Rabu, 05 Maret 2014

TRANSPLANTASI ANGGOTA BADAN - Masail Fiqhiyah



1.    Pengertian Transplantasi
Transplantasi berasal dari bahasa Inggris to transplant, yang berarti to move from one place to another, bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Adapun pengertian menurut ahli ilmu kedokteran, transplantasi itu ialah pemindahan jaringan atau organ dari tempat satu ke tempat lain. Yang dimaksud jaringan di sini ialah kumpulan sel-sel (bagian terkecil dari individu) yang sama mempunyai fungsi tertentu.
Transplantasi adalah pemindahan organ tubuh yang masih mempunyai daya hidup sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi lagi dengan baik. (Muhammad Ali Hasan, 2000:121). Pencangkokan ginjal adalah pengoperasian dan pemindahan ginjal dari orang lain atau dari binatang yang sesuai dengan struktur anatominya kepada pasien yang membutuhkannya. (Mahjuddin, 2003:130).
Menurut Masjfuk zuhdi, (1994:86). Tranplantasi organ tubuh adalah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita untuk bertahan hidupnya tidak ada lagi.
Berdasarkan definisi tersebut, Transplantasi adalah perpindahan sebagian atau seluruh jaringan atau organ dari satu individu pada individu itu sendiri atau pada individu lainnya baik yang sama maupun berbeda spesies. Saat ini yang lazim di Indonesia adalah pemindahan suatu jaringan atau organ antar manusia. Bukan antara hewan ke manusia, sehingga menimbulkan pengertian bahwa transplantasi adalah pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain atau dari satu tempat ke tempat yang lain di tubuh yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk mengganti organ yang rusak atau tak berfungsi pada penerima dengan organ lain yang masih berfungsi dari pendonor.
Pada kegiatan transplantasi organ tubuh melibatkan tiga pihak. Diantaranya donor, resipien, dan tim ahli. Donor yaitu orang yang menyumbangkan organ tubuhnya yang masih sehat untuk dipasangkan pada orang lain yang organ tubuhnya menderita sakit atau memiliki kelainan. Resipien yaitu orang yang menerima organ tubuh dari donor atau orang yang organ tubuhnya menderita sakit atau memiliki kelainan. Sedangkan tim ahli adalah para dokter yang menangani oprasi tranplantasi organ tubuh dari pihak donor kepada resipien.
2.    Jenis - Jenis dan Tipe Transplantasi Anggota Badan
Berikut terdapat empat jenis transplantasi :
a.    Transplantasi Autograft: Yaitu perpindahan dari satu tempat ketempat lain dalam tubuh itu sendiri,yang dikumpulkan sebelum pemberian kemoterapi.
b.    Transplantasi Alogenik: Yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang sama spesiesnya,baik dengan hubungan keluarga atau tanpa hubungan keluarga.
c.    Transplantasi Isograf: Yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang identik,misalnya pada gambar identik.
d.    Transplantasi Xenograft: Yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang tidak sama spesiesnya.
Adapun tipe transplantasi anggota badan ada tiga macam. Yaitu :
a.    Donor orang yang masih hidup
Dalam tipe ini diperlukan seleksi yang cermat dan harus diadakan pemeriksaan kesehatan yang lengkap dan menyeluruh baik terhadap donor maupun resipien. Hal ini dilakukan untuk menghindari kegagalan tranplantasi yang disebabkan adanya penolakan tubuh resipien dan juga untuk menghindari dan mencegah resiko bagi donor. Yang perlu diperhatikan adalah :
1)     Kecocokan organ tubuh antara donor dan resipien.
2)     Kesehatan si donor, baik sebelum diangkat organ tubuhnya maupun sesudahnya.
b.    Donor dari orang yang dalam keadaan koma
Yaitu pentranplantasian organ tubuh dimana seorang pendonor dalam keadaan koma atau diduga kuat akan segera meninggal. Menurut M. Ali Hasan, selama orang itu masih hidup tidak boleh organ tubuhnya diambil. Karena itu akan mempercepat kematiannya dan berarti mendahului kehendak Allah. Juga tidak etis memperlakukan orang yang sudah koma dengan mempercepat kematiannya. Selama masih ada nyawanya wajib berikhtiar untuk menyembuhkannya.
c.    Donor orang yang sudah meninggal
Menurut Prof. Dr.H Abuddin nata, (2001:102), Yaitu organ tubuh yang di tranplantasikan diambil ketika donor dinyatakan sudah meninggal. Adapun donor organ tubuh orang yang sudah meninggal, seperti mata, jantung dan ginjal menurut M. Ali Hasan tidak menyalahi aturan agama islam, dengan alasan :
1)    Alangkah terpuji bila organ tubuh itu dapat dimanfaatkan oleh orang lain yang masih memerlukannya daripada rusak begitu saja setelah dikubur.
2)    Tindakan kemanusiaan sangat dihargai oleh agama Islam.
3)    Menghilangkan penderitaan orang lain (Bahaya Kemudharatan dihilangkan).
Meskipun dibenarkan, tetapi perlu diperhatikan beberapa hal :
1)    Izin dari keluarga si mayat, supaya tidak timbul fitnah dikemudian hari.
2)    Mungkin juga berbentuk wasiat dari pendonor selagi masih hidup.
Sedangkan Djamaluddin Miri membagi transplantasi menjadi dua bagian :
a.     Transplantasi jaringan seperti pencangkokan kornea mata.
b.     Transplantasi organ seperti pencangkokan organ ginjal, jantung dan sebagainya.
Melihat dari hubungan genetik antara donor (pemberi jaringan atau organ yang ditransplantasikan) dari resipien (orang yang menerima pindahan jaringan atau organ), ada tiga macam pencangkokan :
a.    Auto transplantasi, yaitu transplantasi di mana donor resipiennya satu individu. Seperti seorang yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan daging dari bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri. Pada auto transplantasi hampir selalu tidak pernah mendatangkan reaksi penolakan, sehingga jaringan atau organ yang ditransplantasikan hampir selalu dapat dipertahankan oleh resipien dalam jangka waktu yang cukup lama.
b.    Homo transplantasi, yakni di mana transplantasi itu donor dan resipiennya individu yang sama jenisnya, (jenis di sini bukan jenis kelamin, tetapi jenis manusia dengan manusia). Pada homo transplantasi ini bisa terjadi donor dan resipiennya dua individu yang masih hidup, bisa juga terjadi antara donor yang telah meninggal dunia yang disebut cadaver donor, sedang resipien masih hidup. Pada homo transplantasi dikenal tiga kemungkinan :
1)    Apabila resipien dan donor adalah saudara kembar yang berasal dari satu telur, maka transplantasi hampir selalu tidak menyebabkan reaksi penolakan. Pada golongan ini hasil transplantasinya serupa dengan hasil transplantasi pada auto transplantasi.
2)    Apabila resipien dan donor adalah saudara kandung atau salah satunya adalah orang tuanya, maka reaksi penolakan pada golongan ini lebih besar daripada golongan pertama, tetapi masih lebih kecil daripada golongan ketiga.
3)    Apabila resipien dan donor adalah dua orang yang tidak ada hubungan saudara, maka kemungkinan besar transplantasi selalu menyebabkan reaksi penolakan.
Pada waktu sekarang homo transplantasi paling sering dikerjakan dalam klinik, terlebih-lebih dengan menggunakan cadaver donor, karena :
1)    Kebutuhan organ dengan mudah dapat dicukupi, karena donor tidak sulit dicari.
2)    Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, terutama dalam bidang immunologi, maka reaksi penolakan dapat ditekan seminimal mungkin.
c.    Hetero transplantasi ialah yang donor dan resipiennya dua individu yang berlainan jenisnya, seperti transplantasi yang donornya adalah hewan sedangkan resipiennya manusia. Pada hetero transplantasi hampir selalu meyebabkan timbulnya reaksi penolakan yang sangat hebat dan sukar sekali diatasi. Maka itu, penggunaanya masih terbatas pada binatang percobaan. Tetapi pernah diberitakan adanya percobaan mentransplantasikan kulit babi yang sudah di iyophilisasi untuk menutup luka bakar yang sangat luas pada manusia.
Sekarang hampir semua organ telah dapat ditransplantasikan, sekalipun sebagian masih dalam taraf menggunakan binatang percobaan, kecuali otak, karena memang tehnisnya amat sulit. Namun demikian pernah diberitakan bahwa di Rusia sudah pernah dilakukan percobaan mentransplantasikan kepala pada binatang dengan hasil baik.
3.    Hukum Transplantasi Anggota Badan
Hukum transplantasi anggota badan jika si pendonor masih hidup menurut Prof. Dr. H Abuddinnata, (2001:102), Donor semacam ini hukumnya haram. Apabila tranplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih sehat. Sesuai dengan firman Allah SWT. QS. Al-Baqarah ayat 195 yang artinya :
Artinya : “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” ( Q.S. Al-Baqarah : 195).
Ayat tersebut menjelaskan agar manusia tidak melakukan tindakan yang gegabah dan ceroboh dalam melakukan sesuatu. Tetapi harus memikirkan akibatnya yang kemungkinan besar akan lebih berakibat fatal bagi sipendonor. Orang yang telah mendonorkan organ tubuhnya tidak akan mendapatkan organ tubuhnya yang telah didonorkan kembali. Berdasarkan kaidah ushul :
دَرْءُ المَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبٍ المَصَالِحِ
Artinya : “Menghindari madarat (bahaya) harus didahulukan atas mencari (menarik) maslahah (kebaikan).”
Dan dalam kaidah ushul yang lain :
اَلضَّرُوْرَةُ لاَيَزَالُ بِا لضَّرَرِ
Artinya : “Bahaya (kemudlaratan) tidak boleh dihilangkan dengan bahaya (kemudlaratan) lainnya.”
Namun, dalam pembicaraan kelompok fiqh Islam yang berada dibawah naungan Rabithah alam Islami pada pertemuannya yang kedelapan yang diadakan pada bulan Rabiul Awwal 1405 H di Makkah. Dalam pertemuan itu membicarakan tentang transplantasi. Berikut hasil dari pertemuan tersebut :
“Sesungguhnya mengambil anggota badan orang yang hidup, dan transplantasinya pada badan orang lain yang dibutuhkan untuk menyelamatkan hidupnya atau untuk mengembalikan fungsi dari sebagian anggota badannya. Maka ini diperbolehkan dan tidak bertentangan dengan kehormatan manusia yang diambil anggota badannya, karena dalam hal ini banyak kemaslahatannya, dan termasuk menolong orang yang ditransplantasi, ini termasuk perbuatan yang diperbolehkan dan termasuk perbuatan mulya bila memenuhi syarat-syarat berikut ini :
1.     Tidak mendatangkan bahaya bagi orang yang menghibahkan anggota badannya yang dapat mengganggu kehidupannya, seperti dalam kaedah syariah : bahwa bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya lainnya, atau dengan yang lebih bahaya, karena penghibah dalam hal ini termasuk dalam golongan orang  yang membahayakan dirinya dan ini dilarang oleh syariah.
2.     Hendaknya penghibahan anggota badan itu dengan suka rela dari penghibah dan tidak ada paksaan.
3.     Hendaknya transplantasi ini adalah jalan satu-satunya yang mungkin dilakukan untuk menyelamatkan pasien.
4.     Hendaknya kesuksesan proses transplantasi dan pengambilan anggota badan sukses pada umumnya.
Adapun donor yang benar-benar dilarang dan diharamkan adalah mendonorkan anggota tubuhnya yang dapat mengakibatkan terjadinya pencampur-adukan nasab atau keturunan. Misalnya, donor testis bagi pria atau donor indung telur bagi perempuan. Sungguh Islam telah melarang untuk menisbahkan dirinya pada selain bapak maupun ibunya. Allah SWT. Berfirman dalam Q.S. Al-Mujaddilah ayat 2 yang artinya : “Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka.” (Q.S. al-Mujadilah [58] : 2)
Selanjutnya Rasulullah SAW. Bersabda, yang artinya :
“Barang siapa yang menasabkan dirinya pada selain bapaknya, atau mengurus sesuatu yang bukan urusannya maka atas orang tersebut adalah laknat Allah, Malaikat dan seluruh manusia”.
Begitu pula dinyatakan oleh Rasulullah SAW :
Artinya : “Wanita manapun yang telah mamasukkan nasabnya pada suatu kaum padahal bukan bagian dari kaum tersebut maka dia terputus dari Allah, dia tidak akan masuk surga; dan laki-laki manapun yang menolak anaknya padahal dia mengetahui (bahwa anak tersebut anaknya) maka Allah menghijab Diri-Nya dari laki-laki tersebut, dan Allah akan menelanjangi (aibnya) dihadapan orang-orang yang terdahulu maupun yang kemudian”.
Adapun donor kedua testis maupun kedua indung telur, hal tersebut akan mengakibatkan kemandulan. Tentu hal ini bertentangan dengan perintah Islam untuk memelihara keturunan.
Hukum kedua yaitu mentranplantasikan organ tubuh dalam keadaan sekarat atau koma. Dan itu tidak diperbolehkan. Karena hal yang demikian sama saja mendahului kehendak Allah. Hal tersebut dapat disebut euthanasia atau mempercepat kematian, meskipun dokter mengatakan si donor segera meninggal. Sesuai dengan hadits Nabi SAW. :

Artinya : “Tidak boleh membuat mudharat pada dirinya dan tidak boleh pula membikin mudharat pada orang lain.” (HR. Ibnu Majah).
Berdasarkan hadits tersebut, mengambil organ tubuh orang dalam keadaan kesakarat atau koma haram hukumnya karena dapat mudharat kepada donor tersebut yang berakibat mempercepat kematiannya. Manusia wajib berusaha untuk menyembuhkan penyakit demi mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati itu ditangan allah. Oleh sebab itu manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri atau mempercepat kematian orang lain, meskipun hal itu dilakukan oleh dokter dengan maksud mengurangi atau menghilangkan penderitaan pasien.
Kita tidak boleh membahayakan orang lain untuk keuntungan diri sendiri. Perbuatan tersebut diharamkan dengan alasan apapun sekalipun untuk tujuan yang mulia.
Hukum yang ketiga adalah untuk pendonor yang keadaannya sudah meninggal. Mengambil organ tubuh donor yang sudah meninggal hukumnya mubah, dengan syarat :
a.     Bahwa resipien dalam keadaan darurat yang mengancam jiwanya bila tidak dilakukan tranplantasi itu, sedangkan ia sudah berobat secara optimal, tetapi tidak berhasil.
b.     Pencangkokan cocok dengan organ resipien.
c.      Tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat bagi resipien dari pada keadaan sebelumnya.
d.     Harus ada wasiat dari donor kepada ahli warisnya untuk menyumbangkan organ tubuhnya apabila ia sudah meninggal dan atau ada izin dari ahli warisnya.
Sesuai dengan Fatwa MUI tanggal 29 Juni 1987, bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik maka pengambilan jantung orang telah meninggal untuk kepentingan orang yang masih hidup dapat dibenarkan oleh hukum islam dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan dan izin dari keluarga wali. Ada beberapa hal yang membolehkan transplantasi :
a.     Pengambilan anggota badan dari orang yang meninggal untuk menyelamatkan orang lain yang membutuhkan, dengan syarat : hendaknya orang yang diambil anggota badannya adalah orang yang mukallaf, dan dia telah memberikan izin pengambilan anggota badannya semasa hayatnya.
b.     Boleh mengambil anggota badan hewan yang bisa dimakan setelah disembelih, atau hewan lainnya ketika dalam keadaan darurat untuk ditransplantasikan pada manusia yang membutuhkan.
c.      Mengambil sebagian anggota badan orang lain untuk ditransplantasikan atau untuk menambal anggota badan orang yang membutuhkan.
d.     Boleh memasang anggota badan buatan yang terbuat dari metal atau bahan lainnya pada tubuh manusia untuk mengobati sakitnya seperti persendian atau heart valve dan lainnya.
Yang tidak membolehkan donor orang yang sudah meninggal, alasannya adalah seseorang yang sudah mati  tidak dibolehkan menyumbangkan organ tubuhnya atau mewasiatkan untuk menyumbangkannya. Karena seorang dokter tidak berhak memanfaatkan salah satu organ tubuh seseorang yang telah meninggal untuk ditransplantasikan kepada orang yang membutuhkan.
Adapun hukumnya mayat memiliki kehormatan yang wajib dipelihara sebagaimana orang hidup. dan yang demikian (transplantasi) adalah penganiayaan terhadapnya. maka Allah SWT. Telah mengharamkan pelanggaran kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran kehormatan orang hidup. Diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA bahwa Rasulullah SAW. Bersabda :
إِنَّ كَسْرَ عِظَمُ الْمَيِّتِ مِثْلُ كَسْرِ عِظَمَهُ حَيًّا - رواه احمد وابو داوود وابن ماجه -
Artinya: “Sesungguhnya memecahkan tulang mayat sama seperti memecahkan tulangnya sewaktu masih hidup.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah)
Menurut M. Ali Hasan haram hukumnya apabila ada unsur merusak mayat karena itu sebagai penghinaan bagi mayat tersebut. Kekhawatiran lain adalah mengenai orang yang mendonorkan tubuhnya kepada orang yang berlainan agama atau orang yang berbuat maksiat dengan pemikiran perbuatan maksiatnya akan berkelanjutan. Kekhawatiran ini terjawab berdasarkan QS. An-Najm ayat 39-41 yang artinya : “Dan bahwa manusia itu tidak memproleh selain apa yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan. Kemudian akan diberi balasannya dengan balasan yang paling sempurna” (Q.S. An-Najm : 39-41)
Berdasar ayat tersebut, seorang akan mendapat balasan sesuai amalnya didunia, dosa orang lain tidak menjadi tanggungjawabnya. Mengenai organ tubuh yang diharamkan yang dicangkokkan kepada manusia, ada dua pendapat :
a.     Halal karena darurat dan tidak ada jalan lain lagi.
b.     Haram
Para ulama fiqh (pakar hukum Islam) klasik sepakat bahwa menyambung organ tubuh manusia dengan organ manusia boleh selama organ lainnya tidak didapatkan. Sedangkan pakar hukum Islam kontemporer berbeda pendapat akan boleh dan tidaknya transplantasi organ tubuh manusia. Berikut ini pernyataan para pakar hukum Islam klasik dan kontemporer :
Imam al-Nawawi (W. abad VI) dalam karyanya Minhaj al-Talibin mengatakan : “Jika seseorang menyambung tulangnya dengan barang yang najis karena tidak ada barang yang suci maka hukumnya udhzur (tidak apa-apa). Namun, apabila ada barang yang suci kemudian disambung dengan barang yang najis maka wajib dibuka jika tidak menimbulkan bahaya, dikatakan jika membahayakan atau (menimbulkan) kematian maka tidak mengambilnya (tulang tersebut) itu dibolehkan”.
Zakariya al-Ansari (abad IX) dalam karyanya Fathu al-Wahhab Sharh Manhaj al-Tullab, kitab Manhaj al-Tullab merupakan kitab ringkasan dari kitab Minhaj al-Talibin karya imam al-Nawawi (W. abad VI). Zakariya mengatakan : “Jika ada seseorang melakukan penyambungan tulangnya atas dasar butuh dengan tulang yang najis dengan alasan tidak ada tulang lain yang cocok. Maka hal itu, diperbolehkan dan sah sholatnya dengan tulang najis tersebut. Kecuali, jika dalam penyambungan itu tidak ada unsur kebutuhan atau ada tulang lain yang suci selain tulang manusia maka ia wajib membuka (mencabut) kembali tulang najis tersebut walaupun sudah tertutup oleh daging. Dengan catatan, jika proses pengambilan tulang najis tersebut aman (tidak membahayakan) dan tidak menyebabkan kematian”.
Al-Bujayrami, dalam komentarnya atas ‘ibarah (teks) kitab Fathu al-Wahhab di atas, mengatakan bahwa tidak diperbolehkannya menyambung tulang dengan tulang manusia, jika yang lain masih ada walaupun tulangnya hewan yang najis seperti celeng dan anjing. Oleh karena itu, jika yang lain baik yang suci maupun yang najis tidak ada, maka menyambung tulang dengan tulang manusia itu hukumnya boleh.
Pakar hukum Islam kontemporer dalam masalah transplantasi boleh dan tidaknya ada dua pendapat :
a.    Pertama, Ibn Baz ulama dari Saudi Arabia mengatakan bahwa praktek transplantasi anggota tubuh manusia kepada manusia lainnya yang dilakukan atas dasar kemaslahatan pada orang lain itu tidak boleh berdasarklan hadith Nabi saw.
كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
Artinya : “Merusak tulang orang mati hukumnya sama dengan merusak tulang orang hidup”.
Hadits tersebut menunjukkan bahwa manusia itu muhtaramah (mulya) hidup dan matinya dan kalaupun si mayyit mewasiatkan anggota tubuhnya untuk diberikan kepada orang lain, maka wasiat itu tidak sah karena manusia tidak mempunyai (hak atas) tubuhnya sendiri dan ahli waris hanya menerima warisan dari mayyit harta peninggalan saja bukan termasuk di dalamnya (warisan) anggota tubuh mayyit.
b.    Kedua, berbeda dengan Ibn Baz para pakar hukum Islam kontemporer di antaranya Qardawi, al-Buti, Abd Allah Kanun dan Abd Allah al-Faqih yang mengatakan bahwa praktek transplantasi boleh dan kebolehannya itu bersifat muqayyad (bersyarat). Seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan bahaya, kesulitan dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya misalnya suami atau orang tua. Qardawi dalam fatwanya mengatakan : “Ada yang mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang mendermakan atau mendonorkan sesuatu ialah apabila itu miliknya. Maka, apakah seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakan sekehendak hatinya, misalkan mendodnorkannya. Lanjut Qardawi, perlu diperhatikan bahwa meskipun tubuh merupakan titipan dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang untuk memanfaatkan dan mempergunakannya, sebagaimana harta. Sebagaimana firman Allah SWT. Dalam surat an-Nur ayat 33.

Artinya : “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, Karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.”
Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya. Hanya saja perbedaannya adalah bahwa manusia adakalanya boleh mendermakan atau membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaan yang sangat atau dari kehidupan yang sengsara.
Sementara hasil keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama sebagaimana termaktub dalam ahkamul fuqaha mengatakan bahwa pecangkokan organ tubuh manusia ada yang membolehkan dengan syarat : Karena diperlukan, dengan ketentuan tertib pengamanan dan tidak ditemukan selain organ tubuh manusia itu.
Dari penjelasan di atas bahwa transpslntasi dalam hukum Islam terdapat perselisihan pendapat dalam hal ini ada yang melarang praktek tersebut secara mutlak berdasarkan hadith Nabi saw dan dalil ‘aqli bahwa anggota tubuh manusia bukan milik manusia sendiri melainkan hanya titipan Allah yang harus dijaga hidup dan mati.
Sementara pakar hukum Islam lainnya mengatakan boleh dengan beberapa syarat seperti dijelaskan di atas, kalau tidak memenuhi syarat-syaratnya maka hukumnya sebagaimana pendapat pertama yaitu tidak boleh.
Termasuk syarat yang memperbolehkan praktek transplantasi menurut banyak pakar hukum Islam yaitu bahwa praktek tersebut dilakukan dengan hibah (pemberian) tanpa adanya jual beli di antara dua pihak pendonor dan resipien namun ada pendapat yang mengatakan bahwa praktek transplantasi boleh dilakukan dengan jual beli.
Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, dalam bukunya Masail Fiqhiyah menyebutkan kriteria boleh dan tidaknya transplantasi dalam pandangan Islam :
a.    Pertama; apabila pencangkokan dilakukan atau diambil dari donor yang masih hidup maka Islam tidak membenarkannya. Dasarnya adalah Surat Al-Baqarah ayat 195. Ayat di atas menunjukkan manunusia agar tidak gegabah dalam berbuat sesuatu yang bisa berakibat fatal bagi dirinya, sekalipun hal tersebut mempunyai tujuan kemanusiaan.
b.    Kedua; apabila pencangkokan diambil dari donor yang dalam keadaan koma atau hamper dipastikan meninggal, maka Islam pun tidak membenarkannya. Dasarnya adalah Hadits Nabi riwayat Malik dari Anas bin Yahya :
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Artinya : “Tidak boleh membikin madhlarat pada dirinya dan tidak boleh membikin madhlarat pada orang lain".
c.    Ketiga; apabila pencangkokan diambilkan dari donor yang sudah meninggal secara kliniks dan yuridis, maka Islam membolehkannya dengan syarat :
1)   Dalam keadaan darurat atau sangat membutuhkannya
2)   Pencangkokan tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat bagi resepien.
Dasarnya adalah Al Qur’an surat al-Maidah ayat 32

Artinya : “… dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya… “
Hadits Nabi SAW :
تَدَاوُوْا عِبَادِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ
Artinya : “berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan sesuatu penyakit, kecuali Dia meletakkan obat penyembuhnya, selain penyakit yang satu yaitu penyakit tua (pikun).” (Hadits riwayat Ahmad bin Hambal, Al-Tirmidzi, Abu Daud, Al-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibran dan Al-Hakim dari Usamah bin Syarik)”
Kaidah hokum Islam
الضَّرَرُ يُزَالُ
Artinya : “Bahaya itu harus dilenyapkan atau dihilangkan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar