MAKALAH
HADITS
TENTANG MEMPERMUDAH TIDAK MEMPERSULIT DALAM BERDAKWAH SERTA JUAL BELI DAN RIBA
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadits 03
Dosen Pembimbing: Drs.H.M. Saefuddin.Mpd.i

Di Susun Oleh :
Eis Komala Ns
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI STRATA - 1
STAI
MIFTAHUL HUDA
SUBANG
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.
Yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya. Serta sholawat beserta salam
semoga selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Rasulullah SAW. Sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah Hadits Hadits Tiga yang berjudul “Hadits
Tentang Mempermudah Tidak Mempersulit Dalam Berdakwah Serta Jual Beli Dan Riba”
Dengan tepat waktu. Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi tugas kelompok
pada mata kuliah HADITS TIGA Semester Empat Reguler. Program Studi Pendidikan
Agama Islam-Tarbiyah STAI Miftahul Huda-Subang.
Dalam menyusun makalah ini, penulis banyak memperoleh
dukungan dan bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Orang tua tercinta dan keluarga yang selalu
mendukung, mendo’akan dan memberikan bantuan baik moril maupun materil.
2.
Bapak Drs. H. M.
Saefuddin, M.Pd.I. selaku Dosen mata kuliah Hadits Tiga.
3.
Seluruh teman-teman
yang telah banyak membantu penulis.
Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran serta masukan yang sifatnya
membangun guna menyempurnakan makalah ini. Dan penulis pun berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan bagi pembaca
umumnya.
Subang, 20 Maret 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR .…… ….… …
….… … … … … ……..……… …… .... i
DAFTAR ISI
……………...………………..…………… …..… …………. …… …
.. ii
PENDAHULUAN
……………….…….…………………… ……..…......…… ….… 1
HADITS TENTANG MEMPERMUDAH TIDAK MEMPERSULIT DALAM
BERDAKWAH SERTA JUAL BELI DAN RIBA ……………………
……………... … 2
A. Mempermudah
Tidak Mempersulit Dalam Berdakwah …….…………….…..
2
B. Larangan
Jual Beli Ijon ………… ……. …… ……… …………. ......….. …. ... 3
C. Keharaman
Hasil menjual Anjing, Upah Pelacur dan Dukun
……………… … 5
D. Riba Fadl ………………….……………… ...……….…...………… ….….
…. 8
PENUTUP
……….… ……………….……… ….…...………… ….……….…. 10
A.
Kesimpulan ……… ………………… …...……..…….....… … ….………... … 10
B.
Saran …………… …… ……… …….……… … ……...…. .……… ……
….. 10
DAFTAR
PUSTAKA ……….…. …… ….. ….…… … ………...…..… …... ……….
11
PENDAHULUAN
Pendidikan Adalah Usaha Untuk
Membentuk Kepribadian Dengan Metode Yang Benar. Rasulullah telah
bersungguh-sungguh mendidik sahabat dan generasi muslim, hingga mereka memiliki
kesempurnaan Akhlak dan ilmu pengetahuan. Sebagai seorang guru muballigh di
dalam mengajar atau berdakwah harus menyesuaikan dengan kemampuan daya tangkap
masyarakat yang di hadapinya dengan menggunakan bahasa, istilah yang di
mengerti,sehingga masyarakat dapat dengan mudah mencerna pengajaran dan dakwah
yang telah disampaikan janganlah sekali-kali memaksakan apa yang mereka tidak
mampu dan mengikuti contoh yang di Berikan oleh nabi.
Jual beli merupakan kebutuhan yang
tidak mungkin ditinggalkan di dalam kehidupan manusia, sehingga manusia tidak
dapat hidup tanpa kegiatan jual beli. Di samping itu jual beli juga merupakan
sarana tolong menolong antara sesama manusia, sehingga Islam menetapkan
kebolehannya sebagaimana dalam banyak keterangan al-Qur’an dan Hadits Nabi,
diantaranya, yaitu :
وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَمَ
الرِّبَا (البقراه : 275)
“Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Sejalan dengan perkembangan zaman,
persoalan jual beli yang terjadi dalam masyarakat semakin meluas, salah satunya
adalah adanya praktek jual beli ijon (jual beli tanaman, buah
atau biji yang belum siap untuk di panen). Praktek ini bukan hanya terjadi pada
saat ini, akan tetapi sudah ada sejak zaman Rasulullah. Banyaknya
larangan dan perintah Allah terkadang kita abaikan.
Dalam
pembahasan makalah ini kami akan membahas tentang beberapa perintah dan larangan
Allah. diantaranya yaitu mencakup tentang mempermudah tidak mempersulit dalam
berdakwah, larangan jual beli ijon, keharaman memakan hasil penjualan anjing, upah
pelacur dan dukun atau mempercayai paranormal dan terakhir riba’ fadhl beserta
hadits-hadits yang di jadikan sebagai penguat hukum tersebut.
Metode
yang di gunakan dalam pengumpulan data ini yaitu dengan cara browsing di
internet dan mengambil data-data yang kami butuhkan untuk bahan pembuatan
makalah ini selain itu untuk hadits-haditsnya kami memperoleh dari Kitab hadits lu’lu walmarjan.
HADITS
TENTANG MEMPERMUDAH TIDAK MEMPERSULIT DALAM BERDAKWAH SERTA JUAL BELI DAN RIBA
A. Mempermudah
Tidak Mempersulit dalam Berdakwah
1. Hadits
tentang mempermudah tidak mempersulit
حديث
أَنَسٍ ,عَنِ النَّبِىِّ صَلى الله عليه و سلم قال: (يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا,
وَبَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا) أخرجه البخرى
Artinya: “Anas
r.a berkata: Nabi SAW. Bersabda. Ringankanlah ajaran da’wahmu dan jangan
mempersukar, dan bergembiralah pengikutmu dan jangan kamu gusarkan.” (Bukhari,
Muslim)[1]
2. Penjelasan
hadits tentang mempermudah tidak mempersulit dalam berdakwah
Faidah penambahan kalimat وَلاَتُعَسِّرُوا
adalah sebagai penegasan. Imam Nawawi berkata, “jika hanya menggunakan kata يَسِّرُوا (berilah
kemudahan), maka orang yang hanya memberikan kemudahan sekali da sering
mempersulit orang lain termasuk dalam hadis tersebut. Oleh karena itu,
Rasulullah bersabda وَلاَ تُعَسِّرُوا (janganlah mempersulit) dengan maksud
untuk mengingatkan, bahwa memberikan kemudahan kepada orang lain harus selalu
dilakukan dalam setiap situasi dan kondisi. Dengan demikian pula dengan sabda
Nabi, وَلاَ تُنَفِّرُوا setelah
kata وَبَشِّرُوا.
وَبَشِّرُوا (dan berilah
berita gembira). Dalam bab “Adab”, Imam Bukhari meriwayatkan dari Adam, dari
Syu’bah dengan menggunakan lafaz وَسَكِّنُوا (berilah ketenangan) yang merupakan antonym
(lawan kata) dari وَلاَ تُنَفِّرُوا. Sebab سُكُوْنkata
(keterangan) adalah lawan kata نُفُوْر
(meninggalkan), seperti halnya kata البَشَارَةُ (berita gembira) merupakan lawan dari kata
النذَارَةُ (berita buruk). Akan tetapi karena
menyampaikan kabar buruk pada awal sebuah pengajaran dapat menyebabkan orang
tidak menghiraukan nasihat yang akan diberikan kepadanya, maka kata البَشَارَةُ (berita gembira) disini diikuti dengan
kata تَنْفِيْرُ (meninggalkan).
Adapun maksud dari hadis tersebut
adalah:
a. kita harus berlaku ramah kepada
orang yang baru memeluk Islam dan tidak mempersulitnya.
b. lemah lembut dalam melarang
perbuatan maksiat agar dapat diterima dengan baik.
c. menggunakan metode bertahap dalam
megajarka suatu ilmu, karena segala sesuatu jika diawali dengan kemudahan, maka
akan dapat memikan hati dan menambah rasa cinta. Berbeda halnya jika pengajaran
itu dimulai dengan kesulitan. Wallahu A’lam
B. Larangan
Jual Beli Ijon
1. Hadits
tentang larangan jual beli ijon

Terjemahan :
1024. Hadis Abu Sa’id Al-Khudri
dan Abu Hurairah ra. Bahwa-sanya Rasulullah saw. Mengangkat seorang pegawai untuk daerah Khaibar. Lalu ia datang kepada nabi dengan membawa kurma yang bermutu tinggi. Lalu Rasulullah saw.
Bertanya, “Adakah tiap-tiap kurma daerah Khaibar demikian
keadaannya?” Ia menjawab, “Tidak, demi Allah, wahai
Rasulullah! Sesungguhnya saya mengambil satu gantang
dari jenis kurma ini dengan dua gantang dari jenis kurma
itu, dan dua gantang
dari jenis kurma ini dengan tiga gantang dari jenis kurma ini.” Lalu Rasulullah saw. Bersabda,
“Janganlah kamu lakukan hal itu, juallah kurma yang
bermutu rendah dengan dirham, kemudian belilah
dirham dengan kurma yang lebih tinggi.”
(Al-Bukhari
menakhrijkan hadis ini dalam “Kitab Jual Beli” bab tentang Apabila hendak menjual buah kurma
dengan kurma yang lebih baik dari-padanya.)
2. Pengertian
Ijon
Ijon
atau dalam bahasa Arab dinamakan mukhadlaroh, yaitu memperjual belikan
buah-buahan atau biji-bijian yang masih hijau.[2]
Atau dalam buku lain dinamakan al-Muhaqalah yaitu menjual hasil
pertanian sebelum tampak atau menjualnya ketika masih kecil.
Dari
pengertian di atas tampak adanya pembedaan antara menjual buah atau biji-bijian
yang masih di dahan tetapi sudah tampak wujud baiknya dan menjual buah atau
biji-bijian yang belum dapat dipastikan kebaikannya karena belum kelihatan
secara jelas wujud matang atau kerasnya.
Menurut Faried Wijaya (1991), ijon,
merupakan bentuk perkreditan informal yang berkembang di pedesaan. Transaksi
ijon tidak seragam dan bervariasi, tetapi secara umum ijon adalah bentuk kredit
uang yang dibayar kembali dengan hasil panenan. Ini merupakan “penggadaian”
tanaman yang masih hijau, artinya belum siap waktunya untuk dipetik, dipanen
atau dituai. Tingkat bunga kredit
jika diperhitungkan pada waktu pengembalian akan sangat tinggi, antara 10
sampai dengan 40 persen. Umumnya pemberi kredit merangkap pedagang hasil panen
yang menjadi pengembalian hutang.
3. Pendapat Para Fuqoha
Sebelum
madzhab sepakat bahwasanya jual beli buah-buahan atau hasil pertanian yang
masih hijau, belum nyata baiknya dan belum dapat dimakan adalah salah satu
diantara barang-barang yang terlarang untuk diperjual-belikan. Hal ini merujuk
pada Hadits Nabi yang disampaikan oleh Anas ra :
نَهى رَسُوْلُ اللهِ ص. م عَنِِِ الْمُحَا قَلَةِ وَاْلمُخَا
ضَرَةِ وَاْلمُلاَ مَسَةِ وَاْلمُنَا بَزَةِ وَاْلمُزَابَنَةِ (رواه البخارى)
“Rasulullah Saw melarang muhaqalah,
mukhadlarah (ijonan), mulamasah, munabazah, dan muzabanah”. (HR. Bukhari)
Ibnu Umar juga memberitakan :
نَهى رَسُوْلُ اللهِ ص. م عَنْ بَيْعَ
الثِّمَارِحَتَّى يَبْدُ وَصَلاَ حُهَانَهَىالبَا ئِعَ وَاْلمُبْتَاعَ (متفق عليه)
“Rasulullah Saw telah melarang
buah-buahan sebelum nyata jadinya. Ia larang penjual dan pembeli ”[3] Muttafaq alaih)
Para
fuqaha berbeda pendapat mengenai jual beli di atas pohon dan hasil pertanian di
dalam bumi. Hal ini karena adanya kemungkinan bentuk ijon yang didasarkan pada
adanya perjanjian tertentu sebelum akad.
Imam
Abu Hanifah atau fuqaha Hanafiyah membedakan menjadi tiga alternatif hukum
sebagai berikut :
1.
Jika
akadnya mensyaratkan harus di petik maka sah dan pihak pembeli wajib segera
memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada izin dari pihak
penjual.
2. Jika akadnya tidak disertai persyaratan
apapun, maka boleh.
3.
Jika
akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap dipanen) sampai
masak-masak, maka akadnya fasad.[4]
Sedang
para ulama berpendapat bahwa mereka membolehkan menjualnya sebelum bercahaya
dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada hadits nabi yang melarang
menjual buah-buahan sehingga tampak kebaikannya. Para ulama tidak mengartikan
larangan tersebut kepada kemutlakannya, yakni larangan menjual beli sebelum
bercahaya. Kebanyakan ulama malah berpendapat bahwa makna larangan tersebut
adalah menjualnya dengan syarat tetap di pohon hingga bercahaya.[5]
Jumhur
(Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) berpendapat, jika buah tersebut belum
layak petik, maka apabila disyaratkan harus segera dipetik sah. Karena menurut
mereka, sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya adalah gugurnya buah
atau ada serangan hama. Kekhawatiran seperti ini tidak terjadi jika langsung
dipetik. Sedang jual beli yang belum pantas (masih hijau) secara mutlak tanpa
persyaratan apapun adalah batal.[6]
Pendapat-pendapat
ini berlaku pula untuk tanaman lain yang diperjual belikan dalam bentuk ijon,
seperti halnya yang biasa terjadi di masyarakat kita yaitu penjualan padi yang
belum nyata keras dan dipetik atau tetap dipohon, kiranya sama-sama berpangkal
pada prinsip menjauhi kesamaran dengan segala akibat buruknya. Namun analisa
hukumnya berbeda.[7]
C. Keharaman
Hasil Menjual Anjing, Upah Pelacur dan Dukun
1. Hadits
tentang Keharaman Hasil Menjual Anjing, Upah Pelacur dan Dukun

2. Penjelasan
Hadits
Hadits
di atas diriwayatkan dari Abi Mas’ud al-Anshari dan dikeluarkan oleh Imam
Bukhari dalam kitab shahih-nya. Dijelaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani,
bahwa Rasulullah s.a.w. mengharamkan mengambil atau memakan harga anjing, mahar
pezina dan upah tukang tenung (dukun). Hadis ini menunjukan bahwa ada kemiripan
hukum antara harga anjing, mahar pezina dan upah tukang tenung (dukun). Ketiga
persoalan ini berstatus haram dalam syari’at Islam. Dan dari hadits diatas terdapat
tiga hal yang dilarang Rasulullah SAW. yaitu;
a. Memakan
hasil penjualan anjing
Memakan
hasil penjualan anjing merupakan sesuatu yang dilarang oleh agama islam, kerena
haram hukumnya bagi yang memakan daging anjing maupun yang memakan hasil
penjualan anjing itu sendiri. Alasannya yaitu anjing terhitung dari as-siba’
(hewan buas), dan As-Siba’ termasuk hewan yang haram dimakan sebagaimana yang
ditunjukan oleh dalil yang sangat banyak. Selain itu dalam Hadis Abu Mas’ud
Al-Anshory riwayat Bukhary-Muslim beliau berkata (yang artinya):
“sesungguhnya
rasulullah shollallahu’ alaihi wa sallam melarang dari harga anjing”,
kalau
harganya terlarang, maka dagingnya pun haram. Sebagaimana dalam sabda
Rasulullah saw yang artinya:
“sesungguhnya Allah kalau mengharamkan kepada sesuatu maka (Allah)
haramkan harganya atas mereka.[8]
Haramnya
memanfaatkan hasil penjuakan anjing serta memakan daging nya alas an ini
diperkuat oleh ilmuan kedokteran yang menetapkan bahwa anjing menyebarkan
banyak penyakit kepada manusia, kerena anjing mengandung cacing pita yang
menularkanya kepada manusia dan menjadi sebab manusia terjangkit penyakit yang
berbahaya, dan dapat mematikan. Sudah ditetapkan bahwa seluruh anjing tidak
lepas dari cacing pita, sehingga wajib menjauhkannya dari semua yang berhubungan dengan makanan dan minuman
manusia. [Taudhîhul-Ahkam, Syaikh Ali Bassâm, 1/137].
Demikian
juga Rasulullah saw bersabda yang artinya: “barang siapa memelihara anjing,
maka amal shaleh berkurang setiap harinya sebesar satu qirath, selain anjing
untuk menjaga tanaman dan hwean ternak.(H.R.Muslim.2949).
Oleh
sebab itu kita sebagai umat muslim kita harus menaati apa yang telah di
perintahkan oleh para ulama sesuai ketentuan syare’at agama islam. Akan tetapi
anjing dibolehkan untuk menjaga lahan pertanian serta memburu binatang. Adanya
rahasia besar dari larangan-larangan ini, meskipun terdapat kebolehan untuk
memanfaatkan anjing untuk menjaga keamanan rumah serta berburu, namun tidak
diperkenankan untuk menjadikan pengambilan hasil dari anjing sebagai mata
pencarian.[9]
b. Memakan
hasil dari pelacuran.
Memanfaatkan
hasil dari PSK adalah haram hukumnya, karena pada dasarnya perbuatan tersebut
dilarang oleh syara’. Memanfaatkan pelacuran untuk mencari nafkah dan membiayai
kehidupan merupakan hal yang salah dan termasuk kedalam golongan dosa besar.
Banyak nya PSK didaerah perkotaan merupakan hal yang sudah tidak asing lagi
ditelinga kita, karena bagi mereka sulitnya mencari pekerjaan yang halal pada
saat ini, dengan adanya pemikiran untuk bekerja sebagai PSK dapat mempermudah
mereka untuk mencukupi segala kebutuhannya. Padahal ancaman hukuman yang
diberikan kepada pelaku zina cukup berat didunia, apabila pelakunya masih
lajang, maka didera 100 kali cambukan (Q.S al-nur ayat 2)[10],
dan hukuman mati jika pelakunya sudah berkeluarga.
c.
Dilarang untuk mengambil hasil dari meramal
serta mempercayai paranormal
Meramal
merupakan hal yang sangat mudah dilakukan oleh setiap manusia, karena merupakan
perbuatan yang tidak sulit, dalam arti tidak menguras tenaga, walaupun
terkadang hasil ramalan tersebut banyak yang tidak benar dan banyak pula yang
benar sesuai dengan kenyataannya, hal itu dimungkinkan hanya secara kebetulan
saja. Banyaknya kegiatan meramal yang ada pada saat ini dijadikan sebagai suatu
profesi atau alternative untuk mendapatkan banyak uang.
Meramal
merupakan suatu hal yang diharamkan oleh agama islam, jadi seorang muslim tidak
diperbolehkan untuk meramal. Diharamkanya mempercayai dengan alasan bahwa hal
tersebut tidak meiliki iman yang kuat, bukan percaya terhadap Allah swt,
melainkan percaya terhadap perbuatan jin atau hal-hal ghaib. “Barang siapa yang mendatangi paranormal dan
bertanya kepadanya tentang sesuatu hal(ghaib) maka tidak diterima shalatnya
selama empat puluh malam. [H.S.R. Muslim]
Adanya larangan meramal dikarenakan pekerjaan
ini dapat mendorong seseorang mendahului ketentuan yang telah ditetapkan Allah,
selain itu juga dapat merusak iman ataupun akidan yang dimiliki seseorang. upah
tukang tenung (dukun). Hukumnya adalah haram menurut kesepakatan ulama, karena
termasuk mengambil imbalan atas perbuatan yang batil. Termasuk di dalam hal
ini adalah ahl al-nujum, mengukur dengan tongkat, serta
perbuatan-perbuatan para peramal untuk mengetahui perkara yang ghaib.
D. Riba
Fadl
1. Hadits
Tentang Riba’ Fadl

Artinya :
1021. Hadis Abu Sa’id
Al-Khudri ra. Bahwasannya Rasulullah saw. Bersabda, “Janganlah kamu sekalian
menjual emas dengan emas kecuali keadaannya sama,
janganlah kamu sekalian melebihkan sebagian atas
sebagian yang lain, janganlah kamu sekalian menjual
perak dengan perak kecuali keadaannya sama, janganlah
kamu sekalian melebihkan sebagian atas sebagian yang
lain, dan jangan lah kamu
sekalian menjual barang yang tidak tampak dengan harga kontan.”
(Al-Bukhari
menakhrijkan hadis ini dalam “Kitab Jual Beli” bab tentang Penjualan perak)
2. Pengertian
dan penjelasan Hadits tentang Riba Fadhl
Riba’ fadhl yaitu Pertukaran antara barang sejenis dengan
kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk
dalam jenis barang ribawi. Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang
ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Atau
bisa juga di artikan jual beli atau pertukaran antara 2 barang ribawi yang sama jenis dengan
berbeda kadar berat (jika dijual dengan timbang) atau kuantiti (jika dijual
secara bilangan kuantiti). Riba dalam
nasi'ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Mengenai
pembagian dan jenis-jenis riba, berkata Ibnu Hajar al Haitsami: "Bahwa riba itu terdiri dari
tiga jenis, yaitu riba fadl, riba al yaad, dan riba an nasiah. Al Mutawally
menambahkan jenis keempat, yaitu riba al qard. Beliau juga menyatakan bahwa
semua jenis ini diharamkan secara ijma' berdasarkan nash Al Qur'an dan hadits
Nabi" (Az Zawqir Ala Iqliraaf al Kabaair vol. 2 him. 205)
Sebagai contoh, Menukar 10
gram emas (jenis 916) dengan 12 gram emas (jenis kualiti 750). Pertukaran jenis
ini adalah haram kerana sepatutnya kedua-duanya mesti sama timbangan (contoh:
10 gram atau 12 gram). Perbedaan kualiti tidak memberikan kesan kepada hukum. Jadi
Riba
dalam jual beli terjadi karena pertukaran tidak seimbang di antara barang
ribawi yang sejenis (seperti emas 5 gram ditukar dengan emas 5,5 gram). Jenis
ini yang disebut sebagai Riba’ Fadhl.
Terdapat 2 syarat yang wajib dipenuhi agar
terhindar daripada riba al-Fadhl yaitu:
a. Mesti sama berat atau kuantiti nya (walau
berbeza kualiti dan harganya).
b. Transaksi pertukaran mesti dilakukan dalam
satu masa atau satu majlis (maksudnya, pembeli dan penjual tidak boleh beredar
sebelum menyerahkan barang pertukaran).
Agar tidak terjadi Riba’ fadhl maka terdapat dua ketentuan yang
harus dipenuhi dalam menjalankan transaksi, pertama: takaran atau timbangan keduanya
harus sama; dan kedua: keduanya
harus diserahkan saat transaksi secara tunai atau kontan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
islam tidak dibenarkan mempersulit masalah dan seolah-olah kaku dalam
pengajaran yang menjadikan kesan fanatik padahal islam adalah agama yang
fleksibel yang setiap orang bisa menjalankan setiap ajaran dan pengetahuan
dalam islam karena islam menganjurkan untuk mempermudah dan tidak mempersulit
dalam dakwah dan pengajaran sehingga masyarakat senang dengan pengajaran yang
disampaikan dan tidak membuat masyarakat menjadi bingung menjalankan syari’at
serta pengetahuan dalam islam hanya karena adanya sedikit masalah.
kita sebagai umat islam dilarang untuk
memakan hasil dar penjualan anjing, selain kita dilarang untuk memelihara
anjing, kita juga dilarang untuk memakan daging anjing, karna haram hukumnya.
Adapula dilarang memakan hasil pelacuran, perbuatan yang dilakukan merupakan
perbuatan zina yang dilarang oleh agama islam, oleh karna itu kita pun dilarang
untuk memakan hasil dari perbuatan tersebut. Dalam pembahasan diatas kita juga
dituntut untuk tidak mempercayai paranormal, karena perbutan trsebut dapat
mendorong kita untuk mendahului ketentuan Allah.
Pada
intinya penjual ijon dalam seluruh madzhab adalah tidak diperbolehkan, karena
pada dasarnya permasalahan ini sudah jelas nass hukum yang berupa hadits
Rasulullah Saw. Hal ini karena permasalahan jual beli ijon sudah ada sejak
zaman Rasulullah dan bukan masalah kontemporer meskipun prakteknya masih terus
berlaku sampai sekarang.
Riba bisa terdapat dalam utang dan
transaksi jual-beli. Dan Riba dalam jual beli terjadi karena pertukaran tidak
seimbang di antara barang ribawi yang sejenis (seperti emas 5 gram ditukar
dengan emas 5,5 gram). Jenis ini yang disebut sebagai Riba Fadhl.
B. Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah di paparkan
hendaknya dapat menjadi pemahaman dan pengetahuan bagi kita semua. Agar tidak
terjadi kesalah pahaman penerapan dalam kehidupan sehari - hari.
DAFTAR PUTAKA
Referensi Buku:
1. M. Fuad Abdul Baqi, al-Lu’lu
wal Marjan, diterjemahkan oleh H. Salim Bahreisy, al-Lu’lu wal Marjan
jus 2, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2003, h. 650-651.
2. Hamzah Ya’qub, Kode
Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Dalam Hidup Berekonomi), CV.
Diponegoro, Bandung, 1992, hlm. 124
3. Ibid, hlm. 124
4. Ghufron A. Mas’adi, Fiqh
Muamalah Kontekstual, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hlm. 139
5. Ibnu Rusyd, Terjemah
Bidayatul Mujtahid, CV. As-Sifa, Semarang, 1990, hlm. 52
6. Ghufron A. Mas’adi, op.
cit, hlm. 140
7. Hamzah Ya’qub, op.
cit, hlm. 126
9. Syarah hadis ekonomi 1,bab v hal.45
10.
Kitab al-qur’an surah al-nur:2
Referensi Website:
http://blogariefrahman.blogspot.com/2012/05/hadist-tentang-prinsip-yang-perlu.html(04/03/2013-19:05)
http://ekonurdiansyah.blogspot.com/2011/04/hadits-dakwah-dan-pengajaran.html-senin (04/03/2013-19:19)
http://www.bekamsteriljakarta.com/2012/06/keharaman-anjing-dalam-perspektif-al.html#close (04/03/2013-19:45)
http://sevyprasanthyy.blogspot.com/(18-03-2013-11:50)
http://www.rumpunilmu.com/2012/11/hadis-hadis-tentang-dukun-zilfaroni.html
(17/03/2013-12:17)
[1] M. Fuad Abdul
Baqi, al-Lu’lu wal Marjan, diterjemahkan oleh H. Salim Bahreisy, al-Lu’lu
wal Marjan jus 2, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2003, h. 650-651.
[2] Hamzah Ya’qub, Kode
Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Dalam Hidup Berekonomi), CV.
Diponegoro, Bandung, 1992, hlm. 124
[3] Ibid,
hlm. 124
[4] Ghufron A.
Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hlm.
139
[5] Ibnu Rusyd, Terjemah
Bidayatul Mujtahid, CV. As-Sifa, Semarang, 1990, hlm. 52
[6] Ghufron A.
Mas’adi, op. cit, hlm. 140
[7]
Hamzah
Ya’qub, op. cit, hlm. 126
Tidak ada komentar:
Posting Komentar