TASAWUF AKHLAKI
A. Perkembangan Tasawuf
Secara keilmuan,
tasawuf adalah disiplin ilmu yang baru dalam syari’at Islam, demikian menurut
Ibnu Khaldun.[1]
Adapaun asal-usul tasawuf menurutnya adalah konsentrasi ibadah kepada Allah,
meninggalkan kemewahan dan keindahan dunia dan menjauhkan diri dari akhluk.
Ketika kehidupan materialistik mulai mencuat dalam peri kehidupan masyarakat
muslim pada abad kedua dan ketiga hijriyyah sebagai akibat dari kemajuan
ekonomi di dunia Islam, orang-orang yang konsentrasi beribadah dan menjauhkan
diri dari hiruk pikuknya kehidupan dunia disebutlah kaum sufi.
Berbeda dengan
Ibnu Khaldun, Muhammad Iqbal dalam bukunya “Tajdid al-Fikr ad-Dini al-Islam”
berpendapat bahwa tasawuf telah ada semenjak Nabi. Riyadoh Diniyyah telah
lama menyertai kehidupan manusia sejak awal-awal Islam bahkan kehidupan ini
semakin mengental di dalam sejarah kemanusiaan. Menurut sebagian fakar, Imam
Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang memunculkan istilah taswuf.
Menurut yang lain Salman al-Farisi.
Akar-akar tasawuf
dalam Islam merupakan penjabaran dari ihsan. Ihsan sendiri merupakan bagian
dari trilogi ajaran Islam. Islam adalah satu kesatuan dari iman, islam dan
ihsan. Islam adalah penyerahan diri kepada Allah secara zahir, iman adalah
I’tikad batin terhadap hal-hal gaib yang ada dalam rukun iman, sedangkan ihsan
adalah komitmen terhadap hakikat zahir dan batin.
Islam, iman dan
ihsan adalah landasan untuk melakukan suluk dan taqqarub kepada Allah. ‘Iz bin
Abdissalam berpendapat bahwa sistematika keberagamaan bagi kaum muslimin, yang
pertama adalah Islam.[2]
Islam merupakan tingkat pertama beragama bagi kaum awam. Iman adalah tingkatan
pertama bagi hati orang khusus kaum mukminin, sedangkan ihsan adalah tingkatan
pertama bagi ruh kaum
B. Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi
adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi
pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah
dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan
mewujudkan akhlaq mahmudah.[3]
Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ulama’ lama sufi.
Dalam pandangan
para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik
diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada
tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan
amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa
nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin-
mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi
mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli
merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi. Takhalli
adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu
dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain
adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah
upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap,
perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah
mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan
agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut
aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat,
puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan,
ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.
3. Tajalli
Untuk pemantapan
dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian
pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna
terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ
tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa
melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa
ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan
kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan
menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
C. Tokoh-tokoh
Tasawuf dan Pemikirannya
Tasawuf Akhlaki
merupakan tasawuf yang berorientasi pada perbaikan akhlak’ mencari hakikat
kebenaran yang mewujudkan menuasia yang dapat ma’rifah kepada Allah, dengan
metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf Akhlaki, biasa disebut
juga dengan istilah tasawuf sunni. Tasawuf Akhlaki ini dikembangkan oleh ulama salaf
as-salih.[4]
Dalam diri
manusia ada potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk menjadi buruk. Potensi
untuk menjadi baik adalah al-‘Aql dan al-Qalb. Sementara potensi
untuk menjadi buruk adalah an-Nafs. (nafsu) yang dibantu oleh syaithan. Sebagaimana
digambarkan dalam al-Qur’an, surat as-Syams : 7-8 sebagai berikut :
Artinya : “Dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya”.
Para sufi yang
mengembangkan taswuf akhlaki antara lain : Hasan al-Basri (21 H – 110 H),
al-Muhasibi (165 H – 243 H), al-Qusyairi (376 H – 465 H), Syaikh al-Islam
Sultan al-Aulia Abdul Qadir al-Jilani (470 – 561 H), Hujjatul Islam Abu Hamid al-Gajali
(450 H – 505 H), Ibnu Atoilah as-Sakandari dan lain-lain.[5]
Sesugguhnya banyak sekali para Ulama’ yang mengikuti jejak Rosulullah
SAW. untuk hidup seadanya dan tidak tamak, tapi pemakalah disini akan membahas
siapa saja yang terkenal sebagai pakar ilmu tasawuf akhlaki :
1. Tokoh-tokoh
Tasawuf Ahlaki dan Ajarannya
Tasawuf Sunni
(akhlaki) yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-qur’an dan Sunnah,
terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya, mengontrol
prilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca keduanya. Sebagaimana
ungkapan Abu Qosim Junaidi al-Bagdadi: “Mazhab kami ini terikat dengan
dasar-dasar Al-qur’an dan Sunnah”, perkataannya lagi: “Barang siapa yang tidak
hafal (memahami) Al-qur’an dan tidak menulis (memahami) Hadits maka orang itu
tidak bisa dijadikan qudwah dalam perkara (tarbiyah tasawuf) ini, karena ilmu
kita ini terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”. Tasawuf ini diperankan oleh
kaum sufi yang mu’tadil (moderat) dalam pendapat-pendatnya, mereka mengikat antara
tasawuf mereka dan Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang jelas. Boleh
dinilai bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa menimbang tasawuf
mereka dengan neraca Syari’ah.
Tasawuf ini
berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada akhlak. Mereka adalah
sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan setelahnya sampai
abad keempat hijriyah. Dan personal seperti Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hanifa,
al-Junaidi al-Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti, al-Harowi, adalah
merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini yang berjalan sesuai dengan tasawuf
sunni. Kemudian pada pertengahan abad kelima hijriyah imam Ghozali membentuknya
ke dalam format atau konsep yang sempurna, kemudian diikuti oleh pembesar syekh
Toriqoh. Akhirnya menjadi salah satu metode tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah wal
jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali kaidah-kaidah
praktis.
Tasawuf ini juga
dinamakan tasawuf nazhari (teori), demikian, karena tasawuf Islam terbagi
kepada nazhari dan amali (praktek). Dan hal ini tidak berarti bahwa tasawuf
nazhori ini kosong dari sisi praktis. Istilah teori ini hanya melambangkan
bahwa tasawuf belum menjadi bentuk thoreqoh (tarbiyah kolekltif) secara
terorganisir seperti toreqoh yang terjadi sekarang ini.
a. Junaid Al-Baghdadi[6]
Nama lengkapnya
adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz al-nihawandi. Dia aadalah
seorang putera pedagang barang pecah belah dan keponakan Surri al-Saqti serta
teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 297/910
M. dia termasuk tokoh sufi yang luar biasa, yang teguh dalam menjalankan
syari`at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang
sangat faqih, sering memberi fatwa sesuia apa yang dianutnya, madzhab abu
sauri: serta teman akrab imam Syafi`i.
Dikatakan bahwa
para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan
luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam, khusus tentang
paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia digelari Imam Kuam Sufi (Syaikh
al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di dalam kitabnya al-Risaalah
al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi. Asal-usul al-Junaid
berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa di Irak. Tentang riwayat
dan pendidikannya, al-junaid pernah berguru pada pamannya Surri al-Saqti serta
pada Haris bin `Asad al-muhasibi.
Kemampuan
al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh pamannya,
sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti pada kepercayaan gurunya
dalam memberikan amanat kepadanya untuk dapat tampil dimuka umum.
Al-Junaid dikenal
dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid.
Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab
biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi:
“oang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya
dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, dia tidak beranak
dan diperanakkan. Di sini memberikan pengertian tauhid yang hakiki. Menurutnya
adalah buah dari fana` terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia
menegaskan.
Al-Junaid juga
menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan mati dari dirimu
sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`,
sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan
binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dan hidup dalam sebutannya
baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan
kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya.
Disamping
al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para sufi, dia juga
mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
b. Al-Qusyairi
An-Naisabury[7]
Dialah Imam
Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima hijriah.
Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya adalah Abdul Karim
al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn
Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M.
Sedikit sekali
informasi penulis dapat yang menerangkan tentang masa kecilnya. Namun yang
jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat usianya masih
kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu
al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan kaki
meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota
Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika.
Hal ini dilakukan karena Al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan
masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan
mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik pajak dan meringankan
kesulitan masyarakat saat itu.
Naisabur
merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk perkembangan berbagai macam
disiplin ilmu, karena banyak kaum intelektual yang hidup disana. Di kota
inilah, untuk pertama kalinya Al-Qusyairy bertemu bertemu Sheikh Abu ‘Ali Hasan
ibn ‘Ali an-Naisabury, yang lebih dikenal dengan panggilan Ad-Daqqaq. Pertemuan
itu menyisakan kekaguman Al-Qusyairy pada peryataan-pernyataan Ad-Daqqaq.
Perlahan, keinginannya mempelajari matermatika pun hilang. Ia pun memilih jalan
tarekat dengan belajar dari Ad-Daqqaq. Berawal dari sinilah, Al-Qusyairy
mengenal Tasawuf.
Al-Daqqaq
merupakan guru pertama Al-Qusyairy dalam bidang Tasawuf. Dari ia pula
Al-Qusyairy mempelajari banyak hal, tidak hanya terbatas Tasawuf, tetapi juga
ilmu-ilmu keislaman yang lain. Al-Qusyairy mampu memahami dengan baik semua
pengetahuan yang diajarkan gurunya. Dari sinilah Ad-Daqqaq menyadari kemampuan
intelektual Al-Qusyairy. Mungkin, hal ini menjadi salah satu faktor yang
mendorong inisiatif Ad-Daqqaq untuk menikahkan putrinya, Fatimah dengan
Al-Qusyairy.
Pernikahan ini
berlangsung pada antara tahun 405 – 412 H/1014 – 1021 M. Fatimah merupakan
wanita ahli sastra dan tekun beribadah. Dari pernikahan ini, lahirlah enam
putera dan satu puteri, yaitu; Abu Said Abdullah, Abu Said Abdul Wahid, Abu
Mansyur Abdurrahman, Abu Nashr Abdurrahim, Abu Fath Ubaidillah, Abu Muzaffar
Abdul Mun’im dan putri Amatul Karim.
Disamping berguru
pada mertuanya, Imam Al-Qusyairy juga berguru pada para ulama lain.
Diantaranya, Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husain (325-412 H/936-1021 M),
seorang sufi, penulis dan sejarawan. Al-Qusyairy juga belajar fiqh pada Abu
Bakr Muhammad ibn Abu Bakr at-Thusy (385-460 H/995-1067 M, belajar Ilmu Kalam
dari Abu Bakr Muhammad ibn al-Husain, seorang ulama ahli Ushul Fiqh. Ia juga
belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad, ulama ahli Fiqh dan
Ushul Fiqh. Al-Qusyairy pun belajar Fiqh pada Abu Abbas ibn Syuraih, serta
mempelajari Fiqh Mazhab Syafi’i pada Abu Mansyur Abdul Qohir ibn Muhammad
al-Ashfarayain.
Al-Qusyairy
banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin
Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary (w.935 M) dan
para pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau Kitab Risalatul Qusyairiyah
yang merupakan karya monumentalnya dalam bidang Tasawuf -dan sering disebut
sebagai salah satu referensi utama Tasawuf yang bercorak Sunni-, Al-Qusyairy
cenderung mengembalikan Tasawuf ke dalam landasan Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia
juga penentang keras doktrin-doktri aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah
dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, Al-Qusyairy pernah mendekam dalam penjara
selama sebulan lebih, atas perintah Taghrul Bek, karena hasutan seorang menteri
yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad ibn Mansyur al-Kunduri.
Perburuan
terhadap para pemuka aliran Asy’ariyah itu berhenti dengan wafatnya Taghrul Bek
pada tahun 1063 M. Penggantinya, Alp Arsalen (1063-1092 M), kemudian mengangkat
Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik Terhadap Para Sufi Dr. Abu
al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Guru Besar Filsafat Islam dan Tasawuf pada
Universitas Kairo, yang juga tokoh dan Ketua Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah
al-Shufihiyah al-Mishriyah) menulis, Imam Al-Qusyairy mengkritik para sufi
aliran Syathahi yang mengungkapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang
terjadinya Hulul (penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat-sifat
barunya, dengan Tuhan.
Al-Qusyairy juga
mengkritik kebiasaan para sufi pada masanya yang selalu mengenakan pakaian
layaknya orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin dengan perpegang pada
Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini lebih disukainya daripada penampilan
lahiriah yang memberi kesan zuhud, tapi hatinya tidak demikian. (lihat, Dr. Abu
al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilaa al-Tasawwuf al-Islam, cetakan
ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li an-Nasyr wa al-Tauzi, Kairo, 1983).
Dari sini dapat
dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan kesenangan dunia, selama hal itu tidak
memalingkan manusia dari mengingat Allah. Beliau tidak sependapat dengan para
sufi yang mengharamkan sesuatu yang sebenarnya tidak diharamkan agama. Karena
itu Al-Qusyairy menyatakan, penulisan karya monumentalnya Risalatul
Qusyairiyah, termotinasi karena dirinya merasa sedih melihat persoalan yang
menimpah dunia Tasawwuf. Namun dia tidak bermaksud menjelek-jelekkan seorang
pun para sufi ketika itu. Penulisan Risalah hanya sekadar pengobat keluhan atas
persoalan yang menimpa dunia Tasawuf kala itu.
Imam Al-Qusyairy
merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang berkembang pada
masanya, hal ini terlihat dari karya-karya beliau, seperti yang tercantum pada
pembukaan Kitabnya Risalatul Qusyairiyah.
Karya-karya itu
adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas masalah-masalah Fiqh, Adaabu
as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil Hadis, kitab ini berisi 40 buah
hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi Ali Ad-Daqqaq ke Rasulullah.
Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul Muraadaats, Kitab Bulghatul Maqaashid
fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir fii Tadzkir, Kitab Tartiibu as-Suluuki fii
Tariqillahi Ta’ala yang merupakan kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf,
Kitab At-Tauhidu an-Nabawi, Kitab At-Taisir fi ‘Ulumi at-Tafsir atau lebih
dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir. Ini merupakan buku pertama yang ia tulis,
yang penyusunannya selesai pada tahun 410 H/1019 M. Menurut Tajuddin as-Syubkhi
dan Jalaluddin as-Suyuthi, tafsir tersebut merupakan kitab tafsir terbaik dan
terjelas.
Menurut
Syuja’al-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada pagi Hari Ahad,
tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun. Dikisahkan bahwa
beliau mempunyai seekor kuda yang telah mengabdi padanya selama selama 20
tahun. Pada saat Al-Qusyairy wafat, kuda itu sangat sedih dan tidak mau makan
selama dua minggu, hingga akhirnya ikut mati. Setelah Al-Qusyairy wafat, tak
ada seorang pun yang berani memasuki perpustakaan pribadinya selama beberapa
tahun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan bagi al-Imam Radiyallah
Ta’ala ‘Anhu. Wallahu a’lam bi al-Showab.
c. Al-Harawi[8]
Nama lengkapnya
adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau lahir tahun 396 H.
di Heart, kawasan khurasan. Seperti dikatakan Louis Massignon, dia adalah
seorang faqih dari madzhab hambali; dan karya-karyanya di bidang tasawuf
dipandang amat bermut. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia
mendasarkan tasawufnya di atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang
memandangnya sebagai pengasas gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang
para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami
dan al-Hallaj.
Di antara
karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb
al-`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan
tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut,
menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama
kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali
dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bias tegak
kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan
menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-Sunnah”.
Dalam
kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi melancarkan kritik terhadap
para sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-ucapannya, sebagaimana katanya.
Dalam kaitannya
dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut, al-Harwi berbicara
tentang maqam ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha
yang aneh. Dia mengatakan: “peringkat ketiga (dari peringkat-peringkat
ketenangan) adalah ketenagan yang timbul dari perasaan ridhaatas bagian yang
diterimanya. Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan aneh yang menyesatkan;
dan membuat orang yang mencapainya tegak pada batas tingkatannya. “yang
dimaksud dengan ucapan dengan ucapan yang menyesatkan itu adalah seperti
ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain.
Berbeda dengan
al-Jinaid, Sahl al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini memiliki ketenangan
yang membuat mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang anah. Karena itu
dapat dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari ketidak
tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di kalbu, maka hal itu
akan membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan
tersebut.
Kemudian yang
dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi pada batas
tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Tegasnya, di sekali-kali tidak melewati
tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Ketenangan tersebut, menurut
al-harawi, tidak di turunkan kecuali pada kalbu seorang nabi atau wali.
D. Rukun Tasawuf
Al-Kalabazi
dengan mengutip pendapat Abu al-Hasan Muhammad bin Ahmad al-Farisi menerangkan
bahwa rukun tasawuf ada sepuluh macam, antara lain:
1. Tajrid at-Tauhid
(memurnikan tauhid).
2. Memahami
informasi. Maksudnya mendengar tingkah laku bukan hanya mendengar ilmu saja.
3. Baik dalam
pergaulan.
4. Mengutamakan
kepentingan orang banyak ketimbang kepentingan diri sendiri.
5. Meninggalkan
banyak pilihan.
6. Ada kesinambungan
antara pemenuhan kepentingan lahir dan batin.
7. Membuka jiwa
terhadap intuisi (ilham).
8. Banyak melakukan
bepergian untuk menyaksikan keagungan alam ciptaan Tuhan sekaligus mengambil pelajaran.
9. Meninggalkan iktisab
untuk menumbuhkan tawakkal.
10. Meninggalkan
iddikhar (banyak simpanan) dalam keadaan tertentu kecuali dalam rangka mencari
ilmu.
Assalamu’allaikum
. . .
Semoga
nichhh data bermanfaat buat semua yang baca
Terutama
buat saya yang udah Ngedit - - -
Kya .
. . Thank buat blog yang udah ngizinin saya Copy paste… ^_^
Wassalam
N’ see you bye – bye . . .^_^
[1]
. Siregar, Prof. H. A. Rivay,
“Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme” cet. Kedua, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2000
[2]
. Ali, Sayyid Nur Sayyid, At-Tashawwuf Asy-Syar’i, terj. M. Yaniyullah
Jud.Tasawuf Syar’i, Jakarta: Hikmah-Mizan, 2003
[3].
Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak Tasawuf,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. Kelima
[4]
. Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2003, cet. Kelima. Hal. 93
[5]
. Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2003, cet. Kelima. Hal. 81
[6]
. Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional.
Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002.
Hal. 24
[7]
. Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Islam. cet.
Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002. Hal. 35
[8]. Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional.
Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002.
Hal. 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar