waris hanya menerima warisan dari mayyit harta
peninggalan saja bukan termasuk di dalamnya (warisan) anggota tubuh mayyit.
b. Kedua, berbeda dengan Ibn Baz para pakar
hukum Islam kontemporer di antaranya Qardawi,
al-Buti, Abd Allah Kanun dan Abd Allah al-Faqih yang mengatakan bahwa
praktek transplantasi boleh dan kebolehannya itu bersifat muqayyad (bersyarat).
Seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan
menimbulkan bahaya, kesulitan dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang
yang punya hak tetap atas dirinya misalnya suami atau orang tua. Qardawi dalam
fatwanya mengatakan : “Ada yang mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang
mendermakan atau mendonorkan sesuatu ialah apabila itu miliknya. Maka,
apakah seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakan
sekehendak hatinya, misalkan mendodnorkannya. Lanjut Qardawi, perlu
diperhatikan bahwa meskipun tubuh merupakan titipan dari Allah, tetapi manusia
diberi wewenang untuk memanfaatkan dan mempergunakannya, sebagaimana harta.
Sebagaimana firman Allah SWT. Dalam surat an-Nur ayat 33.
Artinya : “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga
kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan
budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat
perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan
berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya
kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan
pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, Karena kamu hendak mencari
keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka
dipaksa itu.”
Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian
hartanya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan
juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang
memerlukannya. Hanya saja perbedaannya adalah bahwa manusia adakalanya boleh
mendermakan atau membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh
mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan ia tidak boleh mendermakan dirinya
(mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari
penderitaan yang sangat atau dari kehidupan yang sengsara.
Sementara
hasil keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama sebagaimana termaktub dalam ahkamul
fuqaha mengatakan bahwa pecangkokan organ tubuh manusia ada yang membolehkan
dengan syarat : Karena diperlukan, dengan ketentuan tertib pengamanan dan
tidak ditemukan selain organ tubuh manusia itu.
Dari
penjelasan di atas bahwa transpslntasi dalam hukum Islam terdapat perselisihan
pendapat dalam hal ini ada yang melarang praktek tersebut secara mutlak
berdasarkan hadith Nabi saw dan dalil ‘aqli bahwa anggota tubuh manusia
bukan milik manusia sendiri melainkan hanya titipan Allah yang harus dijaga
hidup dan mati.
Sementara
pakar hukum Islam lainnya mengatakan boleh dengan beberapa syarat seperti
dijelaskan di atas, kalau tidak memenuhi syarat-syaratnya maka hukumnya
sebagaimana pendapat pertama yaitu tidak boleh.
Termasuk
syarat yang memperbolehkan praktek transplantasi menurut banyak pakar hukum
Islam yaitu bahwa praktek tersebut dilakukan dengan hibah (pemberian) tanpa
adanya jual beli di antara dua pihak pendonor dan resipien namun ada pendapat
yang mengatakan bahwa praktek transplantasi boleh dilakukan dengan jual beli.
Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, dalam
bukunya Masail Fiqhiyah menyebutkan kriteria boleh dan tidaknya transplantasi
dalam pandangan Islam :
a. Pertama; apabila pencangkokan dilakukan
atau diambil dari donor yang masih hidup maka Islam tidak membenarkannya.
Dasarnya adalah Surat Al-Baqarah ayat 195.
Ayat
di atas menunjukkan manunusia agar tidak gegabah dalam berbuat sesuatu yang
bisa berakibat fatal bagi dirinya, sekalipun hal tersebut mempunyai tujuan
kemanusiaan.
b. Kedua;
apabila pencangkokan diambil dari donor yang dalam keadaan koma atau hamper
dipastikan meninggal, maka Islam pun tidak membenarkannya. Dasarnya adalah
Hadits Nabi riwayat Malik dari Anas
bin Yahya :
لاَ
ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Artinya : “Tidak boleh membikin
madhlarat pada dirinya dan tidak boleh membikin madhlarat pada orang lain".
c. Ketiga;
apabila pencangkokan diambilkan dari donor yang sudah meninggal secara kliniks
dan yuridis, maka Islam membolehkannya dengan syarat :
1) Dalam keadaan darurat
atau sangat membutuhkannya
2) Pencangkokan
tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat bagi resepien.
Dasarnya adalah
Al Qur’an surat al-Maidah ayat 32
Artinya : “…
dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia
telah memelihara kehidupan manusia semuanya… “
Hadits Nabi SAW :
تَدَاوُوْا
عِبَادِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ
دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ
Artinya : “berobatlah kamu hai
hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan sesuatu penyakit,
kecuali Dia meletakkan obat penyembuhnya, selain penyakit yang satu yaitu
penyakit tua (pikun).” (Hadits riwayat Ahmad bin Hambal, Al-Tirmidzi, Abu Daud,
Al-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibran dan Al-Hakim dari Usamah bin Syarik)”
Kaidah hokum
Islam
الضَّرَرُ
يُزَالُ
Artinya : “Bahaya
itu harus dilenyapkan atau dihilangkan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar