BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Tidak mudah untuk mendapatkan sesuatu yang kita
harapkan begitu pun dalam membuat sebuah karangan ataupun karya-karya ilmiah
yang benar-benar sesuai dengan yang kita harapkan. Karena itulah penulis dalam
kesempatan ini akan memberikan beberapa bahasan dalam membuat sebuah karangan.
Dan itu yang perlu diperhatikan dalam pembuatan karangan tersebut.
B.
BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH
Dalam pembahasan makalah ini penulis akan
memberikan batasan dan rumusan masalah agar dalam pembahasan nantinya tidak
menyimpang dari pokok permasalahan yang sedang dibahas. Diantara batasan itu
adalah pengertian karangan. Makna, Relasi makna, Ragam Bahasa, proses
Morfologis dan Penyimpangan bahasa dalam karangan diksi.
Dan yang menjadi rumusan
masalahnya yaitu;
1. Apa
itu karangan dan makna?
2. Apa
yang termasuk Relasi makna, ragam bahasa?
3. Apa
saja macam-macam proses Morfologis dan Penyimpangan bahasa?
C. TUJUAN
DAN MANFAAT PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
menyelesaikan Tugas Mandiri Mata Kuliah Bahasa Indonesia sebagai pengganti
Persentasi penulis yang tidak terlaksana.Dan manfaat penulisan makalah ini
yaitu semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan juga bagi
yang membacanya pada umumnya.
D. METODE
PENGUMPULAN DATA
Dalam
penulisan makalah ini saya sebagai penulis memperoleh data-data tersebut dari
Situs Internet.Berupapengambilan data-data dari Blogging dari Google maupun
Webbsite Yahoo.Dan penulis juga mengambil dari beberapa buku Kamus Bahasa
Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
METODE
YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PEMBUATAN KARANGAN DIKSI
A.
KARANGAN
1. Pengertian Mengarang dan Karangan
Mengarang atau menulis
menghasilkan karangan atau tulisan. Yang dimaksud karangan atau tulisan adalah
kreativitas penulis atau pengarang untuk menulis atau mengarang, sehingga
menghasilkan karangan atau tulisan Materi karangan adalah apa yang dipikir, apa
yang dirasakan, atau menuliskan pengalaman hidup sehari-hari.
2.
Unsur Karangan
Unsur karangan
meliputi isi, bahasa, struktur pengembangan yang merupakan bagian dari teknis
penulisan.Unsur isi meliputi kreativitas pengarang atau
penulis.Adapun unsur bahasa meliputi ketepatan ejaan, diksi, morfologi dan
sintaksis.
3.
Unsur struktur
pengembangan paragraf
Unsur struktur
pengembangan paragraf meliputi ide utama, bagaimanakah pengembangan kalimat
menjadi paragraf.Secara garis besar dapat disimak skema di bawah ini. Unsur
mengarang:



Berdasarkan
pengembangan paragraf atau alinea, Keraf (1991: 65-66) membedakannya paragraf
menjadi tiga macam, yaitu:
a.
Paragraf pembuka
Paragraf pembuka, yaitu paragraf yang berkedudukan pada awal tulisan
sebuah karangan.Paragraf ini bertujuan untuk mengantar pokok pikiran dalam
karangan itu.
b.
Paragraf penghubung
Paragraf penghubung yakni sebuah paragraf yang terdapat diantara paragraf
pembuka dan paragraf penutup.Sifat dan tujuan yang harus dimiliki paragraf
penghubung ialah menguraikan persoalan yang menjadi topik karangan.
c.
Paragraf penutup
Paragraf penutup yaitu paragraf yang disusun oleh pengarang dengan tujuan
untuk mengakhiri sebuah karangan atau bagian karangan.Paragraf penutup yang
disusun oleh pengarang ini dengan tujuan untuk memberi deskripsi atau gambaran
pada pembaca bahwa pengungkapan dan isi karangan itu sudah selesai.
B. MAKNA
DAN RELASI MAKNA
Sebelum menentukan pilihan
kata yang diperlukan dalam mengarang, terlebih dahulu penulis harus
memperhatikan dua hal pokok, yakni masalah makna dan relasi makna.
1. Makna
Makna sebuah kata atau
sebuah kalimat merupakan makna yang tidak selalu berdiri sendiri.Adapun makna
menurut Chaer terbagi atas beberapa makna.[1]yaitu:
a.
Makna Leksikal dan makna
Gramatikal
Makna Leksikal adalah
makna yang sesuai dengan referennya, hasil observasi alat panca indra atau
makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Contoh:
§ Kata Tikus, makna leksikalnya adalah Binatang yang menyebabkan
timbulnya penyakit (tikus itu mati diterkam kucing).
Makna Gramatikal adalah
untuk menyatakan makna-makna atau nuansa-nuansa makna gramatikal. Dan untuk
menunjukkan makna jamak bahasa Indonesia, menggunakan proses reduplikasi.
Contoh;
§ Seperti kata; “Buku” yang bermakna “sebuah buku” atau “buku-buku” yang
bermakna “banyak buku”.
b. Makna Referensial dan Nonreferensial
Makna
referensial dan nonreferensial perbedaannya adalah berdasarkan ada tidaknya
referen dari kata-kata itu.Maka kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu
diluar bahasa yang diacu oleh kata itu, katatersebut bermakna referensial, kalau tidak mempunyai
referen, maka kata tersebut bermakna nonreferensial. Contoh:
§ Kata meja
dan kursi (bermakna referensial)
§ Kata
karena dan tetapi (bermakna Nonreferensial)
c. Makna
Denotatif dan Konotatif
Makna
denotatif adaiah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki
sebuah leksem. Contoh:
§
Kata kurus, bermakna
denotatif keadaan tubuhnya yang lebih kecil dan ukuran badannya normal.
Makna
Konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang
berhubungan dengan nilai rasa orang atau kelompok orang yang menggunakan kata
tersebut. Contoh:
§
Kata kurus pada contoh
tersebut bermakna konotatif netral, artinya tidak memiliki nilai rasa yang
menyenangkan. Tetapi kata ramping bersinonim dengan kata kurus.
d. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Makna
konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks
atau asosiasi apapun. Contoh:
§
Kata Kuda memiliki makna
konseptual “sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai”.
Makna
Asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan
adanya hubungan kata itu dengan suatu yang berada diluar bahasa.Contoh:
§
KataMelati berasosiasi
dengan suatu yang suci atau kesucian.
§
Kata merah berasosiasi
berani atau paham komunis.
e. Makna Kata dan Makna Istilah
Makna
kata, walaupun secara sinkronis tidak bertambah, tetapi karena berbagai faktor
dalam dalam kehidupan dapat menjadi bersifat umum.Makna kata itu baru menjadi
jelas kalau sudah digunakan dalam satu kalimat.Contoh:
§
Kata tahanan, bermakna
orang yang ditahan,tapi bisa juga hasil perbuatan menahan
Makna
istilah memiliki makna yang tetap dan pasti.Ketetapan dan kepastian makna
istilah itu karena istilah itu hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau
keilmuan tertentu. Contoh:
§
Kata tahanan di atas
masih bersifat umum, istilah di bidang hukum, kata tahanan itu sudah pasti
orang yang ditahan sehubungan suatu perkara
f. Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Yang
dimaksud dengan idiom adalah satuan-satuan bahasa (ada berupa kata, frase,
maupun kalimat) maknanya tidak dapat diramalkan dari makna leksikal,
unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Contoh:
§
Kata ketakutan,
kesedihan, keberanian, dan kebimbangan memiliki makna hal yang disebut makna
dasar, Kata rumah kayu bermakna, rumah yang terbuat dari kayu.
Makna
pribahasa bersifat memperbandingkan atau mengumpamakan, maka lazim juga disebut
dengan nama perumpamaan. Contoh:
§
Bagai, bak, laksana dan
umpama lazim digunakan dalam peribahasa.
g. Makna Kias dan Lugas
Makna
kias adalah kata, frase maupun kalimat yang tidak merujuk padaarti sebenarnya.
Contoh:
§
Putri malam, bermakna
bulan
§
Raja siang, bermakna matahari
2.
Relasi Makna
Relasi adalah hubungan makna yang menyangkut beberapa hal yaitu:
a. Kesamaan Makna (Sinonim)
Sinonim
adalah sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya
kurang lebih samadengan makna ungkapan lain. Contoh:
§
Kata buruk danjelek
§
Bunga dan kembang
b. Kebalikan Makna (Antonim)
Antonim
adalah ungkapan (berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya dianggap
kebalikan dari makna dari ungkapan lain. Contoh:
§
Kata bagus berantonim
dengan kata buruk
§
Kata besar berantonim
dengan kata kecil
c. Kegandaan Makna (Polisemi dan Ambiguitas)
Polisemi
adalah sebagai satuan bahasa (terutana kata, atau frase) yangmemiliki makna
lebih dari satu. Contoh:
§
Kata kepala bermakna; bagian
tubuh dari leher ke atas, sepertiterdapat pada manusia dan hewan, bagian dari
suatu yang terletak disebelah atas atau depan, seperti kepala susu, kepala
meja,dan kepalakereta api.
Ambiguitas
adalah sebagai kata yang bermakna gandaatau dua arti.Konsep ini tidak salah,
tetapi kurang tepat sebab tidakdapat dibedakan dengan polisemi. Contoh:
§
Buku sejarah itu baru
terbit
§
Buku itu berisi sejarah
zaman baru
d. Ketercakupan Makna (Hiponim)
Hiponim
adalah sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang maknanya
dianggap bagian dari makna suatu ungkapan. Contoh:
§
Kata tongkol adalah
hiponim terhadap kata ikan, sebab makna tongkol termasuk makna ikan
e. Kelebihan Makna (Redundansi)
Redundansi
dapat diartikan sebagai makna yang berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental
dalam suatu bentuk ungkapan. Contoh:
§
Bola di tendang si Udin,
maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Bola ditendang oleh si Udin.
Penambahan kata “oleh atau pada”.
Kalimatkedua
dianggap sebagai suatu yang redundansi,yang berlebih- lebihan, dan sebenarnya
tidak perlu.
C.
RAGAM BAHASA
Diksi pada
karangan dapat dianalisis berdasarkan relasi makna dan ragam bahasa.Hal ini
mengingat bahwa ada kemungkinan penggunaan diksi yang kurang tepat pada
karangan dan itu disebabkan kesalahan dalam memilih ragam bahasa.Ragam bahasa
adalah sebuah warna bahasa yang dihasilkan penulis atau pengarang.[2]Ragam
bahasa ikut serta menentukan ketepatan makna baik secara leksikal maupun
kontekstual bahkan dalam masalah idiom.
Penelitian
dengan menggunakan alat analisis ragam bahasa ini bukan untuk mencari ragam
bahasa baru yang ada atau yang dihasilkan, tetapi apakah karangan ditinjau dari
sudut diksinya menunjukkan adanya keragaman yang mengganggu makna secara
keseluruhan teks karangan atau tidak.Misalnya, karangan yang menggunakan ragam
Jakarta sehingga tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam bahasa
Indonesia.Keraf menyatakan bahwa ragam bahasa dapat diklasifikasi menjadi
beberapa bagian.[3]Yaitu:
1.
Ragam Bahasa Kurun Waktu
Penggunaan
Berdasarkan kurun
waktu penggunaannya ragam bahasa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ragam
Bahasa Indonesia lama dan ragam Bahasa Indonesia baru.Ragam bahasa Indonesia
lama digunakan seperti pada karya sastra lama atau zaman raja-raja tempo dulu
seperti pada Cerita Panji.Sedangkan ragam bahasaIndonesia baru dipergunakan
sekitar zaman pergerakan atau kebangkitan nasional hingga kini.
2.
Ragam Bahasa Berdrsarkan
Daerab Peinrkaian
Ragam Bahasa
berdasarkan daerah pemakaian ini biasa disebut dialek.Ragam bahasa berdasarkan
daerah pemakaiannya ada ragam bahasa Medan, Jakarta, Jawa, Sunda, Irian dan
sebagainya.
3.
Ragam Bahasa Berdasarkan
Tingkat Keformalan
Ragam bahasa berdasarkan tingkat keformalannya
terdiri atas:
a. Ragam Baku
Ragam
ini merupakan bentuk pemakaian bahasa yang sudah tidak berubah lagi dari dulu
hingga kini.Yang tergolong ragam ini ialah peribahasa, kiasan klise, naskah
proklamasi, dan sebagainya. Contoh:
v
Tak aaa gading yang tak
retak, Rambutnya seperti mayang teratai.
b. Ragam Formal.
Ragam
ini disebut juga ragam resmi, ragam baku atau ragam standar. Ragam ini disebut
ragam resmi karena dipergunakan dalam situasi resmi, misalnya pidato, seminar,
tajuk rencana surat kabar, bahasa pengantar di sekolah, siaran berita TVRI dan
sebagainya. Adapun ciri-ciri bahasa Indonesia ragam formal tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Menggunakan awalan {her-} dan {me-} secara eksplisit (dinyatakan dengan
tulisan atau ucapan), dan konsisten. Contoh:
§
Iajalan-jalan cari udara
segar.
§
Iaberjalan-jalan mencari
udara segar.
2) Menggunakan kata tugas secara eksplisit dan konsisten. Contoh:
§
Saya minta maaf ibu,
lahir batin.
§
Saya minta maaf kepada
ibu, lahir batin.
3) Menggunakan fungsi-fungsi gramatikal secara eksplisit dan konsisten.
Contoh:
§
Adik berangkat ke
sekolah, Diantar Ibu.
§
Adik berangkat ke
sekolah, la diantar Ibu.
4) Menggunakan bentuk lengkap atau bentuk yang tidak disingkat, baik pada tataran
kalimat maupun kata. Contoh:
§
Kemana ?
§
Akan pergi kemanakah Ibu
?
5) Tidak menggunakan unsur-unsur daerah atau dialek. Contoh:
§
Gua sih nggak pernah
nyuci sendiri.
§
Saya tidak pernah mencuci
sendiri.
6) Menggunakan kata ganti (saya, anda, ia, Bapak, Ibu, saudara) dan menghindari
pemakaian kata ganti tidak resmi (sini, situ, sana). Contoh:
§
Sini dan situ udah
setuju, tapi sana belum setuju.
§
Saya dan anda sudah
setuju, tapi ia belum setuju.
7) Menggunakan struktur sintesis (padu). Contoh:
§
Harga bahan makanan tidak
dikasih naik.
§
Harga bahan makanan tidak
dinaikkan.
8) Menggunakan pola urutan: “Aspek + Pelaku + Kata Kerja” pada bentuk kata
kerja pasif berpelaku. Contoh:
§
Pekerjaan ini saya akan
selesaikan sendiri.
§
Pekerjaan ini akan saya
selesaikan sendiri.
c. Ragam Konsultatif
Ragam
ini disebut juga ragam usaha.Pemakaiannya pada situasi setengah resmi. Misalnya:
§
Urusan perusahaan,
percakapan antara pegawai di luar urusan kantor, konsultasi dengan dokter, dan
sebagainya.
Ciri-ciri
ragam ini sebagian mengikuti ragam formal, dan sebagian lagi mengikuti
ciri-ciri ragam informal.
d. Ragam Informal
Ragam
ini disebut juga ragam santai atau kasual.Ciri-cirinya kebalikan dari ciri-ciri
ragam formal.Ragam ini biasa dipergunakan dalam situasi santai.Misalnya:
§
Percakapan ringan di
dalam keluarga, pembicaraan antara teman dekat dan sebagainya.
e. Ragam Akrab
Ragam ini disebut ragam intim yang biasa
dipergunakan antar penutur yang hubungannya sudah sangat akrab, misalnya antara
suami istri, antara ibu dan anak, dan sebagainya. Ciri-ciri ragam ini adalah:
Menggunakan bentuk bahasa yang sangat singkat
dan yang pokok-pokok saja.Banyak kata yang tidak dinyatakan sebab sudah
tersiratdalam situasi pembicaraan.Tanpa mengetahui situasi dan latar belakang
pembicaraan, orang lainyang mendengar tidak akan mengerti maksudnya.Contoh:
Siti :
”Tolong…!!!”
Andi: “Ya…, tunggu
bentar.”
Siti : “Cepetan dong…!!!”
Andi: “Iya…ya…, aku
datang.”
Orang
yang tidak mengetahui situasi pembicaraannya tentu akan berpikir macam-macam
dan berteka-teki. “Apa yang sedang dilakukan oleh dua penutur tersebut?”Teka-teki
ini baru terpecahkan setelah mengetahui situasi pembicaraan yaitu orang yang
takut dengan kecoa.
f. Ragam Bahasa Berdasarkan Medianya
Berdasarkan media atau alat yang dipakai
untuk mengungkapkannya, ragam bahasa dapat dibedakan atas ragam lisan dan ragam
tulisan.Ragam lisan diungkapkan dengan media suara, sedangkan ragam tulisan
diungkapkan dengan media tulisan.Biasanya ragam tulisan lebih lengkap daripada
ragam lisan, sebab dalam hal ini penulis tidak dapat bertatap muka langsung
dengan lawan komunikasinya sehingga harus memberikan gambaran situasi masalah
yang dikomunikasikannya.Ragam lisan relatif pendek karena penutur dapat
langsung berhadapan dengan lawan tuturnya.
g. Ragam Bahasa Berdasarkan Keperluan atau Pesan yung Dikomunikasikannya
Berdasarkan isi atau amanat yang
dikomunikasikan ragam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi beberapa macam,
antara lain: Ragam ilmiah, ragam sastra ragam upacara, ragam iklan, ragam
pidato, ragam berita, dan sebagainya.
D.
PROSES MORFOLOGIS
Masalah diksi
ada kaitannya dengan proses morfologis. Kesalahan proses morfologis
mengakibatkan adanya kejanggalan makna dalam karangan. Oleh karena itu, perlu
dikemukakan berbagai teori proses morfologis dari para ahli secara unit.
Menurut Ramlanyang dimaksud proses morfologis adalah pembentukan
kata-kata dari proses satuan lain yang merupakan bentuk dasarnya.[4]
Proses morfologis meliputi afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan.
1.
Afiksasi
Afiksasi adalah satuan
gramatikal terikat didalam suatu kata dan merupakan unsur yang bukan kata dan
bukan pokok kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain
untuk membentuk kata atau pokok kata baru. Afiks yang terletak di depan bentuk
dasar disebut prefiks, afiks di tengah bentuk dasar disebut infiks. Afiks yang
terletak diakhir bentuk dasar disebut Sufiks dan yang letaknya terpisan disebut
simulfiks. Adapun afiks–afiks tersebut adalah sebagai berikut:
Prefiks
|
Infiks
|
Sufiks
|
Simulfiks
|
meN-
|
-el-
|
-kan
|
peN-an
|
Ber-
|
-er-
|
-an
|
pe-an
|
di-
|
-em-
|
-i
|
ber-an
|
Ter-
|
-
|
-nya
|
ke-an
|
peN-
|
-
|
-wan
|
se-nya
|
pe-
|
-
|
-wat
|
-
|
se-
|
-
|
-is
|
-
|
per-
|
-
|
-man
|
-
|
pra-
|
-
|
-da
|
-
|
ke-
|
-
|
-wi
|
-
|
Bentuk-bentuk seperti ku, mu, nya, kau, dan
isme bukan merupakan afiks, melainkan bentuk klitik, karena bentuk-bentuk
(morfem) tersebut memiliki makna atau arti leksikal.
2. Proses Pengulangan
Ramlanmenyatakan ada
empat jenis pengulangan yakni pengulangan seluruh, pengulangan sebagian,
pengulangan yang berkombinasidengan proses pembubuhan afiks dan pengulangan
dengan perubahan fonem.[5]Macam-macam
pengulangan tersebut sebagai berikut:
a.
Pengulangan seluruh. Contoh:
§
Makan : makan-makan
§
Buku : buku-buku
b.
Pengulangan sebagian.
Contoh:
§
Membaca : membaca-baca
§
Mengemas:
mengemasi-ngemasi
c. Pengulangan dengan kombinasi afiks. Contoh:
§
Kereta: kereta-kerataan
§
Makan: makan-makanan
d. Pengulangan perubahan fonem. Contoh:
§
Gerak: gerak-gerik
§
Lauk : lauk-pauk
3.
Proses Pemajemukan
Ramlan menyatakan
bahwa hasil proses pemajemukan adalah kata majemuk. Kata majemuk adalah
gabungan dua kata atau lebih yang menimbulkan arti baru.[6]
Ciri-ciri kata majemuk sebagai berikut:
a. Salah satu atau semua unsurnya berupa pokok kata Contoh: Medan perang.
b. Unsur-unsurnya tidak mungkin dipisahkan, atau tidak mungkin diubah strukturnya.
Contoh: Kamar mandi.
c. Jenis kata majemuk yang unsurnya berupa morfem naik Contoh: Simpang
siur.
E.
GEJALA BAHASA
Perlu
disampaikan bahwa gejala bahasa yang paling banyak muncul adalah kontaminasi
dan pleonasme. Untuk jenis gejala bahasa yang lain seperti protesis, epentesis
dan sebagainya sangat jarang dijumpai. Oleh karena itu, dalam landasan teori
hanya diungkapkan dua gejala bahasa saja, yaitu pleonasme dan kontaminasi.
1.
Gejala Kontaminasi
Yang
dimaksud gejala bahasa kontaminasi adalah gejala bahasa yang terjadi kerancuan
atau kekacauan.[7]Kerancuan atau kekacauan
yang dimaksud dalam hal ini adalah susunan, perangkaian, atau penggabungan yang
seharusnya merupakan bentuk tersendiri, tetapi dipadukan.Seperti, bentuk kata
menundukkan kepala dengan membungkukkan badan karenaterjadi kekacauan maka
terbentuklah menundukkan badan atau membungkukkan kepala.Peristiwa semacam ini
sering terjadi, walaupun memang tidak mengganggu makna yang sebenarnya, namun
hanya tidak sesuai dengan diksi yang diperlukan dalam konteks tersebut.Oleh
karena itu jelas gejala semacam ini termasuk bidang diksi.
2.
Pleonasme
Gejala
pleonasme adalah gejala penggunaan unsur bahasa yang berupa kata yang berlebih-lebihan.[8]Ada
kecenderungan bahwa gejala pleonasme ini untuk menyatakan unsur emosi atau
perasaan penutur. Contoh: Maju ke depan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dalam pembuatan
karangan diksi diperlukan metode-metode dalam pembuatannya.Yakni pada Isi atau
Ide harus mengenai sasaran dan tidak menyalahi ide pokok itu sendiri.Bahasa
yang digunakan harus sesuai dengan karangan yang akan dibuat.dan Teknis
Penulisannya pun harus sesuai dengan metode bahasa yang telah ditetapkan. Semua
itu dilakukan agar tidak terjadi kesalahan dalam penulisan, ragam bahasa, dan
penyampaian isi karangan tersebut.
Dan tentunya
semua itu tidak luput dan harus sesuai bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Baik dalam Ejaan maupun dalam penulisan serta paragraf dan susunan karangannya.Dan
semua itu telah dijelaskan dalam pembahasan makalah penulis.
B.
SARAN
Semoga makalah
ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun bagi yang membacanya.Dan tidak
lupa penulis sampaikan pesan dan saran untuk semua yang membaca makalah
ini.“Jangan pernah berhenti untuk belajar, karena Sesungguhnya Ilmu itu tidak
didapat dari Sekolah ataupun Kampus saja.Melainkan juga dimana saja kalian
berada.Dan jangan pernah merasa puas dengan ilmu yang anda dapatkan.Karena
dengan Ilmu hidup terasa Indah dan Berwarna.
DAFTAR PUSTAKA
·
Keraf, 1991 : 5
·
Keraf, 1991 : 6
·
Ramlan, 1985 : 51
·
Ramlan, 1985 : 57
·
Ramlan, 1985 : 69
·
Badudu, 1981 : 47
·
Badudu, 1981 : 55
·
Drs.
Bambang Marhijanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Penerbit: Terbit Terang,
Surabaya: September 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar