animasi bergerak gif
My Widget

Selasa, 03 Oktober 2017

PERNIKAHAN TERLARANG & DI HARAMKAN

BAB II
PERNIKAHAN TERLARANG DAN DI HARAMKAN

A.     Pernikahan Yang Di Larang
1.      Nikah mut'ah
Nikah Mut’ah adalah Pernikahan untuk masa tertentu dalam arti pada waktu akad dinyatakan masa tertentu yang bila masa itu telah datang, Pernikahan terputus dengan sei dirinya. Nikah mut’ah pernah terjadi pada umat islam dan diridhai Rasulullah namun kemudian nabi melarangnya. Karena ada persyaratan yang tidak terpenuhi yaitu tidak adanya masa tertentu. Terdapat dalam hadist Nabi dari Salamah bin al-Akwa’ riwayat Muslim:
Artinya: “Rasul Allah pernah memberikan keringanan pada tahun authas (waktu perang Khaibar, umrah qadha, tahun memasuki mekah, perang Tabuk dan waktu Haji wada’) untuk melakukan mut’ah selama tiga hari, kemudian Nabi melarangnya.”
2.      Nikah tahlil atau muhallil
Nikah muhallil atau nikah tahlil adalah Pernikahan yang dilakukan untuk menghalalkan orang yang telah melakukan talak tiga untuk segera kembali kepada istrinya. Bila seseorang telah menceraikan istrinya sampai tiga kali, baik dalam satu masa atau berbeda masa, si suami tidak boleh lagi kawin dengan bekas istrinya itu kecuali bila istrinya itu telah menikah dengan laki-laki Lain, kemudian bercerai dan habis pula iddahnya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 230: Artinya: “Kemudian jika suami mentalaknya (setelah talakyang kedua), maka perempuan itu tidak halallagi baginya kecuali bila, dia telah kawin dengan suami lain.”
Suami yang telah mentalak istrinya tiga kali itu sering ingin kembali lagi kepada bekas istrinya itu. Kalau ditunggu cara yang biasa menurut ketentuan Pernikahan, mungkin menunggu waktu yang lama. Untuk mempercepat maksudnya itu ia mencari seseorang laki-laki yang akan mengawini bekas istrinya itu secara pura-pura, biasanya dengan suatu syaf bahwa setelah berlangsung akad nikah segera diceraikannya sebelum sempat digaulinya. Ini berarti kawin akal-akal untuk cepat menghentikan suatu yang diharamkan.
Nikah tahlil ini tidak menyalahi rukun yang telah ditetapkan namun karena niat orang yang mengawini itu tidak ikhlas dan tidak untuk maksud sebenarnya, Pernikahan itu dilarang oleh Nabi. Hal ini terdapat dalam hadits Nabi dari Mas'ud yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Nasai dan A1-Tirmizi dan keluarkan oleh empat perawi hadits selain al-Nasai yang Artinya: “Rasul Allah SAW. mengutuk orang yang menjadi muh'allil (orang yang menyuruh kawin) dan muhallal lah (orang yang melaktikan Pernikahan tahlil).”
3.      Nikah syigar
Nikah syigsr ialah perbuatan dua orang laki-laki yang saling menikahi anak perempuan dari laki-laki lain dan masing-masing menjadikan pernikahan itu sebagai maharnya. Dalam bentuk nyatanya ialah sebagai berikut: seseorang laki-laki berkata sebagai ijab kepada seorang laki-laki lain: "Saya kawinkan anak perempuan saya bernama si A kepadamu dengan mahar saya mengawini anak perempuanmu yang ber­nama si B". Laki-laki lain itu menjawab dalam bentuk qabul: saya terima mengawini anak perempuanmu yang bernama dengan maharnya kamu mengawini anak perempuan saya bernama si B".
Yang tidak terdapat dalam Pernikahan itu adalah mahar yang nyata dan adanya syarat untuk saling mengawini dan mengawinkan. Oleh karena itu, Pernikahan syigar di larang.
B.    Pernikahan Yang Di Haramkan
1.      Mahram muabbad yaitu orang-orang yang haram melakukan pernikahan untuk selamanya disebabkan:
1)     Adanya hubungan kekerabatan.
2)     Haram Pernikahan karena adanya hubungan Pernikahan mushaharah.
3)     Hubungan persusuan.
2.      Mahram ghairu muabbad yaitu larangan kawin yang berlaku untuk sementara berarti tidak boleh kawin dalam bentuk tertentu karena sesuatu hal, bila hal tersebut sudah tidak ada, maka larangan tersebut tidak berlaku lagi. Yaitu:
1)     Memadu dua orang yang bersaudara.
2)     Pernikahan yang kelima.
3)     Perempuan yang bersuami atau dalam iddah.
4)     Mantan istri yang telah ditalak tiga kali bagi mantan suaminya.
5)     Perempuan yang sedang ihram.
6)     Perempuan penzina sebelum bertobat.
7)     Perempuan musyrik.
C.     Hukum Menikah Lebih Dari Empat Kali (Pernikahan Yang Ke-5)
Seseorang laki-laki dalam pernikahan poligami paling banyak menikahi empat orang dan tidak boleh lebih dan itu, kecuali bila salah seorang dari istrinya yang berempat itu telah diceraikannya dan habis pula masa iddahnya. Dengan begitu perempuan kelima itu haram dikawininya dalam flias tertentu, yaitu selama salah seorang di antara istrinya yang empat itu belum diceraikannya. Pembatasan pada orang ini berdasarkan kepada firman Allah dalam surat An_Nisa ayat 3 yang artinya:
“Bila kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak perempuan, kawinnilah perempuan lain yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Bila kamu takut tidak akan berlaku adil cukup seorang”.
Dari ayat tersebut jelas bahwa Islam membolehkan adanya kawin poligami, yaitu seseorang mempunyai istri lebih dari satu orang, namun kebolehan itu tidaklah secara mutlak, tetapi dengan suatu syarat yaitu kemampuan berlaku adil di antara istri-istri itu. Adil itu bukan suatu yang mudah untuk dilaksanakan. Hal ini dijelaskan sendiri oleh Allah dalam surat al-Nisa' ayat 129 yang artinya:
“Dan kamu tidak akan mampu berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu ingin sekali berbuat begitu. Oleh karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung kepada seorang yang kamu cintai hingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung…”
Para fuqaha terdahulu hanya membatasi adil itu kepada  hal yang bersifat zahir seperti adil dalam memberi nafkah, adil dalam giliran tidur, adil dalam giliran diajak bepergian dan hal-hal yang bersifat lahir; dan tidak mensyaratkan adil dalam yang bersifat batin seperti dalam cinta kasih.
D.    Putusnya Pernikahan
1.        Talak
Arti talak secara bahasa berarti “lepas dan bebas”.secara istilah menurut Al-Mahalii adalah Artinya: “Melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak dan sejenisnya. Hukum talak adalah makruh karena bila hubungan pernihakahan itu tidak dapat lagi dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi kehancuran dan kemudaratan, maka islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian.
Macam-macam Talak Dilihat kepada keadaan istri waktu talak itu diucapkan oleh suami:
1)       Talak Sunni yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami yang mana si istri waktu itu tidak dalam keadaan haif dan dalam masa itu belum pernah dicampuri oleh suaminya.
2)       Talak Bid’iy yaitu talak yang mana waktu itu si istri sedang dalam haid atau dalam masa suci namun dalam waktu out telah dicamouri oleh suaminya.
Dilihat kepada kemungkinan bolehnya si suami kembali kepada mantan istrinya:
1)       Talak Raj’iy yaitu talak si suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa melalui nikah baru, selama istrinya masih dalam masa iddah.
2)       Talak Bain yaitu talak yang putus secara penuh dalam arti tidak memungkinkan suami kembali kepada istrinya kecuali dengan nikah baru. Juga terbagi menjadi 2 macam yaitu: bain sugra dan bain kubra.
2.        Khulu’
Khulu’ yaitu perceraian dengan kehendak istrinya. Hukumnya boleh atau mubah. Sesuai dengan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 229 yang artinya:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Baqarah: 229).
3.        Fasakh
Pada dasarnya dilakuakan oleh hakim atas permintaan dari suami atau istri. Namun ada pula yang fasakh itu terjadi dengan sendirinya tanpa memerlukan hakim seperti suami istri ketahuan senasab atau sepersusuan.
4.        Zhihar
Secara bahasa yaitu berarti punggung. Secara bahasa yaitu “Ucapan seseorang laki-laki kepada istrinya:”Engakau bagi saya seperti punggung ibu saya”.
5.        Illa’
Secara bahasa berarti “tidak mau melakukan sesuatu dengan cara bersumpah” Secara istilah yaitu “sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya”. Firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 226-227 yang artinya:
“Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya diberi tenggang waktu selama empat bulan(lamanya), kemudian jika mereka kembali(kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Penyayang. Bila mereka berazam(berketetapan hati) untuk talak maka sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.”
6.        Li’an
Secara bahasa yaitu saling melaknat. Secara istilah adalah sumpah suami yang menuduh istrinya berbuat zina, sedangkan dia tidak mampu mendatangkan empat orang saksi, setelah terlebih dahulu memberikan kesaksian empat kali bahwa ia benar dalam tuduhannya.
7.        Iddah
Secara etimologi, 'iddah yang jamaknya adalah 'idat berarti bilangan. Secara terminologi diartikan “Masa yang mesti dilalui oleh seorang perempuan (yang bercerai dari suaminya) untuk mengetahui bersihnya rahimnya dari kehamilan.” Perempuan yang bercerai dari suaminya, baik cerai hidup atau cerai mati mesti menjalani masa iddah; dalam masa mana ia tidak boleh kawin dengan laki-laki lain.
Iddah itu diwajibkan karena padanya terdapat hikmah di antaranya sebagaimana yang tersebut dalam definisi tersebut, di atas adalah untuk mengetahui apakah bekas suami yang menceraikannya meninggalkan benih dalam rahim istrinya atau tidak. Dengan begitu dapat terpelihara dari bercampur-nya dengan bibit yang akan disemai oleh suaminya yang baru. Di samping itu iddah memberi kesempatan kepada suami |untuk berfikir-fikir untuk kembali berbaik dengan istrinya. Lama masa[d1]  iddah itu tergantung pada keadaan si istri waktu bercerai dari suaminya. Adapun masa-masa iddah itu adalah sebagai berikut:        
a.        Istri yang ditinggal mati oleh suaminya dan telah digauli suaminya dalam masa itu, iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 234 yang artinya:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri-istri (hendaklah istri-istri itu) menjalani iddah selama 4 bulan 10 hari.”
b.        Istri yang diceraikan suami sebelum sempat digauli tidak menjalani masa iddah. Hal ini dinyatakan Allah dalam surat al-Ahzab ayat 49 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan beriman, kemudian kamu mencerai-kannya sebelum kamu gauli, maka se kali- kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”
Adapun perempuan yang kematian suami yang belum sempat digauli oleh suaminya yang berlaku baginya adalah beriddah 4 bulan 10 hari. Alasannya ialah bahwa kewajiban beriddah di sini bukan untuk mengetahui kebersihan rahimnya dari bibit bekas suaminya, tetapi sebagai penghormatan terhadap suaminya yang meninggal itu.
c.        Istri yang bercerai dari suaminya, telah digauli oleh suami­ nya sedangkan ia masih dalam masa haid, maka iddahnya adalah selama tiga quru', sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 Artinya:
“Perempuan-perempuan yang bercerai dari suaminya hendaklah menjalani iddah selam tiga furu”.
Yang dimaksud dengan tiga quru' dalam ayat ini menurut jumhur ulama adalah tiga kali suci; sedangkan bagi ulama Hanafiyah tiga quru' itu berarti tiga kali masa haid. Di antara dua masa tersebut di atas tiga kali haid lebih panjang daripada tiga kali suci.
d.        Istri yang bercerai dari suami, sedangkan dia telah digauli suaminya; dan dia tidak lagi dalam masa haid atau tidak berhaid sama sekali, maka masa iddahnya adalah selama tiga bulan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Thalaq ayat 4 Artinya:
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi di antara perempuan-perempuanmu, jika kamu ragu (tentang masa iddahnya) maka iddahnya adalah tiga bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid.”
e.        Istri-istri yang bercerai dari suaminya sedang dalam keadaan hamil iddahnya adalah melahirkan anaknya. Ketentuan ini ditetapkan Allah dalam surat al-Thalaq ayat 4 Artinya:
“Perempuan-perempuan hamil (yang bercerai dari suaminya) iddahnya adalah melahirkan anak….”
Adapun perempuan hamil yang kematian suami, menurut Jumhur ulama iddahnya adalah melahirkan anaknya dan  Masanya belum empat bulan sepuluh hari; dalam yang berlaku baginya adalah iddah hamil. Sedangkan ulama Lain, di antaranya Ali bin Abi Thalib, iddah perempuan hamil yang kematian suami adalah masa yang terpanjang antara empat bulan sepuluh hari dengan melahir-kan anak. Bila anak lahir sebelum empat bulan sepuluh hari maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari; namun bila setelah empat bulan sepuluh hari anaknya belum lahir juga, maka iddahnya adalah melahirkan anak.
Hak Istri Dalam Masa Iddah:
1)     Istri yang dicerai dalam bentuk talak raj'iy, hak yang diterimanya adalah penuh sebagaimana yang berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk perbelanjaan untuk pangan, untuk pakaian dan juga tempat tinggal.
2)     Istri yang dicerai dalam bentuk talak bain, baik bain sughra atau bain kubra, dia berhak atas tempat tinggal, bila ia tidak dalam keadaan hamil. Apabila ia dalam keadaan hamil, selain mendapat tempat tinggal juga mendapat nafkah selama masa hamilnya itu. dan inilah pendapat dari Jumhur Ulama.
3)     Istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Hal yang disepakati ialah bahwa ia berhak mendapatkan tempat tinggal selama dalam iddah, karena ia harus menjalani masa iddah di rumah suaminya dan tidak dapat kawin selama masa itu. Adapun nafkah dan pakaian kebanyakan ulama menyarna-kannya dengan cerai dalam bentuk talak bain.
E.     Rujuk
Secara bahasa ruju' atau raj'ah berarti kembali. Sedangkan definisinya menurut Al-Mahalli ialah: “Kembali ke dalam hubungan Pernikahan dari cerai yang bukan bain, selama dalam masa Iddah”. Sebagaimana Pernikahan itu adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh agama, maka Ruju' setelah terjadinya perceraian_pun merupakan suruhan agama. Hal ini dapat dilihat dalam firman allah pada surat al-Baqarah ayat 231 yang Artinya: “Dan bila kamu menceraikan istri-istrimu, lalu mereka men-dekati akhirmasa iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara baik atau ceraikanlah mereka dengan cara baik”.
Adapun unsur yang menjadi rukun dan syarat-syarat untuk setiap rukun itu adalah sebagai berikut:
1.        Laki-laki yang meruju' istrinya mestilah seseorang yang mampu melaksanakan pernikahan dengan sendirinya, yaitu telah dewasa dan sehat akalnya. Seseorang yang masih belum dewasa atau dalam keadaan gila tidak sah ruju' yang dilakukannya. Bila waktu mentalak istrinya Ia berakal sehat kemudian dia gila dan ingin ruju' yang melakukan ruju' itu adalah walinya, sebagaimana yang menikahkannya adalah walinya.
2.        Perempuan yang dirujuki adalah perempuan yang telah dinikahinya dan kemudian diceraikannya tidak dalam bentuk cerai tebus (khulu') dan tidak pula dalam talak tiga, sedangkan dia telah digauli selama dalam Pernikahan itu dan masih berada dalam masa iddah.
3.        Ada ucapan ruju' yang diucapkan oleh laki-laki yang Akan merujuk. Di sini tidak diperlukan qabul dari pihak istri; karena ruju' itu bukan memulai.nikah, tetapi hanya sekedar melanjutkan pernikahan. Ucapan ruju' itu menggunakan lafaz yang jelas untuk rujuk.
Sebagian ulama mensyaratkan adanya kesaksian dua orang saksi sebagaimana yang berlaku dalam akad nikah. Keharusan adanya saksi ini bukan dilihat dari segi ruju' itu memulai nikah atau melanjutkan nikah, tetapi karena adanya perintah Allah untuk itu sebagaimana terdapat dalam Surat At-Thalaq ayat 2 yang Artinya:
“Bila mereka telah mendekati akhir masa iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau ceraikanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antaramu; dan tegakkan kesaksian karena Allah.”
Berdasarkan pendapat yang mensyaratkan adanya saksi dalam ruju' itu, maka ucapan ruju' tidak boleh menggunakan lafaz kinayah, karena penggunaan lafaz kinayah memerlukan adanya niat, sedangkan saksi yang nadir tidak akan tahu niat dalam hati itu. Pendapat lain yang berlaku di kalangan jumhur ulama, ruju' itu tidak perlu dipersaksikan, karena ruju' itu hanyalah melanjutkan Pernikahan yang telah terputus dan bukan memulai nikah baru. Perintah Allah dalam ayat tersebut di atas bukanlah untuk wajib. Berdasarkan pendapat ini, boleh saja ruju' dengan menggunakan lafaz kinayah karena saksi yang perlu mendengarnya tidak ada
F.     Menikah Dengan Selain Agama Muslim
Sebelum kita membahas tentang pernikahan Beda Agama, sebaiknya kita perlu mengetahui tentang perngertian non-muslim didalam agama Islam. Golongan non-muslim sendiri dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
1.        Golongan Orang Musyrik
Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman 282 karya As Syech Muhammad Ali S Shobuni, orang musrik ialah orang orang yang telah berani menyekutukan ALLAH SWT dengan makhluk-Nya (penyembahan patung, berhala dsb).
2.        Golongan Ahli Kitab
Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman As Syech Muhammad Ali As Shobuni, Ahli Kitab adalah mereka yang berpegang teguh pada Kitab Taurat yaitu agama Nabi Musa As, atau mereka yang berpegang teguh pada Kitab Injil agama Nabi Isa as. Atau banyak pula yang menyebut sebagai agama samawi atau agama yang diturunkan langsung dari langit yaitu Yahudi dan Nasrani.
Mengenai istilah Ahli Kitab ini, terdapat perbedaan pendapat diantara kalangan ulama berpendapat bahwa semua kaum nasrani termasuk yang tinggal di Indonesia ialah termasuk Ahli Kitab. Namun ada jugayang berpendapat bahwa Ahli Kitab ialah mereka yang nasabnya (menurut silsilah sejak nenek moyangnya terdahulu) ketika diturunkan sudah memeluk agama nasrani di Indonesia berdasarkan pendapat sebagian ulama tidak termasuk Ahli Kitab.
G.    Pembagian Pernikahan Beda Agama Dalam Hukum Islam
Secara umum pernikahan lintas agama atau berbeda agama dalam Islam dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1.        Pernikahan antar pria Muslim dengan wanita Non-Muslim
Dalam Islam, pernikahan antara pria Muslim dengan wanita non-muslim Ahli Kitab itu, menurut pendapat sebagain Ulama diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5 yang artinya:
“(Dan dihalalkan menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dan dari kalangan ahli kitab sebelum kamu)”.
Namun ada beberapa syarat yang diajukan apabila Akan melaksanakan hal tersebut, yaitu:
a.    Jelas Nasabnya Menurut silsilah atau menurut garis keturunannya sejak nenek moyang adalah ahli kitab. Jadi dapat dikatakan bahwa sebagian besar kaum nasrani diIndonesia bukan merupakan golongan ahli kitab.
b.   Wanita Ahli Kitab tersebut nantinya mampu menjaga anaknya kelak dari bahaya fitnah. Ada beberapa Hadits Riwayat Umar bin Khatabb, Usman bin Affan pernah berkata “Pria Muslim diperbolehkan menikah dengan wanita ahli Kitab dan tidak diperbolehkan pria Ahli Kitab menikah dengan wanita Muslimah”.
Bahkan Sahabat Hudzaifah pernah menikah dengan wanita Ahli Kitab tetapi pada akhirnya wanita tersebut masuk Islam. Dengan demikian keputusan untuk memperbolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab sudah merupakan Ijma’ (artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam agama berdasarkan Al-Quran dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi) parasahabat.
Tetapi dalam Kitab Al-Mughni juz 9 halaman 545 karya Imam Ibnu Qudamah, Ibnu Abbas pernah menyatakan, hukum pernikahan dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 221 dan Q.S. Al-Mumtahanah ayat 10 di atas telah dihapus (mansukh) oleh Q.S. Al-Maidah ayat 5 Karena yang berlaku adalah hukum dibolehkannya pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab. Sedangkan diharamkan pernikahan antara pria muslim dengan wanita musrikinmenurut kesepakatan para ulama’ tetap diharamkan apapun alasannya karena dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah.
2.        Pernikahan Antara Pria Non-Muslim Dengan Wanita Muslimah
Pernikahan antara wanita muslimah dengan pria non-muslim menurut kalangan Ulama’ tetap diharamkan, baik menikah dengan pria Ahli Kitab maupun dengan seorang pria musrik. Hal ini dikhawatirkan wanita yang telah menikah dengan pria non-muslim tidak dapat menahan godaan yang akan dating kepadanya. Seperti halnya wanita tersebut tidak dapat menolak permintaan sang suami yang mungkin bertentangan dengan syariat Islam, atau wanita itu tidak dapat menahan godaan yang datang dari lingkungan suami yang tidak seiman yang mungkin cenderung lebih dominan.
Dalil naqli pernyataan tentang haramnya pernikahan seorang wanita muslimah dengan pria non-muslim adalah Q.S. Al-Maidah ayat 5 yang menyatakan bahwa Allah SWT hanya memperbolehkan pernikahan seorang pria Muslim dengan wanita Ahli Kitab tidak sebaliknya. Seandainya pernikahan ini diperbolehkan, maka Allah SWT. Pasti akan menegaskannya di dalam Al-Quran. Karenanya, berdasarkan mahfum al-mukhalafah, secara implisit Allah SWT melarang pernikahan tersebut.



 [d1]

PROSESI PERNIKAHAN SECARA ISLAMI

BAB II
PROSESI PERNIKAHAN SECARA ISLAMI
A.        Proses Syar’i Sebuah Pernikahan
1.    Kenalan
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qu’an dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:
a.      Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya Ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita sangsikan.
b.      Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah Mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.
c.       Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan 3/163-164)
2.    Nadzhar (melihat calon pasangan hidup)
Ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menasihatinya: “Artinya: Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu. Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil.” (HR. Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)”.
“Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin dipinang, boleh Ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan kepadanya.” (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul Qaththan Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)
3.    Khitbah ( Peminangan )
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya. Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda:
“Artinya: Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh sauaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Yang perlu diperhatikan oleh wali, Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau Ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:
a.      Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda: “Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al- Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
b.      Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya. Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu
4.    Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:
1)       Adanya suka Sama suka dari kedua calon mempelai.
2)       Adanya Ijab Qabul.
3)       Adanya Mahar.
4)       Adanya Wali.
5)       Adanya Saksi-saksi.
6)   Dan menurut Sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
5.      Walimah
Walimatul 'urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Apalagi jika kita dapat undangan tersebut seperti sabda rasul:
“Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi waSallam bersabda: "Sejahat-jahatnya makanan ialah makanan walimah, ia ditolak orang yang datang kepadanya dan mengundang orang yang tidak diundang. Maka barangsiapa tidak memenuhi undangan tersebut, ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya." Riwayat Muslim.
Sebagai catatan Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)
B.       Sebagian Penyelewengan yang terjadi dalam Pernikahan
1.        Pacaran
Kebanyakan orang sebelum melangsungkan Pernikahan biasanya "Berpacaran" terlebih dahulu, hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu, atau masa penjajakan atau dianggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.
Adanya anggapan seperti ini, kemudian melahirkan pikiran bersama antara berbagai pihak untuk menganggap masa berpacaran sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak boleh dihindarkan dari berintim-intim dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syari'at Islam. Rasulullah shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda:
"Artinya: Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya". (Hadis Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Jadi dalam Islam tidak ada kesempatan untuk berpacaran dan berpacaran hukumnya haram.
2.      Tukar Cincin
Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini bukan dari ajaran Islam. (Lihat Adabuz-Zafat, Nashiruddin Al-Bani).
3.      Menuntut Mahar yang Tinggi
Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi. Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap Umar bin Khattab yang membatasi mahar wanita, adalah cerita yang salah kerana riwayat itu sangat lemah. (Lihat Irwa'ul Ghalil 6, hal. 347-348).
4.      Mengikuti Upacara Adat
Ajaran dan peraturan Islam harus lebih diutamakan dari segalanya. Setiap acara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam Cara perkawinan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan. Sungguh sangat ironis...!. Kepada mereka yang masih menuhankan adat istiadat jahiliyah dan meremehkan konsep Islam, bererti mereka belum yakin kepada Islam. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman yang bermaksud: “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?.” (Al-Maaidah: 50).
Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, dan tata Cara selain Islam, maka semuanya tidak Akan diterima oleh Allah dan kelak di Akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Ta'ala yang bermaksud: “Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Ali-Imran: 85).
5.      Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Kaum Jahiliyah
Kaum jahiliyah selalu menggunakan kata-kata Birafa' Wal Banin, ketika mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan Birafa' Wal Banin (semoga mempelai murah rezeki dan banyak anak) dilarang oleh Islam. Dari Al-Hasan, bahawa 'Aqil bin Abi Thalib nikah dengan seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyah: Birafa' Wal Banin. 'Aqil bin Abi Thalib melarang mereka seraya berkata: "Janganlah kalian ucapkan demikian! Karena Rasulullah shallallhu 'alaihi wa sallam melarang ucapan demikian". Para tamu bertanya:"Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid". 'Aqil menjelaskan: "Ucapkanlah: Barakallahu lakum Waa Baraka 'Alaiykum" (Mudah-mudahan Allah memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas kalian keberkahan). Demikianlah ucapan yang diperintahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam". (Hadis Shahih Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Darimi 2:134, Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lain-lain).
Do'a yang biasa Rasulullah shallallahu 'alaihi Waa sallam ucapkan kepada seorang mempelai ialah: "Baarakallahu laka wa baarakaa 'alaiyka wa jama'a baiynakumaa fii khoir"
6.      Adanya Ikhtilath
Ikhtilath adalah bercampurnya laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita. Menurut Islam antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah, sehingga Apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya.
C.        Memilih Jodoh Menurut Islam
Setiap orang yang berumah tanggah tentu mengharapkan keluarganya akan menjdi keluarga yang sakinah mawadah warakhmah. Kehidupan rumah tangganya dapat menjadi surga didunia dapat menjadi diri dan keluarganya. Apalagi pada saat ini banyak sekali kasus peceraian keluarga dijumpai ditengah-tengah masyakat yang semakin berkembang ini. Alasan dalam peceraian itu bermacam-macam, dari alasan pendapatan istri lebih besar dari pada suami, selingkuh dengan adanya orang ke tiga, kekerasan dalam rumah tanggah, dan lain-lain.
Maka dari itu dalam membanggun mahligai surge rumah tangga persiapan awal harus dilakukan pada saat memilih jodoh. Islam mengangjurkan kepada umatnya ketika mencari jodoh itu harus berhati-hati baik laki-laki maupun perempuan, hal ini dikarenakan masa depan kehidupan rumah tangga itu berhubungan sangat erat dengan cara memilih suami maupun istri. Untuk itu kita sebagai umat muslim harus memperhatikan kriteria dalam memilih pasangan hidup yang baik.
Dasar firman Allah SWT yang berbunyi: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (An-Nisa’, 31)
Dan dari sabda Rasullah yang artinya: “Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabdah: sesunguhnya seorang wanita itu dinikahi atas empat perkara, yaitu: harta, nasab, kecantikan, dan agamanya, maka perolehlah yang mempunyai agama maka akan berdeburlah tanganmu.”
Dalam memilih istri hendaknya menjaga sifat-sifat wajib. Syeh jalaluddin Al-qosimi Addimasya’i dalam kitab Al-mauidotul Mukminin menyebutkan ada kriteria bagi laki-laki dalam memilih jodoh:
1)       Baik agamanya: hendaknya ketika memilih istri itu harus memperhatikan agama dari sisi istri tersebut.
2)       Luhur budi pekertinya: seorang istri yang luhur budi pekertinya selalu sabar dan tabah menghadapi ujian apapun yang akan dihadapi dalam perjalanan hidupnya.
3)       Cantik wajahnya: setiap orang laki-laki cenderung menyukai kecantikan begitu pula sebaliknya. Kecantikan wajah yang disertai kesolehahhan prilaku membuat pasangan tentram dan cenderung melipahkan kasih sayangnya kepadanya, untuk sebelum menikah kita disunahkan untuk melihat pasangan kita masing-masing.
4)   Ringan maharnya: Rasullullah bersabda: “Salah satu tanda keberkahan perempuan adalah cepat kawinnya, cepat melahirkannya, dan murah maharnya.
5)       Subur: artinya cepat memperoleh keturunan dan wanita itu tidak berpenyakitan.
6)    Masih Gadis: jodoh yang terbaik bagi seorang laki-laki perjaka adalah seorang gadis. Rasullullah pernah mengikatkan Jabbir, ra. Yang akan menikahi seorang janda: “Alangkah baiknya kalau istrimu itu seorang gadis, engkau dapat bermain-main dengannya dan ia dapat bermain-main denganmu.”
7)     Keturunan keluarga baik-baik: dengan sebuah hadist Rasullallah besabda: “Jauhilah dan hindarkan olehmu rumput mudah tumbuh ditahi kerbau”. Maksudnya: seorang yang cantik dari keturunan orang-orang jahat.
8)   Bukan termasuk muhrim: kedekatan hubungan darah membuat sebuah pernikahan menjadi hambar, disamping itu menurut ahli kesehatan hubungan darah yang sangat dekat dapat menimbulkan problem genetika bagi keturunannya.
Dalam memilih calon suami bagi anak perempuan hendaknya memilih orang yang memiliki akhlak, kehormatan dan nama baik. Dengan demikian jika ia menggauli istrinya maka istrinya maka ia menggaulinya dengan baik, jika menceraikan maka ia menceraikan dengan baik.
Rasullah bersabda: “barang siapa mengawinkan anak perempuannya denga orang yang fasik maka sungguh dia telah memutuskan hubungan persaudaraan.”
Seorang laki-laki berkata kepada hasan bin ali, “Sesungguhnya saya memiliki seorang anak perempuan maka siapakah menurutmu orang cocok agar saya dapat menikahkan untuknya?” hasan menjawab: “Nikahkanlah dia dengan seorang yang beriman kepada Allah SWT, jika ia mencintainya maka dia akan memuliahkannya dan jika dia membencinya maka dia tidak mendzoliminya.”