HUBUNGAN AKAL DAN WAHYU
A. Pengertian
Akal dan Wahyu
Akal berasal
dari kata Arab al-‘aql (العقل ), yang dalam bentuk kata benda, berlainan
dengan kata al-wahy (الوحى ), tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an
hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluh (عقلوه ) dalam satu ayat, ta’qilun ( تعقلون ) 24 ayat, na’qil ( نعقل ) satu ayat, ya’qiluha (يعقلها ) satu ayat dan ya’qilun (يعقلون ) 22 ayat. Kata-kata itu datang dalam arti
faham dan mengerti. Kalau kita lihat kamus-kamus Arab, akan kita jumpai kata ‘aqala
berarti mengikat dan menahan. Maka tali pengikat serban, terkadang berwarna
hitam dan terkadang berwarna emas, yang dipakai di Arab Saudi dan sebagainya
disebut ‘iqal (عقال ). Sedangkan
menahan orang di dalam penjara disebut i’taqala (اعتقل ) dan tempat tahanan mu’taqal ( معتقل ). (Harun Nasution, (1991 : 5))
Dalam pemahaman Profesor Izutzu, kata ‘aqla di
zaman jahiliyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligene)
yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving
capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah, orang yang mempunyai
kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan
problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi.
Kebikjasanaan praktis serupa ini amat dihargai oleh orang
Arab zaman jahiliyah. (Toshihiko Izutzu, (1964 : 65)).
Wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy (الوحي ). Kata itu berarti suara, api dan kecepatan.
Di samping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al-wahy
selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat.
Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “apa
yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”. Dalam kata wahyu dengan demikian
terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihan-Nya agar diteruskan kepada umat manusia untuk
dijadikaan pegangan hidup. Sabda Tuhan itu mengandung ajaran, petunjuk dan
pedoman yng diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di dunia ini
maupan di akhirat nanti.[[1]] Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan
kepada Nabi Muhaammad SAW. Terkumpul semuanya dalam Al-Qur’an. (Harun Nasution, (1991 : 15))
Karakteristik wahyu menurut DR. ABD Al-Majid
Al-Najjar, dalam bukunya Pemahaman Islam,
hal. 19 meliputi:
1.
Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari tuhan,
pribadi nabi Muhammad yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang
sangat penting dalam turunnya wahyu.
2.
Wahyu merupakan perintah yang berlaku umum atas
seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu
disampaikan dalam bentuk umum atau khusus.
3.
Wahyu itu adalah nash-nash yang berupa bahasa arab
dengan gaya ungkap dan gaya bahasa yang berlaku.
4.
Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan
dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal.
5.
Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak
terpisah-pisah.
6.
Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan
manusia, baik perintah maupun larangan.
7.
Sesungguhnya wahyu yang berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah
turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Sedangkan kekuatan wahyu menurut Harun Nasution
dan Muhammad Abduh dalam bukunya Teologi Rasional
Mu’tazilah (1987 : 44) adalah:
1.
Wahyu lebih condong melalui
dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2.
Membuat suatu keyakinan pada
diri manusia.
3.
Untuk memberi keyakinan yang
penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
4.
Wahyu turun melalui para
ucapan nabi-nabi.
Menurut
Harun Nasution dan Muhammad Abduh dalam bukunya Teologi Rasional Mu’tazilah (1987 : 44), kekuatan akal meliputi:
1.
Mengetahui
Tuhan dan sifat-sifatnya.
2.
Mengetahui
adanya hidup akhirat.
3.
Mengetahui
bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat
baik, sedang kesengsaran tergantung pada tidak mengenal Tuhan dan pada
perbuatan jahat.
4.
Mengetahui
wajibnya manusia mengenal Tuhan.
5.
Mengetahui
wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi perbuatan jahat untuk
kebahagiannya di akhirat.
6.
Membuat
hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
Sedangkan pentingnya akal menurut Harun Nasution
dan Muhammad Abduh dalam bukunya Teologi Rasional
Mu’tazilah (1987 : 44), meliputi:
1.
Akal menurut pendapat
Muhammad Abduh adalah suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena
itu Dialah yang memperbedakan manusia dari mahluk lain.
2.
Akal adalah tonggak
kehidupan manusia yang mendasar terhadap kelanjutan wujudnya, peningkatan daya
akal merupakan salah satu dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan
bangsa-bangsa.
3.
Akal adalah jalan untuk
memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal.
Iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akallah yang
menjadi sumber keyakinan pada Tuhan.
D. Fungsi Wahyu
Menurut Harun Nasution dan Muhammad Abduh dalam
bukunya Teologi Rasional Mu’tazilah
(1987 : 65), Wahyu
berfungsi memberi informasi bagi manusia. Bagi aliran kalam tradisional, akal
manusia sudah mengetahui empat hal, maka wahyu ini berfungsi memberi konfirmasi
tentang apa yang telah dijelaskan oleh akal manusia sebelumnya. Tetapi baik
dari aliran Mu’tazilah maupun dari aliran Samarkand tidak berhenti sampai di
situ pendapat mereka, mereka menjelaskan bahwa betul akal sampai pada
pengetahuan tentang kewajiban berterima kasih kepada tuhan serta mengerjakan
kewajiban yang baik dan menghindarkan dari perbuatan yang buruk, namun tidaklah
wahyu dalam pandangan mereka tidak perlu. Menurut Mu’tazilah dan Maturidiyah
Samarkand wahyu tetaplah perlu.
Wahyu bagi kaum mu’tazilah mempunyai fungsi memberi
penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di
akhirat. Abu Jabbar berkata akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu
perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan
baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari
hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui
dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian
hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Maka dapat disimpulkan bahwa, wahyu bagi Mu’tazilah mempunyai
fungsi untuk informasi dan konfirmasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui
akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal. Dan demikian
menyempurnakan pengetahuan yang
telah diperoleh akal.
Bagi kaum Asy’ariyah akal hanya dapat mengetahui
adanya tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan yang sangat penting. Manusia
mengetahui yang baik dan yang buruk, dan mengetahui kewajiban-kewajibannya
hanya turunnya wahyu. Dengan demikian sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak
akan tahu kewajiban-kewajibannya kepada Tuhan, sekiranya syariatnya tidak ada.
Al-Ghozali berkata, manusia tidak akan ada kewajiban
mengenal tuhan dan tidak akan berkewajiban berterima kasih kepada-Nya atas
nikmat-nikmat yang diturunkan-Nya. Demikian juga masalah baik dan buruk
kewajiban berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk, diketahui dari perintah
dan larangan-larangan Tuhan. Al-Baghdadi berkata, semuanya itu hanya bisa
diketahui menurut wahyu, sekiranya tidak ada wahyu, tak ada kewajiban dan
larangan terhadap manusia.
Jelas bahwa dalam aliran Asy’ariyah wahyu mempunyai
fungsi yang banyak sekali, wahyu yang menentukan segala hal, sekiranya wahyu
tak ada manusia akan bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya, dan sebagai
akibatnya manusia akan berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk mengatur
masyarakat, dan demikianlah pendapat kaum Asy’ariyah.
Al-Dawwani berkata salah satu fungsi wahyu adalah
memberi tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia. Oleh karena
itu pengiriman para rasul-rasul
dalam teologi Asy’ariyah seharusnya suatu keharusan dan bukan hanya hal yang
boleh terjadi sebagaimana hal dijelaskan oleh Imam Al-Ghozali di dalam al-syahrastani.
Adapun aliran Maturidiyah bagi cabang Samarkand wahyu mempunyai fungsi yang kurang. Tetapi pada aliran
Maturidiyah Bukhara adalah penting, bagi Maturidiyah Samarkand perlu hanya
untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk, sedangkan bagi Maturidiyah
Bukhara wahyu perlu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia. (Harun Nasution, (1986 : 101)).
Oleh Karena
itu di dalam sistem teologi yang memberikan daya terbesar adalah akal dan
fungsi terkecil kepada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan
kemerdekaan.tetapi di dalam system teologi lain yang memberikan daya terkecil
pada akal dan fungsi terbesar pada wahyu. Manusia dipandang lemah dan tak
merdeka.
Tegasnya
manusia dalam pandangan aliran Mu’tazilah adalah berkuasa dan merdeka sedangkan
dalam aliran Asy’ariyah manusia lemah dan jauh dari merdeka. Di dalam aliran
maturidiyah manusia mempunyai kedudukan menengah di antara manusia dalam
pandangan aliran Mu’tazilah, juga dalam pandangan Asy’ariyah.
Dan dalam
pandangan cabang Samarkand, manusia lebih berkuasa dan merdeka dari pada
manusia dalam pandangan cabang Bukhara. Dalam teologi Maturidiyah Samarkand,
yang juga memberikan kedudukan yang tinggi pada akal, tetapi tidak begitu
tinggi dibandingkan pendapat Mu’tazilah, wahyu juga mempunyai fungsi relatif
banyak tetapi tidak sebanyak pada teologi Asy’ariyah dan maturidiyah Bukhara.
DAFTAR PUSTAKA
Ø
Yunan Yusuf. M, Alam Pemikiran Islam Pemikiran
Kalam, Jakarta; Perkasa Jakarta, 1990.
Ø
Rozak, Abdul, Dkk. Ilmu Kalam, Bandung;
CV. Pustaka, 2003.
Ø
Nasution, Harun, Teologi Islam Dan Aliran Analisa
Perbandingan, Jakarta; Universitas Indonesia, (UI-Press), 1986.
Ø
Al-Majid, Al-Najjar. Pemahaman Islam, Bandung; PT: Remaja Rodsakarya,1997.
Ø
Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi
Rasional Mu’tazilah, Jakarta; Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press),
1987.
Ø
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga . Tauhid .
Yogyakarta.
Ø
Nasution, Harun. Akal dan
Wahyu, Jakarta; Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press),
1991.
[1]) Perbandingan: M.A.A.
Zarqawi, مناهل العرفان في علوم الفران
, Cairo, Isa Al-Babi Al-Halabi, t.t., jil. I, hal.56.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar