Selasa, 03 Oktober 2017

PERNIKAHAN TERLARANG & DI HARAMKAN

BAB II
PERNIKAHAN TERLARANG DAN DI HARAMKAN

A.     Pernikahan Yang Di Larang
1.      Nikah mut'ah
Nikah Mut’ah adalah Pernikahan untuk masa tertentu dalam arti pada waktu akad dinyatakan masa tertentu yang bila masa itu telah datang, Pernikahan terputus dengan sei dirinya. Nikah mut’ah pernah terjadi pada umat islam dan diridhai Rasulullah namun kemudian nabi melarangnya. Karena ada persyaratan yang tidak terpenuhi yaitu tidak adanya masa tertentu. Terdapat dalam hadist Nabi dari Salamah bin al-Akwa’ riwayat Muslim:
Artinya: “Rasul Allah pernah memberikan keringanan pada tahun authas (waktu perang Khaibar, umrah qadha, tahun memasuki mekah, perang Tabuk dan waktu Haji wada’) untuk melakukan mut’ah selama tiga hari, kemudian Nabi melarangnya.”
2.      Nikah tahlil atau muhallil
Nikah muhallil atau nikah tahlil adalah Pernikahan yang dilakukan untuk menghalalkan orang yang telah melakukan talak tiga untuk segera kembali kepada istrinya. Bila seseorang telah menceraikan istrinya sampai tiga kali, baik dalam satu masa atau berbeda masa, si suami tidak boleh lagi kawin dengan bekas istrinya itu kecuali bila istrinya itu telah menikah dengan laki-laki Lain, kemudian bercerai dan habis pula iddahnya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 230: Artinya: “Kemudian jika suami mentalaknya (setelah talakyang kedua), maka perempuan itu tidak halallagi baginya kecuali bila, dia telah kawin dengan suami lain.”
Suami yang telah mentalak istrinya tiga kali itu sering ingin kembali lagi kepada bekas istrinya itu. Kalau ditunggu cara yang biasa menurut ketentuan Pernikahan, mungkin menunggu waktu yang lama. Untuk mempercepat maksudnya itu ia mencari seseorang laki-laki yang akan mengawini bekas istrinya itu secara pura-pura, biasanya dengan suatu syaf bahwa setelah berlangsung akad nikah segera diceraikannya sebelum sempat digaulinya. Ini berarti kawin akal-akal untuk cepat menghentikan suatu yang diharamkan.
Nikah tahlil ini tidak menyalahi rukun yang telah ditetapkan namun karena niat orang yang mengawini itu tidak ikhlas dan tidak untuk maksud sebenarnya, Pernikahan itu dilarang oleh Nabi. Hal ini terdapat dalam hadits Nabi dari Mas'ud yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Nasai dan A1-Tirmizi dan keluarkan oleh empat perawi hadits selain al-Nasai yang Artinya: “Rasul Allah SAW. mengutuk orang yang menjadi muh'allil (orang yang menyuruh kawin) dan muhallal lah (orang yang melaktikan Pernikahan tahlil).”
3.      Nikah syigar
Nikah syigsr ialah perbuatan dua orang laki-laki yang saling menikahi anak perempuan dari laki-laki lain dan masing-masing menjadikan pernikahan itu sebagai maharnya. Dalam bentuk nyatanya ialah sebagai berikut: seseorang laki-laki berkata sebagai ijab kepada seorang laki-laki lain: "Saya kawinkan anak perempuan saya bernama si A kepadamu dengan mahar saya mengawini anak perempuanmu yang ber­nama si B". Laki-laki lain itu menjawab dalam bentuk qabul: saya terima mengawini anak perempuanmu yang bernama dengan maharnya kamu mengawini anak perempuan saya bernama si B".
Yang tidak terdapat dalam Pernikahan itu adalah mahar yang nyata dan adanya syarat untuk saling mengawini dan mengawinkan. Oleh karena itu, Pernikahan syigar di larang.
B.    Pernikahan Yang Di Haramkan
1.      Mahram muabbad yaitu orang-orang yang haram melakukan pernikahan untuk selamanya disebabkan:
1)     Adanya hubungan kekerabatan.
2)     Haram Pernikahan karena adanya hubungan Pernikahan mushaharah.
3)     Hubungan persusuan.
2.      Mahram ghairu muabbad yaitu larangan kawin yang berlaku untuk sementara berarti tidak boleh kawin dalam bentuk tertentu karena sesuatu hal, bila hal tersebut sudah tidak ada, maka larangan tersebut tidak berlaku lagi. Yaitu:
1)     Memadu dua orang yang bersaudara.
2)     Pernikahan yang kelima.
3)     Perempuan yang bersuami atau dalam iddah.
4)     Mantan istri yang telah ditalak tiga kali bagi mantan suaminya.
5)     Perempuan yang sedang ihram.
6)     Perempuan penzina sebelum bertobat.
7)     Perempuan musyrik.
C.     Hukum Menikah Lebih Dari Empat Kali (Pernikahan Yang Ke-5)
Seseorang laki-laki dalam pernikahan poligami paling banyak menikahi empat orang dan tidak boleh lebih dan itu, kecuali bila salah seorang dari istrinya yang berempat itu telah diceraikannya dan habis pula masa iddahnya. Dengan begitu perempuan kelima itu haram dikawininya dalam flias tertentu, yaitu selama salah seorang di antara istrinya yang empat itu belum diceraikannya. Pembatasan pada orang ini berdasarkan kepada firman Allah dalam surat An_Nisa ayat 3 yang artinya:
“Bila kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak perempuan, kawinnilah perempuan lain yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Bila kamu takut tidak akan berlaku adil cukup seorang”.
Dari ayat tersebut jelas bahwa Islam membolehkan adanya kawin poligami, yaitu seseorang mempunyai istri lebih dari satu orang, namun kebolehan itu tidaklah secara mutlak, tetapi dengan suatu syarat yaitu kemampuan berlaku adil di antara istri-istri itu. Adil itu bukan suatu yang mudah untuk dilaksanakan. Hal ini dijelaskan sendiri oleh Allah dalam surat al-Nisa' ayat 129 yang artinya:
“Dan kamu tidak akan mampu berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu ingin sekali berbuat begitu. Oleh karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung kepada seorang yang kamu cintai hingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung…”
Para fuqaha terdahulu hanya membatasi adil itu kepada  hal yang bersifat zahir seperti adil dalam memberi nafkah, adil dalam giliran tidur, adil dalam giliran diajak bepergian dan hal-hal yang bersifat lahir; dan tidak mensyaratkan adil dalam yang bersifat batin seperti dalam cinta kasih.
D.    Putusnya Pernikahan
1.        Talak
Arti talak secara bahasa berarti “lepas dan bebas”.secara istilah menurut Al-Mahalii adalah Artinya: “Melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak dan sejenisnya. Hukum talak adalah makruh karena bila hubungan pernihakahan itu tidak dapat lagi dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi kehancuran dan kemudaratan, maka islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian.
Macam-macam Talak Dilihat kepada keadaan istri waktu talak itu diucapkan oleh suami:
1)       Talak Sunni yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami yang mana si istri waktu itu tidak dalam keadaan haif dan dalam masa itu belum pernah dicampuri oleh suaminya.
2)       Talak Bid’iy yaitu talak yang mana waktu itu si istri sedang dalam haid atau dalam masa suci namun dalam waktu out telah dicamouri oleh suaminya.
Dilihat kepada kemungkinan bolehnya si suami kembali kepada mantan istrinya:
1)       Talak Raj’iy yaitu talak si suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa melalui nikah baru, selama istrinya masih dalam masa iddah.
2)       Talak Bain yaitu talak yang putus secara penuh dalam arti tidak memungkinkan suami kembali kepada istrinya kecuali dengan nikah baru. Juga terbagi menjadi 2 macam yaitu: bain sugra dan bain kubra.
2.        Khulu’
Khulu’ yaitu perceraian dengan kehendak istrinya. Hukumnya boleh atau mubah. Sesuai dengan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 229 yang artinya:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Baqarah: 229).
3.        Fasakh
Pada dasarnya dilakuakan oleh hakim atas permintaan dari suami atau istri. Namun ada pula yang fasakh itu terjadi dengan sendirinya tanpa memerlukan hakim seperti suami istri ketahuan senasab atau sepersusuan.
4.        Zhihar
Secara bahasa yaitu berarti punggung. Secara bahasa yaitu “Ucapan seseorang laki-laki kepada istrinya:”Engakau bagi saya seperti punggung ibu saya”.
5.        Illa’
Secara bahasa berarti “tidak mau melakukan sesuatu dengan cara bersumpah” Secara istilah yaitu “sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya”. Firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 226-227 yang artinya:
“Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya diberi tenggang waktu selama empat bulan(lamanya), kemudian jika mereka kembali(kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Penyayang. Bila mereka berazam(berketetapan hati) untuk talak maka sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.”
6.        Li’an
Secara bahasa yaitu saling melaknat. Secara istilah adalah sumpah suami yang menuduh istrinya berbuat zina, sedangkan dia tidak mampu mendatangkan empat orang saksi, setelah terlebih dahulu memberikan kesaksian empat kali bahwa ia benar dalam tuduhannya.
7.        Iddah
Secara etimologi, 'iddah yang jamaknya adalah 'idat berarti bilangan. Secara terminologi diartikan “Masa yang mesti dilalui oleh seorang perempuan (yang bercerai dari suaminya) untuk mengetahui bersihnya rahimnya dari kehamilan.” Perempuan yang bercerai dari suaminya, baik cerai hidup atau cerai mati mesti menjalani masa iddah; dalam masa mana ia tidak boleh kawin dengan laki-laki lain.
Iddah itu diwajibkan karena padanya terdapat hikmah di antaranya sebagaimana yang tersebut dalam definisi tersebut, di atas adalah untuk mengetahui apakah bekas suami yang menceraikannya meninggalkan benih dalam rahim istrinya atau tidak. Dengan begitu dapat terpelihara dari bercampur-nya dengan bibit yang akan disemai oleh suaminya yang baru. Di samping itu iddah memberi kesempatan kepada suami |untuk berfikir-fikir untuk kembali berbaik dengan istrinya. Lama masa[d1]  iddah itu tergantung pada keadaan si istri waktu bercerai dari suaminya. Adapun masa-masa iddah itu adalah sebagai berikut:        
a.        Istri yang ditinggal mati oleh suaminya dan telah digauli suaminya dalam masa itu, iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 234 yang artinya:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri-istri (hendaklah istri-istri itu) menjalani iddah selama 4 bulan 10 hari.”
b.        Istri yang diceraikan suami sebelum sempat digauli tidak menjalani masa iddah. Hal ini dinyatakan Allah dalam surat al-Ahzab ayat 49 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan beriman, kemudian kamu mencerai-kannya sebelum kamu gauli, maka se kali- kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”
Adapun perempuan yang kematian suami yang belum sempat digauli oleh suaminya yang berlaku baginya adalah beriddah 4 bulan 10 hari. Alasannya ialah bahwa kewajiban beriddah di sini bukan untuk mengetahui kebersihan rahimnya dari bibit bekas suaminya, tetapi sebagai penghormatan terhadap suaminya yang meninggal itu.
c.        Istri yang bercerai dari suaminya, telah digauli oleh suami­ nya sedangkan ia masih dalam masa haid, maka iddahnya adalah selama tiga quru', sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 Artinya:
“Perempuan-perempuan yang bercerai dari suaminya hendaklah menjalani iddah selam tiga furu”.
Yang dimaksud dengan tiga quru' dalam ayat ini menurut jumhur ulama adalah tiga kali suci; sedangkan bagi ulama Hanafiyah tiga quru' itu berarti tiga kali masa haid. Di antara dua masa tersebut di atas tiga kali haid lebih panjang daripada tiga kali suci.
d.        Istri yang bercerai dari suami, sedangkan dia telah digauli suaminya; dan dia tidak lagi dalam masa haid atau tidak berhaid sama sekali, maka masa iddahnya adalah selama tiga bulan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Thalaq ayat 4 Artinya:
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi di antara perempuan-perempuanmu, jika kamu ragu (tentang masa iddahnya) maka iddahnya adalah tiga bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid.”
e.        Istri-istri yang bercerai dari suaminya sedang dalam keadaan hamil iddahnya adalah melahirkan anaknya. Ketentuan ini ditetapkan Allah dalam surat al-Thalaq ayat 4 Artinya:
“Perempuan-perempuan hamil (yang bercerai dari suaminya) iddahnya adalah melahirkan anak….”
Adapun perempuan hamil yang kematian suami, menurut Jumhur ulama iddahnya adalah melahirkan anaknya dan  Masanya belum empat bulan sepuluh hari; dalam yang berlaku baginya adalah iddah hamil. Sedangkan ulama Lain, di antaranya Ali bin Abi Thalib, iddah perempuan hamil yang kematian suami adalah masa yang terpanjang antara empat bulan sepuluh hari dengan melahir-kan anak. Bila anak lahir sebelum empat bulan sepuluh hari maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari; namun bila setelah empat bulan sepuluh hari anaknya belum lahir juga, maka iddahnya adalah melahirkan anak.
Hak Istri Dalam Masa Iddah:
1)     Istri yang dicerai dalam bentuk talak raj'iy, hak yang diterimanya adalah penuh sebagaimana yang berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk perbelanjaan untuk pangan, untuk pakaian dan juga tempat tinggal.
2)     Istri yang dicerai dalam bentuk talak bain, baik bain sughra atau bain kubra, dia berhak atas tempat tinggal, bila ia tidak dalam keadaan hamil. Apabila ia dalam keadaan hamil, selain mendapat tempat tinggal juga mendapat nafkah selama masa hamilnya itu. dan inilah pendapat dari Jumhur Ulama.
3)     Istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Hal yang disepakati ialah bahwa ia berhak mendapatkan tempat tinggal selama dalam iddah, karena ia harus menjalani masa iddah di rumah suaminya dan tidak dapat kawin selama masa itu. Adapun nafkah dan pakaian kebanyakan ulama menyarna-kannya dengan cerai dalam bentuk talak bain.
E.     Rujuk
Secara bahasa ruju' atau raj'ah berarti kembali. Sedangkan definisinya menurut Al-Mahalli ialah: “Kembali ke dalam hubungan Pernikahan dari cerai yang bukan bain, selama dalam masa Iddah”. Sebagaimana Pernikahan itu adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh agama, maka Ruju' setelah terjadinya perceraian_pun merupakan suruhan agama. Hal ini dapat dilihat dalam firman allah pada surat al-Baqarah ayat 231 yang Artinya: “Dan bila kamu menceraikan istri-istrimu, lalu mereka men-dekati akhirmasa iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara baik atau ceraikanlah mereka dengan cara baik”.
Adapun unsur yang menjadi rukun dan syarat-syarat untuk setiap rukun itu adalah sebagai berikut:
1.        Laki-laki yang meruju' istrinya mestilah seseorang yang mampu melaksanakan pernikahan dengan sendirinya, yaitu telah dewasa dan sehat akalnya. Seseorang yang masih belum dewasa atau dalam keadaan gila tidak sah ruju' yang dilakukannya. Bila waktu mentalak istrinya Ia berakal sehat kemudian dia gila dan ingin ruju' yang melakukan ruju' itu adalah walinya, sebagaimana yang menikahkannya adalah walinya.
2.        Perempuan yang dirujuki adalah perempuan yang telah dinikahinya dan kemudian diceraikannya tidak dalam bentuk cerai tebus (khulu') dan tidak pula dalam talak tiga, sedangkan dia telah digauli selama dalam Pernikahan itu dan masih berada dalam masa iddah.
3.        Ada ucapan ruju' yang diucapkan oleh laki-laki yang Akan merujuk. Di sini tidak diperlukan qabul dari pihak istri; karena ruju' itu bukan memulai.nikah, tetapi hanya sekedar melanjutkan pernikahan. Ucapan ruju' itu menggunakan lafaz yang jelas untuk rujuk.
Sebagian ulama mensyaratkan adanya kesaksian dua orang saksi sebagaimana yang berlaku dalam akad nikah. Keharusan adanya saksi ini bukan dilihat dari segi ruju' itu memulai nikah atau melanjutkan nikah, tetapi karena adanya perintah Allah untuk itu sebagaimana terdapat dalam Surat At-Thalaq ayat 2 yang Artinya:
“Bila mereka telah mendekati akhir masa iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau ceraikanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antaramu; dan tegakkan kesaksian karena Allah.”
Berdasarkan pendapat yang mensyaratkan adanya saksi dalam ruju' itu, maka ucapan ruju' tidak boleh menggunakan lafaz kinayah, karena penggunaan lafaz kinayah memerlukan adanya niat, sedangkan saksi yang nadir tidak akan tahu niat dalam hati itu. Pendapat lain yang berlaku di kalangan jumhur ulama, ruju' itu tidak perlu dipersaksikan, karena ruju' itu hanyalah melanjutkan Pernikahan yang telah terputus dan bukan memulai nikah baru. Perintah Allah dalam ayat tersebut di atas bukanlah untuk wajib. Berdasarkan pendapat ini, boleh saja ruju' dengan menggunakan lafaz kinayah karena saksi yang perlu mendengarnya tidak ada
F.     Menikah Dengan Selain Agama Muslim
Sebelum kita membahas tentang pernikahan Beda Agama, sebaiknya kita perlu mengetahui tentang perngertian non-muslim didalam agama Islam. Golongan non-muslim sendiri dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
1.        Golongan Orang Musyrik
Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman 282 karya As Syech Muhammad Ali S Shobuni, orang musrik ialah orang orang yang telah berani menyekutukan ALLAH SWT dengan makhluk-Nya (penyembahan patung, berhala dsb).
2.        Golongan Ahli Kitab
Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman As Syech Muhammad Ali As Shobuni, Ahli Kitab adalah mereka yang berpegang teguh pada Kitab Taurat yaitu agama Nabi Musa As, atau mereka yang berpegang teguh pada Kitab Injil agama Nabi Isa as. Atau banyak pula yang menyebut sebagai agama samawi atau agama yang diturunkan langsung dari langit yaitu Yahudi dan Nasrani.
Mengenai istilah Ahli Kitab ini, terdapat perbedaan pendapat diantara kalangan ulama berpendapat bahwa semua kaum nasrani termasuk yang tinggal di Indonesia ialah termasuk Ahli Kitab. Namun ada jugayang berpendapat bahwa Ahli Kitab ialah mereka yang nasabnya (menurut silsilah sejak nenek moyangnya terdahulu) ketika diturunkan sudah memeluk agama nasrani di Indonesia berdasarkan pendapat sebagian ulama tidak termasuk Ahli Kitab.
G.    Pembagian Pernikahan Beda Agama Dalam Hukum Islam
Secara umum pernikahan lintas agama atau berbeda agama dalam Islam dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1.        Pernikahan antar pria Muslim dengan wanita Non-Muslim
Dalam Islam, pernikahan antara pria Muslim dengan wanita non-muslim Ahli Kitab itu, menurut pendapat sebagain Ulama diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5 yang artinya:
“(Dan dihalalkan menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dan dari kalangan ahli kitab sebelum kamu)”.
Namun ada beberapa syarat yang diajukan apabila Akan melaksanakan hal tersebut, yaitu:
a.    Jelas Nasabnya Menurut silsilah atau menurut garis keturunannya sejak nenek moyang adalah ahli kitab. Jadi dapat dikatakan bahwa sebagian besar kaum nasrani diIndonesia bukan merupakan golongan ahli kitab.
b.   Wanita Ahli Kitab tersebut nantinya mampu menjaga anaknya kelak dari bahaya fitnah. Ada beberapa Hadits Riwayat Umar bin Khatabb, Usman bin Affan pernah berkata “Pria Muslim diperbolehkan menikah dengan wanita ahli Kitab dan tidak diperbolehkan pria Ahli Kitab menikah dengan wanita Muslimah”.
Bahkan Sahabat Hudzaifah pernah menikah dengan wanita Ahli Kitab tetapi pada akhirnya wanita tersebut masuk Islam. Dengan demikian keputusan untuk memperbolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab sudah merupakan Ijma’ (artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam agama berdasarkan Al-Quran dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi) parasahabat.
Tetapi dalam Kitab Al-Mughni juz 9 halaman 545 karya Imam Ibnu Qudamah, Ibnu Abbas pernah menyatakan, hukum pernikahan dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 221 dan Q.S. Al-Mumtahanah ayat 10 di atas telah dihapus (mansukh) oleh Q.S. Al-Maidah ayat 5 Karena yang berlaku adalah hukum dibolehkannya pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab. Sedangkan diharamkan pernikahan antara pria muslim dengan wanita musrikinmenurut kesepakatan para ulama’ tetap diharamkan apapun alasannya karena dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah.
2.        Pernikahan Antara Pria Non-Muslim Dengan Wanita Muslimah
Pernikahan antara wanita muslimah dengan pria non-muslim menurut kalangan Ulama’ tetap diharamkan, baik menikah dengan pria Ahli Kitab maupun dengan seorang pria musrik. Hal ini dikhawatirkan wanita yang telah menikah dengan pria non-muslim tidak dapat menahan godaan yang akan dating kepadanya. Seperti halnya wanita tersebut tidak dapat menolak permintaan sang suami yang mungkin bertentangan dengan syariat Islam, atau wanita itu tidak dapat menahan godaan yang datang dari lingkungan suami yang tidak seiman yang mungkin cenderung lebih dominan.
Dalil naqli pernyataan tentang haramnya pernikahan seorang wanita muslimah dengan pria non-muslim adalah Q.S. Al-Maidah ayat 5 yang menyatakan bahwa Allah SWT hanya memperbolehkan pernikahan seorang pria Muslim dengan wanita Ahli Kitab tidak sebaliknya. Seandainya pernikahan ini diperbolehkan, maka Allah SWT. Pasti akan menegaskannya di dalam Al-Quran. Karenanya, berdasarkan mahfum al-mukhalafah, secara implisit Allah SWT melarang pernikahan tersebut.



 [d1]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar