Selasa, 03 Oktober 2017

PERNIKAHAN DALAM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
Sebagai umat Islam yang bertaqwa kita tidak akan terlepas dari syari’at Islam. Hukum yang harus di patuhi oleh semua umat Islam di seluruh penjuru dunia. Baik laki-laki maupun perempuan tidak ada perbedaan di mata Allah SWT, tetapi yang membedakan hanyalah ketaqwaan kita.
Salah satu dari syari’at Islam adalah tentang Pernikahan hal ini sudah di atur dalam hukum Islam, baik dalam al-Qur’an maupun dalam Hadits Rasulullah SAW. Pernikahan merupakan peristiwa yang sering kita jumpai dalam hidup ini, bahkan setiap hari banyak umat Islam yang melakukan Pernikahan, dimana Pernikahan ini mencegak perbuatan yang melanggar norma–norma agama dan menghindari jinah.
Terpenuhinya syarat rukun Pernikahan mengakibatkan diakuinya keabsahan Pernikahan tersebut baik menurut hukum agama, fiqih munakahat, dan pemerintah (kompilasi hukum islam). Bila salah satu syarat rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya Pernikahan menurut fiqih munakahat atau hukum islam.
Adalah merupakan sunatullah, bahwa makhluk bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan (Q.S. Al-Dzariyat: 49). Namun terdapat perbedaan yang besar antara manusia yang nota bene memiliki hawa nafsu dan akal dengan hewan yang hanya memilki nafsu. Dengan hanya memiliki nafsu ini hewan tidak bisa berbudaya dan tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, kecuali dalam beberapa hal kecil untuk mempertahankan hidupnya, yang muncul berdasarkan instinct. Oleh karenanya hewan bisa menyalurkan nafsunya dengan sesukanya tanpa batasan, sedangkan manusia tidak dapat menyalurkan nafsunya seperti hewan, melainkan harus dengan peraturan-peraturan yang berbentuk institusi Pernikahan.
Dalam sejarah umat manusia, baik manusia priminif maupun manusia modern mengakui adanya institusi Pernikahan ini, meskipun dengan cara berbeda-beda. Penyimpangan terhadap ketentuan ini seperti prostitusi dianggap sebagai penyakit masyarakat yang harus dihilangkan. Memang dalam kenyataannya terdapat sejumlah komunitas yang walaupun mengakui institusi Pernikahan, tetapi memiliki persepsi yang spesipik tentang hubungan seksual diluar Pernikahan. Misalnya saja pada masyarakat Eskimo untuk menghormati tamu yang terpandang menyuruh isterinya untuk tidur dan memberikan pelayanan sex seperlunya kepada tamu tersebut. Demikian pula halnya pada beberapa kelompok suku di pulau Mentawai, Flores, mengizinkan anak-anak gadisnya melakukan hubungan sex diluar nikah, karena anak-anak gadis yang trampil memberikan pelayanan sex akan laku lebih dahulu.
Dalam Islam pernikahan yang dimaksudkan adalah untuk memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunan, dalam suasana yang mawaddah (saling mencintai) rahmah (saling berkasih sayang) antara suami isteri, hal ini sebagaimana maksud dari makna Q.S. al-Rum : 21. Dan Pernikahan yang baik adalah Pernikahan yang dilakukan oleh seorang suami dan isteri yang seakidah, seakhlak dan satu tujuan, disamping cinta dan ketulusan hati. Sehingga dibawah naungan keterpaduan inilah kehidupan suami isteri akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang, keluarga akan bahagia anak-anak akan sejahtera, hingga akhirnya terwujud tujuan Pernikahan yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah.
Menurut pandangan Islam, tujuan Pernikahan tidak akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami dan isteri tersebut berpegang pada satu keyakinan yang sama dan mereka teguh dalam melaksanakan ajaran agamanya. Jika agama keduanya berbeda, makan akan timbul berbagai permasalahan dalam keluarga itu, misalnya saja dalam masalah pelaksanaan ibadat, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain sebagainya yang pasti akan timbul dalam keluarga tersebut. Islam dengan tegas melarang wanita Islam menikah dengan pria non-muslim, baik musrik maupun ahlul kitab, demikian pula halnya seorang pria Islam dilarang menikahi wanita musyrik, kedua bentuk perkwinan ini mutlak diharamkan.
Yang menjadi permasalahan adalah apabila Pernikahan itu antara seorang pria Islam dengan wanita Ahlul kitab, bagaimana status Pernikahan mereka, berdasarkan zahir ayat 221 Q.S. al-Baqarah maka boleh seorang pria muslim menikahi wanita ahlul kitab, demikian halnya menurut pandangan ulama pada umumnya, kendati demikian tidak sedikit pula ulama yang melarang Pernikahan semacam ini, Dalam makalah yang sederhana ini penulis akan mencoba membahas permasalahan tersebut ditinjau dari pandangan ulama mazhab empat dan dikaitkan dengan kenyataan aktual yang terjadi pada masyarakat Indonesia saat ini.
B.       Perumusan Masalah
Didalam pembuatan makalah ini ada permasalah yang akan ditinjau dan dijadikan bahan penerangan dalam makalah ini, terdari dari:
1.      Apa saja hal-hal yang menjadi syarat sah shigat ijab qobul?
2.      Bagaimana kejelasan shigat yang dikaitkan dengan persyaratan?
3.      Bagaimana penjelasan mengenai nikah syigar,mut’ah, dan tahllil?



BAB II
PEMBAHASAN
PERNIKAHAN DALAM ISLAM

A.     Pengertian Pernikahan
Bermacam-macam pendapat yang dikemukakan para pakar hukum mengenai pengertian Pernikahan, namun seluruh pengertian tersebut pada dasarnya mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda, dan perbedaan tersebut tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan akan makna yang terkandung dalam Pernikahan tersebut. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 dikatakan bahwa Pernikahan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa, selanjutnya pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa Pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dr. Anwar Haryono dalam bukunya Hukum Islam, menyatakan bahwa pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia. Sedangkan Pror. Dr. Shalaby mengemukakan pemahamannya tentang makna Pernikahan dikaitkan dengan arti dari Q.S Yaa Siin: 36 dan arti Q.S. al-Mu’minun: 27, bahwa Pernikahan adalah hukum alam yang tetap dan luas bidangnya yang mencakup setiap makhluk hidup, hukum tersebut membahagiakan setiap makhluk hidup dan masing-masing jenis akan memperoleh bagian, yaitu suatu rahasia yang berbeda dengan rasa yang diberikan kepada lawan jenisnya.
Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikatakan bahwa pernikahan adalah merupakan salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami isteri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia dibumi. Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 Pernikahan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat kuat atau mittsaqon ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya adalah merupakan ibadah.
Sedangkan yang dimaksud dengan Pernikahan lintas agama adalah Pernikahan antar agama, yaitu Pernikahan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang beragama non-Islam. Pernikahan antar agama disini dapat terjadi calon isteri beragama Islam, sedangkan calon suami tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik, dan calon suami beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik.
Dari berbagai pengertian diatas, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan Pernikahan adalah “Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai upaya untuk menyalurkan nafsu seksualnya dalam bentuk rumah tangga yang bahagia sakinah mawaddah wa rahmah, guna melanjutkan keturunannya, dan dipandang ibadah bagi yang melaksanakannya, sedangkan Pernikahan lintas agama adalah Pernikahan yang dilakukan oleh seorang pria atau wanita muslim dengan seorang pria atau wanita non Islam”.

B.       Anjuran dan Hukum Menikah
Islam telah menganjurkan kepada manusia untuk menikah.Dan ada banyak hikmah di balik anjuran tersebut. Antara lain adalah:
1.   Sunnah Para Nabi dan Rasul
“Artinya: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab. (QS. Ar-Ra'd: 38)”.
2.   Bagian Dari Tanda Kekuasan Allah
"Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakann untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Ruum: 21)".
3.   Salah Satu Jalan Untuk Menjadi Kaya
“Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur: 32)”
4.   Ibadah Dan Setengah Dari Agama
“Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang diberi rizki oleh Allah SWT seorang istri shalihah berarti telah dibantu oleh Allah SWT pada separuh agamanya. Maka dia tinggal menyempurnakan separuh sisanya. (HR. Thabarani dan Al-Hakim 2/161).
5.   Tidak Ada Pembujangan Dalam Islam
Islam berpendirian tidak ada pelepasan kendali gharizah seksual untuk dilepaskan tanpa batas dan tanpa ikatan. Untuk itulah maka diharamkannya zina dan seluruh yang membawa kepada perbuatan zina. Tetapi di balik itu Islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan gharizah ini. Untuk itu maka dianjurkannya supaya kawin dan melarang hidup membujang dan kebiri.
Seorang muslim tidak halal menentang Pernikahan dengan anggapan, bahwa hidup membujang itu demi berbakti kepada Allah, padahal dia mampu kawin; atau dengan alasan supaya dapat seratus persen mencurahkan hidupnya untuk beribadah dan memutuskan hubungan dengan duniawinya.
Abu Qilabah mengatakan "Beberapa orang sahabat Nabi bermaksud akan menjauhkan diri dari duniawi dan meninggalkan perempuan (tidak kawin dan tidak menggaulinya) serta akan hidup membujang.
Maka berkata Rasulullah s.a.w, dengan nada marah lantas ia berkata: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka memperketat terhadap diri-diri mereka, oleh karena itu Allah memperketat juga, mereka itu akan tinggal di gereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan kamu menyekutukan Dia, berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah pun akan meluruskan kepadamu.”
Kemudian turunlah ayat: "Artinya : Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu mengharamkan yang baik-baik dari apa yang dihalalkan Allah untuk kamu dan jangan kamu melewati batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang melewati batas. (QS. Al-Maidah: 87)"
6.        Menikah Itu Ciri Khas Makhluk Hidup
Selain itu secara filosofis, menikah atau berpasangan itu adalah merupakan ciri dari makhluq hidup. Allah SWT telah menegaskan bahwa makhluq-makhluq ciptaan-Nya ini diciptakan dalam bentuk berpasangan satu Sama lain. Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. Az-Zariyat: 49)”.
C.         Tujuan dan Hikmah Pernikahan
Tujuan pernikahan dapat disebutkan sebagai berikut:
1.        Melaksanakan anjuran Nabi Muhammad SAW
2.        Untuk membina rumah tangga yang serasi, dan penuh dengan limpahan kasih sayang.
3.        Memperoleh keturunan yang soleh, yang sah dari hasil Pernikahan itu
4.        Menjaga kehormatan dan harkat martabat manusia.
Hikmah suatu pernikahan dalam Islam antara lain:
1.        Cara yang halal dan suci untuk menyalurkan nafsu syahwat melalui ini selain lewat perzinahan, pelacuran, dan lain sebagainya yang dibenci Allah dan amat merugikan.
2.        Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman
3.        Memelihara kesucian diri
4.        Melaksanakan tuntutan syariat
5.        Membuat keturunan yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
6.        Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan lingkungan yang sehat untuk membesarkan anak-anak. Anak-anak yang dibesarkan tanpa orangtua akan memudahkan untuk membuat sang anak terjerumus dalam kegiatan tidak bermoral. Oleh karena itu, institusi kekeluargaan yang direkomendasikan Islam terlihat tidak terlalu sulit serta sesuai sebagai petunjuk dan pedoman pada anak-anak
7.        Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab
8.        Dapat mengeratkan silaturahim
D.       Penyebab Haramnya Sebuah Pernikahan
Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan karena keturunannya (haram selamanya) serta dijelaskan dalam surah an-Nisa: Ayat 23 yang berbunyi, “Diharamkan kepada kamu menikahi ibumu, anakmu, saudaramu, anak saudara perempuan bagi saudara laki-laki, dan anak saudara perempuan bagi saudara perempuan”:
1.        Ibu
2.        Nenek dari ibu maupun bapak
3.        Anak perempuan & keturunannya
4.        Saudara perempuan segaris atau satu bapak atau satu ibu
5.        Anak perempuan kepada saudara lelaki mahupun perempuan, yaitu semua anak saudara perempuan
Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan oleh susuan ialah:
1.        Ibu susuan
2.        Nenek dari saudara ibu susuan
3.        Saudara perempuan susuan
4.        Anak perempuan kepada saudara susuan laki-laki atau perempuan
5.        Sepupu dari ibu susuan atau bapak susuan
Perempuan muhrim bagi laki-laki karena persemendaan ialah:
1.        Ibu mertua
2.        Ibu tiri
3.        Nenek tiri
4.        Menantu perempuan
5.        Anak tiri perempuan dan keturunannya
6.        Adik ipar perempuan dan keturunannya
7.        Sepupu dari saudara istri
8.        Anak saudara perempuan dari istri dan keturunannya

E.        Hukum Pernikahan
Nikah merupakan amalan yang disyari’atkan, hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(An-Nisaa’, 3)
Dari keterangan diatas disimpulkan bahwa hukum nikah ada 5:
a.        Wajib
Menikah itu wjib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
Imam Al-qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya:
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nur: 32).
b.        Sunah
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif.
Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT. Bila dia menikah, tentu dia Akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
Dari Anas bin Malik RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Nikahilah wanita yang banyak anak, karena Aku berlomba dengan nabi lain pada hari kiamat." (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibbam).
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib nasrani." (HR. Al-Baihaqi 7/78).
Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.
c.         Haram
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak Akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya.Seperti orang yang terkena penyakit menular dimana bila dia menikah dengan seseorng Akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.
d.        Makruh
Orang yang tidak punya penghasilan Sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.
Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami. Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
e.        Mubah
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya. Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.
F.        Rukun dan Syarat Nikah
1.      Rukun Nikah
1)       Pengantin laki-laki
2)       Pengantin perempuan
3)       Wali
Berdasarkan sabda Rasulullah Sallallahu `Alaihi Wasallam: “Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal. Batal. Batal.” (HR Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah)
4)       Saksi
Rasulullah sallallahu `Alaihi Wasallam bersabda: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.” (HR Al-Baihaqi dan Ad-Daaruquthni. Asy-Syaukani dalam Nailul Athaar berkata: “Hadist di kuatkan dengan hadits-hadits lain.”)
5)       Mahar
Rasulullah Sallallahu `Alaihi wasallam bersabda kepada seorang yang pemuda yang hendak menikah: “Carilah mahar, walaupun hanya sebentuk cincin dari besi.” (HR Al-Bukharari dan Muslim)
6)       Akad Nikah
Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaairi berkata dalam kitabnya Minhaajul Muslim. “Ucapan ketika akad nikah seperti: Mempelai Lelaki: “Nikahkanlah aku dengan putrimu yang bernama Fulaanah.” Wali Wanita: “Aku nikahkan kamu dengan putriku yang bernama Fulaanah.” Mempelai Lelaki: “Aku terima nikah putrimu.”
2.      Syarat Nikah
a.      Syarat Calon Suami
1)       Islam
2)       Laki-laki yang tertentu
3)       Bukan lelaki muhrim dengan calon istri
4)       Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut
5)       Bukan dalam ihram haji atau umroh
6)       Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
7)       Tidak mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu
8)       Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan istri
b.   Syarat calon istri:
1)       Islam
2)       Perempuan yang tertentu
3)       Bukan perempuan muhrim dengan calon suami
4)       Bukan seorang banci
5)       Akil Baligh
6)       Bukan dalam ihram haji atau umroh
7)       Tidak dalam iddah
8)       Bukan istri orang
c.    Syarat wali
1)       Islam, bukan kafir dan murtad
Maka tidak sah wali kafir untuk orang Islam laki-laki dan perempuan. Begitu pula tidak sah perwalian orang Islam untuk orang kafir laki-laki atau perempuan. Adapun orang kafir menjadi wali bagi wanita kafir adalah, meskipun berbeda agamanya. Dan orang yang keluar dari agama (murtad) tidak bisa menjadi wali bagi siapapun.
2)       Lelaki dan bukannya perempuan
Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi Wasallam: “Wanita tidak (dibolehkan) menikahkan wanita lainnya. Dan wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Karena wanita pezina adalah yang menikahkan dirinya sendiri."  (HR. Ibnu Majah, No. 1782. Hadits ini terdapat dalam Shahih Al-Jami, no. 7298)
3)       Baligh
4)       Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
5)       Bukan dalam ihram haji atau umroh
6)     Adil/Tidak fasik, Sebagian ulama menjadikan hal ini sebagai syarat, tapi sebagian lain mencukupkan dengan syarat sebelumnya. Sebagian lagi mencukupkan syarat dengan kemaslahatan bagi yang diwalikan untuk menikahkannya.
7)       Tidak cacat akal pikiran, gila, terlalu tua dan sebagainya
8)       Merdeka (Bukan Budak)
9)       Bijak, yaitu orang yang mampu mengetahui kesetaraan (antara kedua pasangan) dan kemaslahatan pernikahan.
10)   Para wali harus berurutan menurut ahli fiqih. Maka tidak dibolehkan melewati wali terdekat, kecuali jika wali terdekat tidak ada atau tidak memenuhi syarat. Wali seorang wanita adalah bapaknya, kemudian orang yang diwasiatkannya untuk menjadi walinya, lalu kakek dari bapak sampai ke atas, lalu anak laki-lakinya, lalu cucu sampai ke bawah. Kemudian saudara laki-laki sekandung, berikutnya saudara laki-laki seayah, kemudian anak dari keduanya.  Kemudian paman sekandung, lalu paman sebapak, kemudian anak dari keduanya. Kemudian yang terdekat dari sisi keturunan dari asobah seperti dalam waris. Kemudian penguasa Muslim (dan orang yang menggantikannya seperti Hakim) sebagai wali bagi yang tidak mempunyai perwalian.






DAFTAR PUSTAKA

Rafi Baihaqi, Ahmad, Membangun Surga Rumah Tangga, (surabayah:gita mediah press, 2006)
At-tihami, Muhammad, Merawat Cintah Kasih Menurut Syriat Islam, (surabayh : Ampel Mulia, 2004)
Muhammad  ‘uwaidah, Syaikh Kamil, Fiqih Wanita, (Jakarta:pustaka al-kautsar, 1998)
Abidin Slamet, Drs. H. Aminudin. 1999. Fiqh Munakahat I. Bandung: CV Pustaka Setia
Al-Utsaiin Muhammad Sholeh, Syekh Abdul Aziz Ibn Muhammad Dawud. 1991. Pernikahan Islami: Dasar Hidup Beruah Tangga. Surabaya: Risalah Gusti
Idris ramulyo Muh. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Rasjid Sulaiman. 2010. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Syarifuddin Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang – Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana

http://hukum.unsrat.ac.id/ma/kompilasi.pdf diakses tanggal 10 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar