BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sebagai umat Islam yang bertaqwa kita tidak
akan terlepas dari syari’at Islam. Hukum yang harus di patuhi oleh semua umat
Islam di seluruh penjuru dunia. Baik laki-laki maupun perempuan tidak ada
perbedaan di mata Allah SWT, tetapi yang membedakan hanyalah ketaqwaan kita.
Salah satu dari syari’at Islam adalah tentang
Pernikahan hal ini sudah di atur dalam hukum Islam, baik dalam al-Qur’an maupun
dalam Hadits Rasulullah SAW. Pernikahan merupakan peristiwa yang sering kita
jumpai dalam hidup ini, bahkan setiap hari banyak umat Islam yang melakukan
Pernikahan, dimana Pernikahan ini mencegak perbuatan yang melanggar norma–norma
agama dan menghindari jinah.
Terpenuhinya syarat rukun Pernikahan
mengakibatkan diakuinya keabsahan Pernikahan tersebut baik menurut hukum agama,
fiqih munakahat, dan pemerintah (kompilasi hukum islam). Bila salah satu syarat
rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya Pernikahan
menurut fiqih munakahat atau hukum islam.
Adalah merupakan sunatullah, bahwa makhluk
bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan (Q.S. Al-Dzariyat:
49). Namun terdapat perbedaan yang besar antara manusia yang nota bene memiliki
hawa nafsu dan akal dengan hewan yang hanya memilki nafsu. Dengan hanya
memiliki nafsu ini hewan tidak bisa berbudaya dan tidak bisa membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk, kecuali dalam beberapa hal kecil untuk
mempertahankan hidupnya, yang muncul berdasarkan instinct. Oleh karenanya hewan
bisa menyalurkan nafsunya dengan sesukanya tanpa batasan, sedangkan manusia
tidak dapat menyalurkan nafsunya seperti hewan, melainkan harus dengan
peraturan-peraturan yang berbentuk institusi Pernikahan.
Dalam sejarah umat manusia, baik manusia
priminif maupun manusia modern mengakui adanya institusi Pernikahan ini,
meskipun dengan cara berbeda-beda. Penyimpangan terhadap ketentuan ini seperti
prostitusi dianggap sebagai penyakit masyarakat yang harus dihilangkan. Memang
dalam kenyataannya terdapat sejumlah komunitas yang walaupun mengakui institusi
Pernikahan, tetapi memiliki persepsi yang spesipik tentang hubungan seksual
diluar Pernikahan. Misalnya saja pada masyarakat Eskimo untuk menghormati tamu
yang terpandang menyuruh isterinya untuk tidur dan memberikan pelayanan sex
seperlunya kepada tamu tersebut. Demikian pula halnya pada beberapa kelompok
suku di pulau Mentawai, Flores, mengizinkan anak-anak gadisnya melakukan
hubungan sex diluar nikah, karena anak-anak gadis yang trampil memberikan
pelayanan sex akan laku lebih dahulu.
Dalam Islam pernikahan yang dimaksudkan adalah
untuk memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk
melangsungkan keturunan, dalam suasana yang mawaddah (saling mencintai) rahmah
(saling berkasih sayang) antara suami isteri, hal ini sebagaimana maksud dari
makna Q.S. al-Rum : 21. Dan Pernikahan yang baik adalah Pernikahan yang
dilakukan oleh seorang suami dan isteri yang seakidah, seakhlak dan satu
tujuan, disamping cinta dan ketulusan hati. Sehingga dibawah naungan
keterpaduan inilah kehidupan suami isteri akan tentram, penuh cinta dan kasih
sayang, keluarga akan bahagia anak-anak akan sejahtera, hingga akhirnya
terwujud tujuan Pernikahan yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah mawaddah dan rahmah.
Menurut pandangan Islam, tujuan Pernikahan
tidak akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami dan isteri tersebut
berpegang pada satu keyakinan yang sama dan mereka teguh dalam melaksanakan
ajaran agamanya. Jika agama keduanya berbeda, makan akan timbul berbagai permasalahan
dalam keluarga itu, misalnya saja dalam masalah pelaksanaan ibadat, pendidikan
anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain sebagainya yang
pasti akan timbul dalam keluarga tersebut. Islam dengan tegas melarang wanita
Islam menikah dengan pria non-muslim, baik musrik maupun ahlul kitab, demikian
pula halnya seorang pria Islam dilarang menikahi wanita musyrik, kedua bentuk perkwinan
ini mutlak diharamkan.
Yang menjadi permasalahan adalah apabila
Pernikahan itu antara seorang pria Islam dengan wanita Ahlul kitab, bagaimana
status Pernikahan mereka, berdasarkan zahir ayat 221 Q.S. al-Baqarah maka boleh
seorang pria muslim menikahi wanita ahlul kitab, demikian halnya menurut
pandangan ulama pada umumnya, kendati demikian tidak sedikit pula ulama yang
melarang Pernikahan semacam ini, Dalam makalah yang sederhana ini penulis akan
mencoba membahas permasalahan tersebut ditinjau dari pandangan ulama mazhab
empat dan dikaitkan dengan kenyataan aktual yang terjadi pada masyarakat Indonesia
saat ini.
B.
Perumusan
Masalah
Didalam pembuatan makalah ini ada permasalah
yang akan ditinjau dan dijadikan bahan penerangan dalam makalah ini, terdari
dari:
1.
Apa
saja hal-hal yang menjadi syarat sah shigat ijab qobul?
2.
Bagaimana
kejelasan shigat yang dikaitkan dengan persyaratan?
3.
Bagaimana
penjelasan mengenai nikah syigar,mut’ah, dan tahllil?
BAB II
PEMBAHASAN
PERNIKAHAN DALAM ISLAM
A.
Pengertian Pernikahan
Bermacam-macam pendapat yang dikemukakan para
pakar hukum mengenai pengertian Pernikahan, namun seluruh pengertian tersebut
pada dasarnya mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda, dan
perbedaan tersebut tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan akan makna yang
terkandung dalam Pernikahan tersebut. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
pasal 1 dikatakan bahwa Pernikahan adalah ikatan lahir dan bathin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha
Esa, selanjutnya pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa Pernikahan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dr. Anwar Haryono dalam bukunya Hukum Islam,
menyatakan bahwa pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia. Sedangkan
Pror. Dr. Shalaby mengemukakan pemahamannya tentang makna Pernikahan dikaitkan
dengan arti dari Q.S Yaa Siin: 36 dan arti Q.S. al-Mu’minun: 27, bahwa
Pernikahan adalah hukum alam yang tetap dan luas bidangnya yang mencakup setiap
makhluk hidup, hukum tersebut membahagiakan setiap makhluk hidup dan
masing-masing jenis akan memperoleh bagian, yaitu suatu rahasia yang berbeda
dengan rasa yang diberikan kepada lawan jenisnya.
Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikatakan bahwa
pernikahan adalah merupakan salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual
suami isteri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan
keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia dibumi. Menurut
Kompilasi Hukum Islam pasal 2 Pernikahan adalah suatu pernikahan yang merupakan
akad yang sangat kuat atau mittsaqon ghalidzan untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakanya adalah merupakan ibadah.
Sedangkan yang dimaksud dengan Pernikahan
lintas agama adalah Pernikahan antar agama, yaitu Pernikahan yang dilakukan
oleh seorang pria atau seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita
atau seorang pria yang beragama non-Islam. Pernikahan antar agama disini dapat
terjadi calon isteri beragama Islam, sedangkan calon suami tidak beragama
Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik, dan calon suami beragama Islam,
sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik.
Dari berbagai pengertian diatas, dapat penulis
simpulkan bahwa yang dimaksud dengan Pernikahan adalah “Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai upaya
untuk menyalurkan nafsu seksualnya dalam bentuk rumah tangga yang bahagia
sakinah mawaddah wa rahmah, guna melanjutkan keturunannya, dan dipandang ibadah
bagi yang melaksanakannya, sedangkan Pernikahan lintas agama adalah Pernikahan
yang dilakukan oleh seorang pria atau wanita muslim dengan seorang pria atau
wanita non Islam”.
B.
Anjuran
dan Hukum Menikah
Islam telah menganjurkan kepada manusia untuk
menikah.Dan ada banyak hikmah di balik anjuran tersebut. Antara lain adalah:
1.
Sunnah
Para Nabi dan Rasul
“Artinya: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan
keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat
melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab. (QS. Ar-Ra'd:
38)”.
2.
Bagian
Dari Tanda Kekuasan Allah
"Artinya: Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakann untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Ruum:
21)".
3.
Salah
Satu Jalan Untuk Menjadi Kaya
“Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang
sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha
Mengetahui. (QS. An-Nur: 32)”
4.
Ibadah
Dan Setengah Dari Agama
“Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Orang yang diberi rizki oleh Allah SWT seorang istri shalihah
berarti telah dibantu oleh Allah SWT pada separuh agamanya. Maka dia tinggal
menyempurnakan separuh sisanya. (HR. Thabarani dan Al-Hakim 2/161).
5.
Tidak
Ada Pembujangan Dalam Islam
Islam berpendirian tidak ada pelepasan kendali gharizah seksual
untuk dilepaskan tanpa batas dan tanpa ikatan. Untuk itulah maka diharamkannya
zina dan seluruh yang membawa kepada perbuatan zina. Tetapi di balik itu Islam
juga menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan gharizah ini. Untuk itu
maka dianjurkannya supaya kawin dan melarang hidup membujang dan kebiri.
Seorang muslim tidak halal menentang Pernikahan dengan anggapan,
bahwa hidup membujang itu demi berbakti kepada Allah, padahal dia mampu kawin;
atau dengan alasan supaya dapat seratus persen mencurahkan hidupnya untuk
beribadah dan memutuskan hubungan dengan duniawinya.
Abu Qilabah mengatakan "Beberapa
orang sahabat Nabi bermaksud akan menjauhkan diri dari duniawi dan meninggalkan
perempuan (tidak kawin dan tidak menggaulinya) serta akan hidup membujang.
Maka berkata Rasulullah s.a.w, dengan nada marah lantas ia berkata:
“Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu
hancur lantaran keterlaluan, mereka memperketat terhadap diri-diri mereka, oleh
karena itu Allah memperketat juga, mereka itu akan tinggal di gereja dan
kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan kamu menyekutukan Dia, berhajilah,
berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah pun akan meluruskan kepadamu.”
Kemudian turunlah ayat: "Artinya
: Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu mengharamkan yang baik-baik dari
apa yang dihalalkan Allah untuk kamu dan jangan kamu melewati batas, karena
sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang melewati batas. (QS.
Al-Maidah: 87)"
6.
Menikah
Itu Ciri Khas Makhluk Hidup
Selain itu secara filosofis, menikah atau
berpasangan itu adalah merupakan ciri dari makhluq hidup. Allah SWT telah
menegaskan bahwa makhluq-makhluq ciptaan-Nya ini diciptakan dalam bentuk
berpasangan satu Sama lain. Artinya: “Dan
segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran
Allah.” (QS. Az-Zariyat: 49)”.
C.
Tujuan dan Hikmah Pernikahan
Tujuan pernikahan dapat disebutkan sebagai berikut:
1.
Melaksanakan
anjuran Nabi Muhammad SAW
2.
Untuk
membina rumah tangga yang serasi, dan penuh dengan limpahan kasih sayang.
3.
Memperoleh
keturunan yang soleh, yang sah dari hasil Pernikahan itu
4.
Menjaga
kehormatan dan harkat martabat manusia.
Hikmah suatu pernikahan dalam Islam antara lain:
1.
Cara
yang halal dan suci untuk menyalurkan nafsu syahwat melalui ini selain lewat
perzinahan, pelacuran, dan lain sebagainya yang dibenci Allah dan amat
merugikan.
2.
Untuk
memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman
3.
Memelihara
kesucian diri
4.
Melaksanakan
tuntutan syariat
5.
Membuat
keturunan yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
6.
Sebagai
media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan lingkungan yang sehat
untuk membesarkan anak-anak. Anak-anak yang dibesarkan tanpa orangtua akan
memudahkan untuk membuat sang anak terjerumus dalam kegiatan tidak bermoral.
Oleh karena itu, institusi kekeluargaan yang direkomendasikan Islam terlihat
tidak terlalu sulit serta sesuai sebagai petunjuk dan pedoman pada anak-anak
7.
Mewujudkan
kerjasama dan tanggungjawab
8.
Dapat
mengeratkan silaturahim
D.
Penyebab
Haramnya Sebuah Pernikahan
Perempuan yang diharamkan menikah oleh
laki-laki disebabkan karena keturunannya (haram selamanya) serta dijelaskan
dalam surah an-Nisa: Ayat 23 yang berbunyi, “Diharamkan
kepada kamu menikahi ibumu, anakmu, saudaramu, anak saudara perempuan bagi
saudara laki-laki, dan anak saudara perempuan bagi saudara perempuan”:
1.
Ibu
2.
Nenek
dari ibu maupun bapak
3.
Anak
perempuan & keturunannya
4.
Saudara
perempuan segaris atau satu bapak atau satu ibu
5.
Anak
perempuan kepada saudara lelaki mahupun perempuan, yaitu semua anak saudara
perempuan
Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan oleh
susuan ialah:
1.
Ibu
susuan
2.
Nenek
dari saudara ibu susuan
3.
Saudara
perempuan susuan
4.
Anak
perempuan kepada saudara susuan laki-laki atau perempuan
5.
Sepupu
dari ibu susuan atau bapak susuan
Perempuan muhrim bagi laki-laki karena persemendaan ialah:
1.
Ibu
mertua
2.
Ibu
tiri
3.
Nenek
tiri
4.
Menantu
perempuan
5.
Anak
tiri perempuan dan keturunannya
6.
Adik
ipar perempuan dan keturunannya
7.
Sepupu
dari saudara istri
8.
Anak
saudara perempuan dari istri dan keturunannya
E.
Hukum
Pernikahan
Nikah merupakan amalan yang disyari’atkan, hal ini
didasarkan pada firman Allah SWT:
“Dan jika kamu takut tidak
akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil. Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(An-Nisaa’, 3)
Dari keterangan diatas disimpulkan bahwa hukum nikah ada 5:
a.
Wajib
Menikah itu wjib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara
finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan
bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah
dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke
dalam jurang zina wajib hukumnya.
Imam Al-qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat
tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan
takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah
SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana
firman-Nya:
"Dan kawinkanlah orang-orang yang
sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha
Mengetahui." (QS. An-Nur: 32).
b.
Sunah
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka
yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali
karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik
dan kondusif.
Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk
menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang
menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT. Bila
dia menikah, tentu dia Akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan
dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan
anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
Dari Anas bin Malik RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Nikahilah wanita yang banyak anak,
karena Aku berlomba dengan nabi lain pada hari kiamat." (HR.
Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibbam).
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah
umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib nasrani." (HR.
Al-Baihaqi 7/78).
Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau
menikah sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.
c.
Haram
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi
haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu
melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya
dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang
secara umum tidak Akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal
dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya
itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya.Seperti orang yang terkena
penyakit menular dimana bila dia menikah dengan seseorng Akan beresiko menulari
pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menikah
kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang
mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan
laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan
pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang
punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti
pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali
atau tanpa saksi. Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi
nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.
d.
Makruh
Orang yang tidak punya penghasilan Sama sekali dan tidak sempurna
kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila
calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka
masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.
Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami,
melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami. Maka pernikahan itu makruh
hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi
demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka
tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
e.
Mubah
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang
mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk
menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan
untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk
mengakhirkannya. Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah
baginya adalah mubah.
F.
Rukun
dan Syarat Nikah
1.
Rukun
Nikah
1)
Pengantin laki-laki
2)
Pengantin perempuan
3)
Wali
Berdasarkan
sabda Rasulullah Sallallahu `Alaihi Wasallam: “Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal.
Batal. Batal.” (HR Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah)
4)
Saksi
Rasulullah
sallallahu `Alaihi Wasallam bersabda: “Tidak
ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.” (HR Al-Baihaqi dan
Ad-Daaruquthni. Asy-Syaukani dalam Nailul Athaar berkata: “Hadist di kuatkan dengan
hadits-hadits lain.”)
5)
Mahar
Rasulullah
Sallallahu `Alaihi wasallam bersabda kepada seorang yang pemuda yang hendak
menikah: “Carilah mahar, walaupun hanya
sebentuk cincin dari besi.” (HR Al-Bukharari dan Muslim)
6)
Akad
Nikah
Syeikh Abu
Bakar Jabir Al-Jazaairi berkata dalam kitabnya Minhaajul Muslim. “Ucapan
ketika akad nikah seperti: Mempelai Lelaki: “Nikahkanlah
aku dengan putrimu yang bernama Fulaanah.” Wali Wanita: “Aku nikahkan kamu dengan putriku yang
bernama Fulaanah.” Mempelai Lelaki: “Aku
terima nikah putrimu.”
2.
Syarat
Nikah
a.
Syarat
Calon Suami
1)
Islam
2)
Laki-laki
yang tertentu
3)
Bukan
lelaki muhrim dengan calon istri
4)
Mengetahui
wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut
5)
Bukan
dalam ihram haji atau umroh
6)
Dengan
kerelaan sendiri dan bukan paksaan
7)
Tidak
mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu
8)
Mengetahui
bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan istri
b.
Syarat calon istri:
1)
Islam
2)
Perempuan
yang tertentu
3)
Bukan
perempuan muhrim dengan calon suami
4)
Bukan
seorang banci
5)
Akil
Baligh
6)
Bukan
dalam ihram haji atau umroh
7)
Tidak
dalam iddah
8)
Bukan
istri orang
c.
Syarat
wali
1)
Islam,
bukan kafir dan murtad
Maka
tidak sah wali kafir untuk orang Islam laki-laki dan perempuan. Begitu pula
tidak sah perwalian orang Islam untuk orang kafir laki-laki atau perempuan.
Adapun orang kafir menjadi wali bagi wanita kafir adalah, meskipun berbeda
agamanya. Dan orang yang keluar dari agama (murtad) tidak bisa menjadi wali bagi
siapapun.
2)
Lelaki
dan bukannya perempuan
Berdasarkan
sabda Nabi sallallahu’alaihi Wasallam: “Wanita
tidak (dibolehkan) menikahkan wanita lainnya. Dan wanita tidak boleh menikahkan
dirinya sendiri. Karena wanita pezina adalah yang menikahkan dirinya sendiri."
(HR. Ibnu Majah, No. 1782. Hadits ini terdapat dalam Shahih Al-Jami, no.
7298)
3)
Baligh
4)
Dengan
kerelaan sendiri dan bukan paksaan
5)
Bukan
dalam ihram haji atau umroh
6) Adil/Tidak
fasik, Sebagian ulama menjadikan hal ini sebagai syarat, tapi sebagian
lain mencukupkan dengan syarat sebelumnya. Sebagian lagi mencukupkan syarat
dengan kemaslahatan bagi yang diwalikan untuk menikahkannya.
7)
Tidak
cacat akal pikiran, gila, terlalu tua dan sebagainya
8)
Merdeka
(Bukan Budak)
9)
Bijak,
yaitu orang yang mampu mengetahui kesetaraan (antara kedua pasangan) dan
kemaslahatan pernikahan.
10)
Para
wali harus berurutan menurut ahli fiqih. Maka tidak dibolehkan melewati wali
terdekat, kecuali jika wali terdekat tidak ada atau tidak memenuhi syarat. Wali
seorang wanita adalah bapaknya, kemudian orang yang diwasiatkannya untuk
menjadi walinya, lalu kakek dari bapak sampai ke atas, lalu anak
laki-lakinya, lalu cucu sampai ke bawah. Kemudian saudara laki-laki sekandung, berikutnya
saudara laki-laki seayah, kemudian anak dari keduanya. Kemudian paman
sekandung, lalu paman sebapak, kemudian anak dari keduanya. Kemudian yang
terdekat dari sisi keturunan dari asobah seperti dalam waris. Kemudian penguasa
Muslim (dan orang yang menggantikannya seperti Hakim) sebagai wali bagi yang
tidak mempunyai perwalian.
DAFTAR PUSTAKA
Rafi Baihaqi, Ahmad, Membangun Surga Rumah
Tangga, (surabayah:gita mediah press, 2006)
At-tihami, Muhammad, Merawat Cintah Kasih
Menurut Syriat Islam, (surabayh : Ampel Mulia, 2004)
Muhammad ‘uwaidah, Syaikh
Kamil, Fiqih Wanita, (Jakarta:pustaka al-kautsar, 1998)
Abidin Slamet, Drs. H. Aminudin.
1999. Fiqh Munakahat I. Bandung: CV Pustaka Setia
Al-Utsaiin Muhammad Sholeh, Syekh Abdul Aziz
Ibn Muhammad Dawud. 1991. Pernikahan Islami: Dasar Hidup Beruah
Tangga. Surabaya: Risalah Gusti
Idris ramulyo Muh. 1996. Hukum Perkawinan
Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan,
Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam. Jakarta: Sinar
Grafika
Rasjid Sulaiman. 2010. Fiqh
Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Syarifuddin Amir. 2009. Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang – Undang Perkawinan.
Jakarta: Kencana
http://hukum.unsrat.ac.id/ma/kompilasi.pdf diakses
tanggal 10 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar