Rabu, 05 Maret 2014

TRANSFUSI DARAH - Masail Fiqhiyah



1.    Pengertian Transfusi Darah
Transfusi Darah adalah proses pemindahan darah dari seseorang yang sehat (donor) ke orang sakit (respien). Darah yang dipindahkan dapat berupa darah lengkap dan komponen darah. Sama halnya dengan tranplantasi organ tubuh, tranfusi darah terkait pada beberapa hal, yaitu donor adalah orang yang menyumbangkan darah kepada orang yang membutuhkannya, resipien adalah orang yang sedang membutuhkan darah, tim ahli adalah orang yang ahli dalam bidang mentrsanfusikan darah.
Menurut Dr. Ahmad Sopian, transfusi darah adalah memasukkan darah orang lain ke dalam pembuluh yang akan di tolong. Sedangkan menurut Dr. Rustam Masri, transfusi darah adalah proses pekerjaan memindahkan darah dari orang yang sehat kepada orang yang sakit, yang bertujuan untuk :
a.    menambahkan jumlah darah yang beredar dalam badan orang yang sakit yang darahnya berkurang karena sesuatu sebab, misalnya pendarahan, operasi, kecelakaan dan sebab lainnya.
b.    menambah kemampaun darah dalam badan si sakit untuk menambah atau membawa zat asam atau O2.
Dengan demikian, transfusi darah adalah suatu cara membantu pengobatan yang sudah ada dan darah hanya membantu saja sebagai salah satu pelengkap daripada metode pengobatan. Namun demikian perlu diperhatikan lagi, bahwa transfusi darah itu bukanlah pekerjaan yang tanpa resiko dan mungkin merupakan suatu pekerjaan yang banyak risikonya bagi si sakit.
Transfusi (pemindahan) darah telah dilakukan oleh para ahli kedokteran sejak ratusan tahun yang lalu tepatnya pada abad ke-18. pada masa itu pengetahuan tentang sirkulasi darah yang dirintis oleh William Harvey masih belum memuaskan. Dalam kondisi seperti itu pada umumnya transfusi darah mengalami kegagalan dan banyak mendatangkan kecelakaan bagi manusia. Namun para ahli tidak henti-hentinya melakukan percobaan sampai pada suatu saat Dr. Karl Landsteiner pada tahun 1900 telah menemukan golongan-golongan darah dan transfusi darah bukan pekerjaan yang berbahaya, tetapi sebaliknya banyak menolong jiwa manusia dari ancaman kematian disebabkan kehilangan darah.
2.    Transfusi Darah Menurut Pandangan Islam
Al-Qur’an dan sunnah tidak membahas masalah transfusi darah. Tetapi, menurut berbagai prinsip dan ajaran umum yang terdapat dalam sumber-sumber orisinil islam, darah yang mengalir selalu dianggap sebagai benda najis. Selain itu, islam melarang para pemeluknya untuk mengkonsumsi darah. Menurut beberapa pendapat ada beberapa hukum mengenai transfus darah diantaranya :
Menurut pandangan almarhum Mufti Syafi transfusi darah merupakan suatu yang haram, karena :
1)     Darah sebagai bagian dari tubuh manusia : darah merupakan bagian tubuh manusia, maka pengambilan dan pentransfusiannya ke dalam system peredaran darah orang lain bisa disamakan dengan upaya mengubah takdir manusia, karenanya dilarang.
2)     Darah sebagai benda najis : darah yang diambil dari tubuh seseorang pada dasarnya adalah najis.
Menurut beberapa tokoh, Mufti Syafi menetapkan bahwa dengan mempertimbangkan kelonggaran dan kemudahan yang diberikan syariat bagi kondisi-kondisi luar biasa yaitu yang mengancam jiwa, dan bagi upaya pengobatan, maka transfusi darah hukumnya boleh (ja’iz). Pada penjelasan yang lain Muft Syafi menerangkan bahwa darah diambil dengan jarum, tanpa mengiris bagian tubuh manapun lalu di transfusikan kedalam tubuh orang lain untuk memperpanjang hidupnya.
Muft Syafi juga berpendapat bahwa meskipun darah termasuk benda najis, namun mendonorkan darah untuk di transfusikan pada orang lain hukumnya adalah boleh atas dasar keterdesakan, dan hal ini termasuk dalam kategori memanfaatkan benda terlarang sebagai obat. Menurut Syekh Ahmad Fahmi Abu Sinnah, Dr. Abd al-Salam al-Syukri, dan Syekh Jad al-Haqq tranfusi darah hukumnya boleh jika memenuhi syarat sebagai berikut :
1)     Transfusi darah hanya boleh dilakukan jika ada kebutuhan yang mendesak.
2)     Transfusi darah boleh dilakukan ketika tidak membahayakan nyawa si pasien tetapi, dalam pandangan dokter yang berkompeten, pasien tidak mungkin disembuhkan tanpa transfusi darah.
3)     Transfusi darah tidak di perbolehkan jika tujuannya hanya untuk peningkatan kesehatan.
4)     Donor secara ikhlas berniat mendonorkan darahnya.
5)     Tidak ada bahaya serius yang mengancam jiwa atau kesehatan donor akibat transfusi tersebut.
6)     Harus sudah dipastikan bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan nyawa resipien kecuali dengan transfusi darah.
7)     Derajat keberhasilan melalui cara pengobatan ini diperkirakan tinggi
8)     Hidup donor sama sekali tidak terganggu setelah darah tidak diambil dari tubuhnya.
9)     Donor harus bebas dari segala macam penyakit menular, dan ia tidak menderita kecanduan sesuatu. Dll.
Sebagai dasar hukum yang memperbolehkan donor darah dapat dilihat dalam kaidah hukum Islam berikut :
اَلاَصْلُ فِى الاَشْيَاءِالاِباَحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
Artinya : “Bahwa pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh (mubah), kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Berdasarkan kaidah tersebut di atas, maka hukum donor darah itu diperbolehkan, karena tidak ada dalil yang melarangnya, baik dari Al-Qur'an maupun Hadits. Namun demikian tidak berarti, bahwa kebolehan itu dapat dilakukan tanpa syarat, bebas lepas begitu saja. Sebab bisa saja terjadi, bahwa sesuatu yang pada awalnya diperbolehkan, tetapi karena ada hal-hal yang dapat membahayakan resipien, maka akhirnya menjadi terlarang. Umpamanya saja, donor dalam keadaan berpenyakit menular seperti AIDS dan penyakit-penyakit lainya (yang dapat menular via darah), maka transfusi darah menjadi terlarang. oleh sebab itu, sebelum para donor memberikan darahnya, harus diperiksa lebih dahulu (bagi yang diduga ada penyakitnya). Demikan juga darah tersebut harus benar-benar bebas dari virus yang berbahaya, baru diberikan kepada yang memerlukanya, sesuai dengan kaidah fiqihnya:
اَلضَّرَرٌلايَزَالُ
Artinya : “Kemudharatan itu harus dilenyapkan.”
Kaidah tersebut diatas bersumber dari  firman Allah :
Artinya : “…sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-qashash:77).
Disamping itu kaidah yang perlu diperhatikan adalah :
اَلضَّرَرٌلايَزَالُ بِالضَّرَرِ
Artinya: “kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan lainya.”
Sebagai contoh, si sakit yang memerlukan pertolongan darah dikorbankan donor yang kurang darah, walaupun dia rela. Si sakit mungkin dapat tertolong dengan darah tersebut, tetapi akan muncul bahaya baru, yaitu si donor tadi. Secara umum hendaknya dapat dipegang kaidah yang berbunyi :
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
Artinya : “Tidak boleh memudhorotkan diri sendiri dan tidak boleh pula memudharatkan orang lain.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar