BAB II
PERNIKAHAN TERLARANG DAN DI HARAMKAN
A.
Pernikahan Yang Di Larang
1.
Nikah
mut'ah
Nikah Mut’ah adalah Pernikahan untuk masa tertentu dalam arti
pada waktu akad dinyatakan masa tertentu yang bila masa itu telah datang,
Pernikahan terputus dengan sei dirinya. Nikah mut’ah pernah terjadi pada
umat islam dan diridhai Rasulullah namun kemudian nabi melarangnya. Karena ada
persyaratan yang tidak terpenuhi yaitu tidak adanya masa tertentu. Terdapat
dalam hadist Nabi dari Salamah bin al-Akwa’ riwayat Muslim:
Artinya: “Rasul Allah pernah
memberikan keringanan pada tahun authas (waktu perang Khaibar, umrah qadha,
tahun memasuki mekah, perang Tabuk dan waktu Haji wada’) untuk melakukan mut’ah
selama tiga hari, kemudian Nabi melarangnya.”
2.
Nikah
tahlil atau muhallil
Nikah muhallil atau nikah tahlil adalah Pernikahan
yang dilakukan untuk menghalalkan orang yang telah melakukan talak
tiga untuk segera kembali kepada istrinya. Bila seseorang telah menceraikan
istrinya sampai tiga kali, baik dalam satu masa atau berbeda masa, si
suami tidak boleh lagi kawin dengan bekas istrinya itu kecuali bila
istrinya itu telah menikah dengan laki-laki Lain, kemudian bercerai dan
habis pula iddahnya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat
230: Artinya: “Kemudian jika suami
mentalaknya (setelah talakyang kedua), maka perempuan itu tidak halallagi
baginya kecuali bila, dia telah kawin dengan suami lain.”
Suami yang telah mentalak istrinya tiga kali itu sering ingin
kembali lagi kepada bekas istrinya itu. Kalau ditunggu cara yang biasa
menurut ketentuan Pernikahan, mungkin menunggu waktu yang lama. Untuk mempercepat
maksudnya itu ia mencari seseorang laki-laki yang akan mengawini
bekas istrinya itu secara pura-pura, biasanya dengan suatu syaf bahwa
setelah berlangsung akad nikah segera diceraikannya sebelum sempat
digaulinya. Ini berarti kawin akal-akal untuk cepat menghentikan suatu yang
diharamkan.
Nikah tahlil ini tidak menyalahi rukun yang telah
ditetapkan namun karena niat orang yang mengawini itu tidak ikhlas dan
tidak untuk maksud sebenarnya, Pernikahan itu dilarang oleh Nabi. Hal ini
terdapat dalam hadits Nabi dari Mas'ud yang diriwayatkan oleh Ahmad,
al-Nasai dan A1-Tirmizi dan keluarkan oleh empat perawi hadits selain
al-Nasai yang Artinya: “Rasul Allah SAW.
mengutuk orang yang menjadi muh'allil (orang yang menyuruh kawin) dan
muhallal lah (orang yang melaktikan Pernikahan tahlil).”
3.
Nikah
syigar
Nikah syigsr ialah perbuatan dua orang laki-laki yang saling
menikahi anak perempuan dari laki-laki lain dan masing-masing menjadikan
pernikahan itu sebagai maharnya. Dalam bentuk nyatanya ialah sebagai berikut:
seseorang laki-laki berkata sebagai ijab kepada seorang laki-laki
lain: "Saya kawinkan anak
perempuan saya bernama si A kepadamu dengan mahar saya mengawini anak
perempuanmu yang bernama si B". Laki-laki lain itu menjawab dalam
bentuk qabul: saya terima mengawini anak perempuanmu yang
bernama dengan maharnya kamu mengawini anak perempuan saya bernama si
B".
Yang tidak terdapat dalam Pernikahan itu adalah mahar yang nyata dan
adanya syarat untuk saling mengawini dan mengawinkan. Oleh karena itu,
Pernikahan syigar di larang.
B.
Pernikahan Yang Di Haramkan
1.
Mahram
muabbad yaitu orang-orang yang haram melakukan pernikahan untuk selamanya
disebabkan:
1)
Adanya
hubungan kekerabatan.
2)
Haram
Pernikahan karena adanya hubungan Pernikahan mushaharah.
3)
Hubungan
persusuan.
2.
Mahram
ghairu muabbad yaitu larangan kawin yang berlaku untuk sementara berarti
tidak boleh kawin dalam bentuk tertentu karena sesuatu hal, bila hal tersebut
sudah tidak ada, maka larangan tersebut tidak berlaku lagi. Yaitu:
1)
Memadu
dua orang yang bersaudara.
2)
Pernikahan
yang kelima.
3)
Perempuan
yang bersuami atau dalam iddah.
4)
Mantan
istri yang telah ditalak tiga kali bagi mantan suaminya.
5)
Perempuan
yang sedang ihram.
6)
Perempuan
penzina sebelum bertobat.
7)
Perempuan
musyrik.
C.
Hukum Menikah Lebih Dari Empat Kali (Pernikahan
Yang Ke-5)
Seseorang laki-laki dalam pernikahan poligami
paling banyak menikahi empat orang dan tidak boleh lebih dan itu,
kecuali bila salah seorang dari istrinya yang berempat itu telah
diceraikannya dan habis pula masa iddahnya. Dengan begitu perempuan kelima
itu haram dikawininya dalam flias tertentu, yaitu selama salah seorang di
antara istrinya yang empat itu belum diceraikannya. Pembatasan
pada orang ini berdasarkan kepada firman Allah dalam surat An_Nisa ayat 3
yang artinya:
“Bila kamu takut tidak akan berlaku adil
terhadap anak perempuan, kawinnilah perempuan lain yang kamu senangi dua,
tiga atau empat. Bila kamu takut tidak akan berlaku adil cukup seorang”.
Dari ayat tersebut jelas bahwa Islam
membolehkan adanya kawin poligami, yaitu seseorang mempunyai istri lebih
dari satu orang, namun kebolehan itu tidaklah secara mutlak, tetapi dengan
suatu syarat yaitu kemampuan berlaku adil di antara istri-istri itu. Adil
itu bukan suatu yang mudah untuk dilaksanakan. Hal ini dijelaskan sendiri
oleh Allah dalam surat al-Nisa' ayat 129 yang artinya:
“Dan
kamu tidak akan mampu berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu ingin
sekali berbuat begitu. Oleh karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung
kepada seorang yang kamu cintai hingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung…”
Para fuqaha terdahulu hanya membatasi adil itu
kepada hal yang bersifat zahir seperti adil dalam memberi nafkah,
adil dalam giliran tidur, adil dalam giliran diajak bepergian
dan hal-hal yang bersifat lahir; dan tidak mensyaratkan adil
dalam yang bersifat batin seperti dalam cinta kasih.
D.
Putusnya Pernikahan
1.
Talak
Arti talak secara bahasa berarti “lepas dan bebas”.secara istilah menurut
Al-Mahalii adalah Artinya: “Melepaskan hubungan pernikahan dengan
menggunakan lafaz talak dan sejenisnya. Hukum talak adalah makruh karena bila
hubungan pernihakahan itu tidak dapat lagi dipertahankan dan kalau dilanjutkan
juga akan menghadapi kehancuran dan kemudaratan, maka islam membuka pintu untuk
terjadinya perceraian.
Macam-macam Talak Dilihat kepada keadaan istri waktu talak itu
diucapkan oleh suami:
1)
Talak Sunni yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami
yang mana si istri waktu itu tidak dalam keadaan haif dan dalam masa itu belum
pernah dicampuri oleh suaminya.
2)
Talak Bid’iy yaitu talak yang mana waktu itu si istri
sedang dalam haid atau dalam masa suci namun dalam waktu out telah dicamouri
oleh suaminya.
Dilihat kepada kemungkinan bolehnya si suami
kembali kepada mantan istrinya:
1)
Talak
Raj’iy yaitu talak si suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa
melalui nikah baru, selama istrinya masih dalam masa iddah.
2)
Talak
Bain yaitu talak yang putus secara penuh dalam arti tidak memungkinkan
suami kembali kepada istrinya kecuali dengan nikah baru. Juga terbagi menjadi 2
macam yaitu: bain sugra dan bain kubra.
2.
Khulu’
Khulu’ yaitu perceraian dengan kehendak istrinya. Hukumnya
boleh atau mubah. Sesuai dengan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 229 yang
artinya:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah
itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri)
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Baqarah: 229).
3.
Fasakh
Pada dasarnya dilakuakan oleh hakim atas permintaan dari suami atau
istri. Namun ada pula yang fasakh itu terjadi dengan sendirinya tanpa
memerlukan hakim seperti suami istri ketahuan senasab atau sepersusuan.
4.
Zhihar
Secara bahasa yaitu berarti punggung. Secara bahasa yaitu “Ucapan seseorang laki-laki kepada
istrinya:”Engakau bagi saya seperti punggung ibu saya”.
5.
Illa’
Secara bahasa berarti “tidak mau melakukan sesuatu dengan cara
bersumpah” Secara istilah yaitu “sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya”.
Firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 226-227 yang artinya:
“Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya
diberi tenggang waktu selama empat bulan(lamanya), kemudian jika mereka
kembali(kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi
Penyayang. Bila mereka berazam(berketetapan hati) untuk talak maka sesungguhnya
Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.”
6.
Li’an
Secara bahasa yaitu saling melaknat. Secara istilah adalah sumpah
suami yang menuduh istrinya berbuat zina, sedangkan dia tidak mampu
mendatangkan empat orang saksi, setelah terlebih dahulu memberikan kesaksian
empat kali bahwa ia benar dalam tuduhannya.
7.
Iddah
Secara etimologi, 'iddah
yang jamaknya adalah 'idat berarti bilangan.
Secara terminologi diartikan “Masa yang mesti dilalui oleh seorang perempuan
(yang bercerai dari suaminya) untuk mengetahui bersihnya rahimnya
dari kehamilan.” Perempuan yang bercerai dari suaminya, baik cerai
hidup atau cerai mati mesti menjalani masa iddah; dalam masa mana ia
tidak boleh kawin dengan laki-laki lain.
Iddah itu diwajibkan karena padanya terdapat hikmah
di antaranya sebagaimana yang tersebut dalam definisi tersebut, di atas
adalah untuk mengetahui apakah bekas suami yang menceraikannya
meninggalkan benih dalam rahim istrinya atau tidak. Dengan begitu dapat
terpelihara dari bercampur-nya dengan bibit yang akan disemai oleh suaminya
yang baru. Di samping itu iddah memberi kesempatan kepada
suami |untuk berfikir-fikir untuk kembali berbaik dengan
istrinya. Lama masa[d1] iddah itu tergantung pada keadaan si
istri waktu bercerai dari suaminya. Adapun masa-masa iddah itu adalah
sebagai berikut:
a.
Istri
yang ditinggal mati oleh suaminya dan telah digauli suaminya dalam masa itu,
iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat
al-Baqarah ayat 234 yang artinya:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antara
kamu dan meninggalkan istri-istri (hendaklah istri-istri itu) menjalani iddah
selama 4 bulan 10 hari.”
b.
Istri
yang diceraikan suami sebelum sempat digauli tidak menjalani masa iddah.
Hal ini dinyatakan Allah dalam surat al-Ahzab ayat 49 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan-perempuan beriman, kemudian kamu mencerai-kannya
sebelum kamu gauli, maka se kali- kali tidak wajib atas mereka iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”
Adapun perempuan yang kematian suami yang belum sempat digauli
oleh suaminya yang berlaku baginya adalah beriddah 4 bulan 10 hari.
Alasannya ialah bahwa kewajiban beriddah di sini bukan untuk mengetahui
kebersihan rahimnya dari bibit bekas suaminya, tetapi sebagai penghormatan
terhadap suaminya yang meninggal itu.
c.
Istri
yang bercerai dari suaminya, telah digauli oleh suami nya sedangkan ia
masih dalam masa haid, maka iddahnya adalah selama tiga quru', sebagaimana
firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 Artinya:
“Perempuan-perempuan yang bercerai dari
suaminya hendaklah menjalani iddah selam tiga furu”.
Yang dimaksud dengan tiga quru' dalam ayat ini menurut jumhur ulama
adalah tiga kali suci; sedangkan bagi ulama Hanafiyah tiga quru' itu
berarti tiga kali masa haid. Di antara dua masa tersebut di atas tiga kali
haid lebih panjang daripada tiga kali suci.
d.
Istri
yang bercerai dari suami, sedangkan dia telah digauli suaminya; dan dia
tidak lagi dalam masa haid atau tidak berhaid sama sekali, maka masa
iddahnya adalah selama tiga bulan. Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam surat al-Thalaq ayat 4 Artinya:
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
di antara perempuan-perempuanmu, jika kamu ragu (tentang
masa iddahnya) maka iddahnya adalah tiga bulan. Begitu
pula perempuan-perempuan yang tidak haid.”
e.
Istri-istri
yang bercerai dari suaminya sedang dalam keadaan hamil iddahnya adalah melahirkan
anaknya. Ketentuan ini ditetapkan Allah dalam surat al-Thalaq ayat 4
Artinya:
“Perempuan-perempuan hamil (yang bercerai dari
suaminya) iddahnya adalah melahirkan anak….”
Adapun perempuan hamil yang kematian suami, menurut Jumhur
ulama iddahnya adalah melahirkan anaknya dan Masanya belum empat bulan
sepuluh hari; dalam yang berlaku baginya adalah iddah hamil.
Sedangkan ulama Lain, di antaranya Ali bin Abi Thalib,
iddah perempuan hamil yang kematian suami adalah masa yang terpanjang
antara empat bulan sepuluh hari dengan melahir-kan anak. Bila anak lahir
sebelum empat bulan sepuluh hari maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh
hari; namun bila setelah empat bulan sepuluh hari anaknya belum lahir
juga, maka iddahnya adalah melahirkan anak.
Hak Istri Dalam Masa Iddah:
1)
Istri
yang dicerai dalam bentuk talak raj'iy, hak yang diterimanya adalah penuh
sebagaimana yang berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk perbelanjaan
untuk pangan, untuk pakaian dan juga tempat tinggal.
2)
Istri
yang dicerai dalam bentuk talak bain, baik bain sughra atau bain
kubra, dia berhak atas tempat tinggal, bila ia tidak dalam keadaan
hamil. Apabila ia dalam keadaan hamil, selain mendapat tempat tinggal juga
mendapat nafkah selama masa hamilnya itu. dan inilah pendapat dari
Jumhur Ulama.
3)
Istri
yang ditinggal mati oleh suaminya. Hal yang disepakati ialah bahwa ia
berhak mendapatkan tempat tinggal selama dalam iddah, karena ia harus
menjalani masa iddah di rumah suaminya dan tidak dapat kawin selama masa
itu. Adapun nafkah dan pakaian kebanyakan ulama menyarna-kannya dengan
cerai dalam bentuk talak bain.
E.
Rujuk
Secara
bahasa ruju' atau raj'ah berarti kembali. Sedangkan
definisinya menurut Al-Mahalli ialah: “Kembali
ke dalam hubungan Pernikahan dari cerai yang bukan bain, selama dalam masa
Iddah”. Sebagaimana Pernikahan itu adalah suatu perbuatan yang disuruh
oleh agama, maka Ruju' setelah terjadinya perceraian_pun merupakan suruhan
agama. Hal ini dapat dilihat dalam firman allah pada surat al-Baqarah ayat
231 yang Artinya: “Dan bila kamu
menceraikan istri-istrimu, lalu mereka men-dekati akhirmasa iddahnya, maka
rujukilah mereka dengan cara baik atau ceraikanlah mereka dengan cara
baik”.
Adapun unsur yang menjadi rukun dan syarat-syarat untuk setiap
rukun itu adalah sebagai berikut:
1.
Laki-laki
yang meruju' istrinya mestilah seseorang yang mampu melaksanakan
pernikahan dengan sendirinya, yaitu telah dewasa dan sehat akalnya.
Seseorang yang masih belum dewasa atau dalam keadaan gila tidak sah ruju'
yang dilakukannya. Bila waktu mentalak istrinya Ia berakal
sehat kemudian dia gila dan ingin ruju' yang melakukan ruju' itu adalah
walinya, sebagaimana yang menikahkannya adalah walinya.
2.
Perempuan
yang dirujuki adalah perempuan yang telah dinikahinya dan kemudian diceraikannya
tidak dalam bentuk cerai tebus (khulu') dan tidak pula dalam talak
tiga, sedangkan dia telah digauli selama dalam Pernikahan itu dan masih
berada dalam masa iddah.
3.
Ada
ucapan ruju' yang diucapkan oleh laki-laki yang Akan merujuk. Di sini
tidak diperlukan qabul dari pihak istri; karena ruju' itu bukan
memulai.nikah, tetapi hanya sekedar melanjutkan pernikahan. Ucapan ruju'
itu menggunakan lafaz yang jelas untuk rujuk.
Sebagian ulama mensyaratkan adanya kesaksian
dua orang saksi sebagaimana yang berlaku dalam akad nikah. Keharusan
adanya saksi ini bukan dilihat dari segi ruju' itu memulai nikah atau
melanjutkan nikah, tetapi karena adanya perintah Allah untuk itu
sebagaimana terdapat dalam Surat At-Thalaq ayat 2 yang Artinya:
“Bila
mereka telah mendekati akhir masa iddahnya, maka rujukilah mereka dengan
baik atau ceraikanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi yang adil di antaramu; dan tegakkan kesaksian karena Allah.”
Berdasarkan pendapat yang mensyaratkan adanya
saksi dalam ruju' itu, maka ucapan ruju' tidak boleh
menggunakan lafaz kinayah, karena penggunaan
lafaz kinayah memerlukan adanya niat, sedangkan saksi yang nadir
tidak akan tahu niat dalam hati itu. Pendapat lain yang berlaku di
kalangan jumhur ulama, ruju' itu tidak perlu dipersaksikan, karena ruju'
itu hanyalah melanjutkan Pernikahan yang telah terputus dan
bukan memulai nikah baru. Perintah Allah dalam ayat tersebut di atas
bukanlah untuk wajib. Berdasarkan pendapat ini, boleh saja ruju' dengan
menggunakan lafaz kinayah karena saksi yang perlu mendengarnya
tidak ada
F.
Menikah Dengan Selain Agama Muslim
Sebelum kita membahas tentang pernikahan Beda Agama, sebaiknya kita
perlu mengetahui tentang perngertian non-muslim didalam agama Islam. Golongan
non-muslim sendiri dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
1.
Golongan
Orang Musyrik
Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman 282
karya As Syech Muhammad Ali S Shobuni, orang musrik ialah orang orang yang
telah berani menyekutukan ALLAH SWT dengan makhluk-Nya (penyembahan patung, berhala
dsb).
2.
Golongan
Ahli Kitab
Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman As
Syech Muhammad Ali As Shobuni, Ahli Kitab adalah mereka yang berpegang teguh
pada Kitab Taurat yaitu agama Nabi Musa As, atau mereka yang berpegang teguh
pada Kitab Injil agama Nabi Isa as. Atau banyak pula yang menyebut sebagai
agama samawi atau agama yang diturunkan langsung dari langit yaitu Yahudi
dan Nasrani.
Mengenai istilah Ahli Kitab ini, terdapat perbedaan
pendapat diantara kalangan ulama berpendapat bahwa semua kaum nasrani
termasuk yang tinggal di Indonesia ialah termasuk Ahli Kitab. Namun ada jugayang
berpendapat bahwa Ahli Kitab ialah mereka yang nasabnya (menurut silsilah sejak
nenek moyangnya terdahulu) ketika diturunkan sudah memeluk agama nasrani
di Indonesia berdasarkan pendapat sebagian ulama tidak termasuk Ahli
Kitab.
G.
Pembagian Pernikahan Beda Agama Dalam Hukum Islam
Secara umum pernikahan lintas agama atau berbeda agama dalam Islam
dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1.
Pernikahan
antar pria Muslim dengan wanita Non-Muslim
Dalam Islam, pernikahan antara pria Muslim dengan wanita non-muslim
Ahli Kitab itu, menurut pendapat sebagain Ulama diperbolehkan. Hal ini
didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5 yang
artinya:
“(Dan dihalalkan menikahi) perempuan-perempuan
yang menjaga kehormatan dan dari kalangan ahli kitab sebelum kamu)”.
Namun ada beberapa syarat yang diajukan apabila Akan melaksanakan
hal tersebut, yaitu:
a.
Jelas Nasabnya Menurut silsilah atau menurut garis keturunannya sejak nenek
moyang adalah ahli kitab. Jadi dapat dikatakan bahwa
sebagian besar kaum nasrani diIndonesia bukan merupakan golongan ahli kitab.
b.
Wanita
Ahli Kitab tersebut nantinya mampu menjaga anaknya kelak dari bahaya fitnah. Ada
beberapa Hadits Riwayat Umar bin Khatabb, Usman bin Affan pernah berkata “Pria Muslim diperbolehkan menikah
dengan wanita ahli Kitab dan tidak diperbolehkan pria Ahli
Kitab menikah dengan wanita Muslimah”.
Bahkan Sahabat Hudzaifah pernah menikah dengan wanita Ahli Kitab tetapi
pada akhirnya wanita tersebut masuk Islam. Dengan demikian keputusan untuk
memperbolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab sudah merupakan Ijma’ (artinya
kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum
dalam agama berdasarkan Al-Quran dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi) parasahabat.
Tetapi dalam Kitab Al-Mughni juz 9 halaman 545 karya Imam Ibnu
Qudamah, Ibnu Abbas pernah menyatakan, hukum
pernikahan dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 221 dan Q.S. Al-Mumtahanah ayat
10 di atas telah dihapus (mansukh) oleh Q.S. Al-Maidah ayat
5 Karena yang berlaku adalah hukum dibolehkannya pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab.
Sedangkan diharamkan pernikahan antara pria muslim dengan wanita musrikinmenurut
kesepakatan para ulama’ tetap diharamkan apapun alasannya karena
dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah.
2.
Pernikahan
Antara Pria Non-Muslim Dengan Wanita Muslimah
Pernikahan antara wanita muslimah dengan pria non-muslim menurut
kalangan Ulama’ tetap diharamkan, baik menikah dengan pria Ahli Kitab
maupun dengan seorang pria musrik. Hal ini dikhawatirkan wanita yang telah
menikah dengan pria non-muslim tidak dapat menahan
godaan yang akan dating kepadanya. Seperti halnya wanita tersebut tidak
dapat menolak permintaan sang suami yang mungkin bertentangan dengan
syariat Islam, atau wanita itu tidak dapat menahan godaan yang datang dari
lingkungan suami yang tidak seiman yang mungkin cenderung lebih dominan.
Dalil naqli pernyataan tentang haramnya pernikahan seorang wanita
muslimah dengan pria non-muslim adalah Q.S. Al-Maidah ayat 5 yang menyatakan
bahwa Allah SWT hanya memperbolehkan pernikahan seorang pria Muslim dengan
wanita Ahli Kitab tidak sebaliknya. Seandainya pernikahan ini diperbolehkan,
maka Allah SWT. Pasti akan menegaskannya di dalam Al-Quran. Karenanya,
berdasarkan mahfum al-mukhalafah, secara implisit Allah SWT
melarang pernikahan tersebut.