Senin, 02 Juni 2014

“ANALISIS HUKUM KHITAN TERHADAP LAKI – LAKI DAN PEREMPUAN”



KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Dimana makalah ini merupakan salah satu tugas kelompok Mata Kuliah Masail Fiqhiyah Al-Haditsah 2 (Dua), Semester IV (Enam) Reguler dan Prodi PAI. Adapun judul makalah ini adalah “ANALISIS HUKUM KHITAN TERHADAP LAKI – LAKI DAN PEREMPUAN”.
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Masail Fiqhiyah Al-Haditsah 2 (Dua), yakni Bapak Nuriddin AR, M.Pd.I. Dan juga teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari rekan semua yang nantinya penulis jadikan bahan dalam penyempurnaan makalah ini.
Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat umum dan khususnya bagi penulis sendiri. Aamiin.

Penulis


                                                     DAFTAR ISI
KATA  PENGANTAR    ………. ….…….…………..…...……………..….…………......  i
DAFTAR ISI  ……………...………….….…… …..………………...…..…...………..….. ii
BAB I      PENDAHULUAN:  LATAR BELAKANG DAN SEJARAH KHITAN ………. 1
BAB II     ANALISIS HUKUM KHITAN TERHADAP LAKI – LAKI DAN PEREMPUAN3Pengertian dan Cara Pelaksanaan Khitan ………….… 3
A.     Waktu Melaksanakan Khitan ……………………………..…………… 3
B.     Tinjauan Medis terhadap Khitan …………………………………… 6
C.    Tinjauan Hukum Islam terhadap Khitan ………………………. 7
D.    Pendapat Ulama Mazhab terhadap Hukum Khitan …………… 10
E.     Fatwa MUI mengenai Masalah Khitan ………………………… 14
F.     Pelaksanaan Walimah Khitan dalam Pandangan Hukum Islam …....15
G.    Tujuan, Manfaat, dan Hikmah Melaksanakan Khitan ……………… 15
BAB III    PENUTUP: KESIMPULAN .………….….……………..…..……….…...…. 17
DAFTAR PUSTAKA     ……….….……..…..….………… ……….……..……...….. 19


BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG DAN SEJARAH KHITAN
Khitan merupakan perintah Allah SWT. Sejak masa Nabi Ibrahim as. Sebagaimana dalam beberapa riwayat hadits Nabi Muhammad SAW. Mengutip keterangan dari Injil Barnabas, Nabi Adam as. Adalah manusia pertama yang berkhitan. IA melakukannya setelah bertobat kepada Allah SWT. Dari dosa-dosa yang dilakukannya karena melanggar larangan Allah untuk tidak memakan buah khuldi.
Pada masa Babilonia dan Sumeria Kuno, yakni sekitar tahun 3500 Sebelum Masehi (SM), mereka juga sudah melakukan praktik berkhitan. Hal ini diperoleh dari sejumlah prasasti yang berasal dari peradaban bangsa Babilonia dan Sumeria Kuno. Pada prasasti itu, tertulis tentang praktik-praktik berkhitan secara terperinci. Begitu juga pada masa bangsa Mesir Kuno sekitar tahun 2200 SM. Prasasti yang tertulis pada makam Raja Mesir yang bernama Tutankhamun, tertulis praktik berkhitan di kalangan raja-raja (Firaun).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa khitan telah ada sejak zaman nabi Ibrahim, sebagaimana disebutkan dalam kitab taurat dan kitab injil dan terlebih dalam Al-Qur’an sendiri, sebagai kitab terakhir seluruh Umat di dunia ini. Dan di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah SWT. Memerintahkan Nabi Muhammad SAW dan umatnya untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim As. Di antara ajaran Nabi Ibrahim as Adalah khitan.
Meskipun dalam Al-Qur’an telah dijelaskan secara jelas, namun di zaman modern ini banyak kalangan muslim sendiri yang melarang praktek pelaksanaan khitan, padahal jelas, bahwa Rasulullah SAW, di suruh untuk mengikuti Ajaran Nabi Ibrahim as, yang salah satunya adalah khitan. Dengan demikian bukan berarti Islam adalah pengikut Agama tauhid, tetapi Islam adalah penyempurna seluruh Agama yang di utus Oleh Allah SWT ke muka bumi ini.
Berdasarkan perdebatan tentang khitan yang terjadi di masa sekarang, maka penulis bermaksud menguraikan analisis dari khitan, sebagaimana terangkum dalam rumusan masalah.  Adapun rumusan masalahnya yaitu:
1.     Apa Pengertian dan Cara Pelaksanaan Khitan?
2.     Kapan Waktu Melaksanakan Khitan?
3.     Bagaimana Tinjauan Medis terhadap Khitan?
4.     Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap Khitan?
5.     Bagaimana Pendapat Ulama Mazhab terhadap Hukum Khitan?
6.     Bagaimana Fatwa MUI mengenai Masalah Khitan?
7.     Bagaimana Pelaksanaan Walimah Khitan dalam Pandangan Hukum Islam?
8.     Apa Tujuan, Manfaat, dan Hikmah Melaksanakan Khitan?
Demikian rumusan masalah yang penulis sajikan, untuk mempermudah pembahasan dalam makalah ini. Sehingga poin – poin penting dapat mudah dijabarkan dalam penyajian makalah ini.


BAB II
PEMBAHASAN
ANALISIS HUKUM KHITAN
TERHADAP LAKI – LAKI DAN PEREMPUAN
A.     Pengertian Dan Cara Pelaksanaan Khitan
Khitan berasal dari bahasa Arab, bentuk masdar dari kata Khatana, Yakhtinu, Khatnan. Khitan telah menjadi Bahasa Indonesia dan sering juga disebut dengan “sunat”. Khitan berasal dari kata khatana yang berarti memotong. Sedangkan al-khatnu berarti memotong kulit yang menutupi kepala dzakar dan memotong sedikit daging yang berada di bagian atas farji (clitoris). Dan al-khitan adalah Nama dari bagian yang dipotong tersebut. (Lihat Lisanul Arab, Imam Ibnu Manzhur). Khitan bagi laki-laki dinamakan juga I’zar dan bagi perempuan disebut khafd.
Secara umum, sunat adalah tindakan memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari penis. Frenulum dari penis dapat juga dipotong secara bersamaan dalam prosedur yang dinamakan frenektomi. Imam Nawawi menyatakan bahwa khitan pada perempuan adalah memotong bagian bawah kulit lebih dan menutupi yang ada di atas vagina perempuan.
B.     Waktu Melaksanakan Khitan
Pelaksanaan khitan untuk anak laki-laki terkait dengan kewajiban melaksanakan shalat setelah dewasa. Ketika seseorang ingin mengerjakan shalat terlebih dahulu harus suci fisiknya dari najis dan hadats, pakaiannya dan tempatnya harus suci dari najis. Untuk itu maka kulit yang menutup penis harus dipotong. Jika tidak, najis air seni setelah seseorang buang air kecil akan tertinggal dan bersembunyi di dalamnya dan ini akan terbawa waktu shalat. Hal ini menyebabkan shalatnya tidak sah dan tidak dibenarkan. Untuk itu wajib dihilangkan dengan cara dikhitan. Sedangkan khitan bagi perempuan dilakukan sewaktu masih bayi atau kecil, sehingga yang bersangkutan tidak mengetahuinya.
Berdasarkan kaidah “Mim Babi Ma Layatim al-Wajib Illa Bihi Fahuwa Wajib” berarti “sesuatu yang menjadi sempurnanya sesuatu yang wajib, hukumnya juga wajib.”
Ulama Fiqh mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa waktu seorang anak wajib dikhitan adalah setelah dewasa, sebab khitan dilakukan untuk kepentingan kesucian. Menurut ulama Fiqh mazhab Syafi’i waktu khitan di sunahkan ada dua pendapat. Pendapat sahih yang difatwakan adalah pada saat umur 7 hari sejak kelahiran anak. Hal ini berdasarkan hadits dari Jabir:
عق رسو ل الله صلى الله عليه وسلم عن الحسن والحسين وختنهما لسبعة ايام (البيهقى)
“Rasulullah SAW melakukan aqiqah untuk Hasan dan Husain dan mengkhitannya pada hari ke tujuh.” (Al-Baihaqi)
Dalam hadits yang lain disebutkan, Dari Abu Ja’far berkata, “Fathimah melaksanakan aqiqah anaknya pada hari ketujuh. Beliau juga mengkhitan & mencukur rambutnya serta menshadaqahkan seberat rambutnya dengan perak.” (HR. Ibnu Abi Syaibah).
Hadits riwayat Ar-Rafi'i dalam At-Takwin, As-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmuah, Al-Bahiri dalam As-Sabi':
اختنوا أولادكم يوم السابع فإنه أطهر وأسرع لنبات اللحم.
Artinya: “Khitanlah anak laki-lakimu pada hari ketujuh karena sesungguhnya itu lebih suci dan lebih cepat tumbuh daging (cepat besar badannya).”
Meskipun begitu, khitan boleh dilakukan sampai anak tumbuh dewasa, sebagaiman telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhyallahu’anhu, bahwa beliau pernah ditanya, “Seperti apakah engkau saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia ?” Beliau menjawab, “Saat itu saya barusan dikhitan. Dan saat itu para sahabat tak mengkhitan kecuali sampai anak itu bisa memahami sesuatu.” (HR. Bukhori, Ahmad, & Thabrani).
Berkata Imam Al-Mawardzi, ”Khitan itu memiliki dua waktu, waktu wajib dan waktu sunnah. Waktu wajib adalah masa baligh, sedangkan waktu sunnah adalah sebelumnya. Yang paling bagus adalah hari ketujuh setelah kelahiran dan disunnahkan agar tidak menunda sampai waktu sunnah kecuali ada udzur. (Fathul Bari 10/342).
Menurut ulama Fiqh mazhab Maliki dan Hanbali, waktu khitan sunat dilakukan ketika anak telah umur 7 tahun hingga 10 tahun. Sebab waktu itulah anak diperintahkan mengerjakan shalat. Dalam mazhab Hanafi disebutkan bahwa khitan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi fisik anak, sudah mungkin apa belum khitan dilakukan. Sebab tidak ada penegasan dari hadits Nabi kapan waktunya harus dilakukan. Dengan demikian, masalahnya kembali kepada ijtihad.
Ulama fiqh Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat makruh melakukan khitan pada hari ketujuh ( 7 ), karena hal itu menyerupai orang-orang Yahudi. Menurut Syekh al-Azhar Imam Akbar Syekh Jadal Haq Ali Jadal Haq, karena tidak ada penegasan dari Al-Qur’an dan hadits kapan waktunya khitan itu harus dilakukan, sebaiknya diserahkan kepala wali atau orang tua anak dengan pertimbangan dokter ahli, baik untuk laki-laki atau perempuan.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan hukum waktu melaksanakan khitan adalah:
1.     Waktu wajib yaitu sebelum masuk umur baligh (Ibn al-Qayyim, Tuhfah-110).
2.     Waktu yg dianjurkan yaitu ketika anak-anak dianjurkan untuk solat (7 tahun) atau disebut juga waktu itsghar (Tuhfah-112).
3.     Waktu mubah yaitu waktu selain yg disebutkan di atas.
Selain penjelasan di atas, ada anak-anak yang tidak mungkin di khitan dan hukumnya HARAM dikhitan dengan alasan, ternyata hal itu tidak mungkin dilakukan (bila dilakukan membahayakan), semua ulama sepakat haram baginya untuk dikhitan, sebab Allah berfirman:
ولا تلقوا بايديكم الى التهلكة واحسنوا ان الله  يحب المحسنين (البقرة ، 195 )
“Janganlah engkau mencampakkan dirimu dengan tanganmu ke lembah kebinasaan, dan hendaklah kamu berbuat baik, karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik .” (QS. Al-Baqarah: 195)
Dalam hadits disebutkan:
لا ضرر ولا ضرار
“Tidak boleh berbuat mudlarat kepada diri sendiri dan tidak boleh berbuat mudlarat kepada orang lain.”
Kaidah Fiqh juga menyatakan:
الضرر يزال
”Bahaya harus dihindarkan.”
Selain itu, jika seorang Muslim meninggal belum di Khitan maka Ulama fiqh sepakat bahwa seseorang tersebut tidak perlu dikhitan, sebab kewajiban khitan merupakan hukum taklifi, dengan meninggal maka hukum itu menjadi gugur. Lebih dari itu tujuan khitan adalah untuk mensucikan najis.
Dengan meninggal hal itu tidak diperlukan lagi, sebab bagi orang yang sudah meninggal tidak ada pembebanan hukum. Di sisi lain yang dikhitan itu adalah bagian dari jasad mayat. Maka tidak boleh dipotong sebagaimana halnya pencuri yang meninggal sebelum dihukum, maka tidak boleh dipotong tangannya. Demikian juga tidak boleh melakukan hukum qisas dari orang yang telah meninggal.  Hal ini berbeda dengan memangkas rambut dan memotong kuku mayat. Untuk hal ini diperbolehkan, karena sewaktu masih hidup hal itu dapat dilakukan dengan tujuan berhias.
C.    Tinjauan Medis terhadap Khitan
Dalam isitilah medis khitan disebut female circumcision, yaitu istilah umum yang mencakup eksisi suatu bagian genitalia eksterna wanita. Dalam istilah medis, khitan wanita juga diistilahkan Female Genital Cutting (FGC) atau Female Genital Mutilation (FGM). Menurut WHO, definisi FGM meliputi seluruh prosedur yang menghilangkan secara total atau sebagian dari organ genitalia eksterna atau melukai pada organ kelamin wanita karena alasan non-medis. WHO mengklasifikasikan FGM menjadi empat tipe yaitu:
1.     Klitoridektomi. Yaitu pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris, termasuk juga pengangakatan hanya pada preputium klitoris (lipatan kulit di sekitar klitoris).
2.     Eksisi: pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris dan labia minora, dengan atau tanpa eksisi dari labia majora (labia adalah “bibir” yang mengelilingi vagina).
3.     Infibulasi: penyempitan lubang vagina dengan membentuk pembungkus. Pembungkus dibentuk dengan memotong dan reposisi labia mayor atau labia minor, baik dengan atau tanpa pengangkatan klitoris.
4.     Tipe lainnya: semua prosedur berbahaya lainnya ke alat kelamin perempuan untuk tujuan non-medis, misalnya menusuk, melubangi, menggores, dan memotong daerah genital.
Dapat kita simpulkan dari penjelasan WHO yang dilarang adalah tindakan FGM (Female Genita Mutilation), yaitu seluruh prosedur yang menghilangkan secara total atau sebagian dari organ genialia eksterna atau melukai pada organ kelamin wanita karena alasan non-medis. Namun perlu diperhatikan baik-baik bahwa definisi khitan wanita dalam Islam tidak sama dengan FGM yang dilarang oleh WHO.
Permenkes tentang Khitan Wanita, Terdapat Peraturan Menteri Kesehatan tentang khitan bagi wanita yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Repubublik Indonesia nomor 1636/Menkes/Per/XI/2010 tentang Sunat Perempuan. Dijelaskan bahwa khitan perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Khitan perempuan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu, yaitu dokter, bidan, dan perawat yang telah memiliki Surat izin praktik atau Surat izin kerja. Yang melakukan khitan pada perempuan diutamakan adalah tenaga kesehatan perempuan.
Adanya Permenkes ini bisa digunakan sebagai standar operasional prosedur (SOP) bagi tenaga kesehatan apabila ada permintaan dari pasien atau orangtua bayi untuk melakukan khitan pada bayi perempuannya. Dalam melaksanakan khitan perempuan, tenaga kesehatan harus mengikuti prosedur yang tercantum dalam Permenkes 1636/2010. Jadi khitan perempuan yang diatur dalam Permenkes tersebut bukan mutilasi genital perempuan (female genetal multilation = FGM) yang dilarang oleh WHO.
D.    Tinjauan Hukum Islam terhadap Khitan
Khitan merupakan ajaran agama Islam. Khitan di dalam Islam disyari’atkan berdasarkan keterangan berikut:
1.     Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 123 dan Q.S. Al Hajj ayat 78:
ثم أوحينا إليك أن اتبع ملة إبراهيم حنيفاً وما كان من المشركين  [النحل:123]
“Kemudian Kami (Allah) mewahyukan kepadamu (Nabi Muhamad SAW) untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim yang lurus. Tidaklah Nabi Ibrahim itu termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. An-Nahl: 123)
Dalam ayat ini Allah SWT. Memerintahkan Nabi Muhamad SAW dan umatnya untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim As. Di antara ajaran Nabi Ibrahim as Adalah khitan. Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Nabi Ibrahim as Melakukan khitan pada umur 80 tahun.
حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
Artinya: “Ikutilah agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan begitu pula dalam (Al quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia.” (Q.S. Al Hajj ayat 78)
2.     Al-Hadits (Sunnah)
1)     Riwayat Bukhari dan Muslim:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الْفِطْرَةُ خَمْسٌ – أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ – الْخِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَتَقْلِيْمُ الاظافر  وَقَصُّ الشَّارِبِ
Fithrah itu ada lima: Khitan, mencukur rambut kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan memotong kumis.” [H.R.Bukhari (6297 - Fathul Bari), Muslim (3/257 - Nawawi), Malik dalam Al-Muwatha (1927), Abu Daud (4198), At-Tirmidzi (2756), An-Nasa'i (1/14-15), Ibnu Majah (292), Ahmad dalam Al-Musnad (2/229) dan Al-Baihaqi (8/323)].
Dalam hadits yang lain di sebutkan riwayat Bukhary dan Muslim, Lihat juga As-Syaukani dalam Nailul Autar 1/111:
اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِينَ سَنَةً بِالْقَدُومِ
Artinya: “Ibrahim ‘alaihissalam telah berkhitan dengan qadum (nama sebuah alat pemotong) sedangkan beliau berumur 80 tahun.”
2)     Dari Utsaim bin Kulaib dari ayahnya dari datuknya, bahwa dia datang menemui Rasulullah S.A.W. dan berkata: “Aku telah memeluk Islam. Maka Nabi pun bersabda:
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
“Hilangkan darimu rambut kekafiran (yang menjadi alamat orang kafir) dan berkhitanlah.” [HR Ahmad, Abu Daud dan dinilai Hasan oleh al-Albani]. Hadits ini dinilai dha’if oleh manhaj mutaqaddimin.
3)     Hadits Riwayat Ahmad dan Baihaqi:
الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ ، مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ
Artinya: “Khitan itu sunnah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita.”
Ini adalah dalil yang digunakan oleh pihak yang mengatakan bahwa khitan wanita bukanlah wajib dan sunah, akan tetapi kehormatan. Hadits ini dinyatakan lemah karena di dalamnya ada perawi yang bernama Hajaj bin Arthoh.
4)     Hadits riwayat As-Syaukani dalam At-Talkhis Al-Jabir:
من أسلم فليختتن
Artinya: “Barangsiapa yang masuk Islam maka hendaknya dia berkhitan.”
5)     Hadits riwayat Ahmad, dan Baihaqi:
الختان سنة في الرجال، مكرمة في النساء
Artinya: “Khitan itu sunnah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita.
6)     Hadits riwayat Anas bin Malik bahwa rasulullah SAW, bersabda tentang khitan perempuan:
إذا خفضت أَشِمِّي ولا تَنْهَكِي فإنه أحظى للزوج وأسرى للوجه
Artinya: “Apabila Engkau mengkhitan wanita, sisakanlah sedikit dan jangan potong (bagian kulit klitoris) semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami.” [Dikeluarkan oleh Abu Daud (5271), Al-Hakim (3/525), Ibnu Ady dalam Al-Kamil (3/1083) dan Al-Khatib dalam Tarikhnya 12/291), dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah].
          Bagi yang mewajibkan khitan wanita, menganggap bahwa hadits di atas derajatnya ‘Hasan’, sedang yang menyatakan sunah atau kehormatan wanita menyatakan bahwa hadits tersebut lemah.
7)     Hadits riwayat Abu Daud dari Ummu Atiyah:
إن امرأة كانت تختن بالمدينة فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم: "لا تنهكي فإن ذلك أحظى للمرأة وأحب إلى البعل
Artinya: “Bahwasanya di Madinah ada seorang wanita yang (pekerjaannya) mengkhitan wanita, kemudian Rasulullah SAW, bersabda: Jangan berlebihan di dalam memotong, karena yang demikian itu lebih nikmat bagi wanita dan lebih disenangi suaminya.”
8)     Hadits riwayat Muslim:
إذ جلس بين شهبها الأربع و مسّ الختان الختان فقد وجب الغسل
Artinya: “Apabila seseorang laki-laki berada di empat cabang wanita (bersetubuh dengan wanita) dan khitan menyentuh khitan, maka wajib mandi.” [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (1/291 - Fathul Bari), Muslim (249 - Nawawi), Abu Awanah (1/269), Abdurrazaq (939-940), Ibnu Abi Syaibah (1/85) dan Al-Baihaqi (1/164)].
E.     Pendapat Ulama Mazhab terhadap Hukum Khitan
Khitan di dalam Islam disyari’atkan, semua ulama Islam telah konsensus berdasarkan dalil-dalil di atas. Namun ketika dalam penetapan status hukumnya, para Fuqaha’ berbeda pendapat. Diantaranya yaitu:
1.     Wajib khitan bagi laki – laki dan perempuan
Ulama yang mewajibkan khitan, mereka berhujjah dengan beberapa dalil yaitu Hukum wanita sama dengan laki-laki, kecuali ada dalil yang membedakannya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Dari Ummu Sulaim radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wanita itu saudara kandung laki-laki.” (HR. Abu Daud 236, Tirmidzi 113, Ahmad 6/256 dengan sanad hasan).
Adanya beberapa dalil yang menunjukkan Rasulullah SAW, menyebut khitan bagi wanita, diantaranya sabda beliau:
إذ التقى الختا نا ن فقد وجب الغسل
“Apabila bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” [H.R. At-Tirmidzi (108-109), Asy-Syafi'i (1/38), Ibnu Majah (608), Ahmad (6/161), Abdurrazaq (1/245-246) dan Ibnu Hibban (1173-1174 - Al Ihsan) sanad sahih].
Kelompok yang berpendapat wajib mengatakan bahwa hadits di atas menyebut dua khitan yang bertemu, maksudnya adalah kemaluan laki-laki yang dikhitan dan kemaluan perempuan yang dikhitan. Hal ini secara otomatis menunjukkan bahwa khitan wanita hukumnya wajib. Sedangkan bagi yang berpendapat khitan wanita adalah sunah mengatakan bahwa hadits tersebut tidak tegas menyatakan kewajiban khitan bagi perempuan. Dari az-Zuhri, bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa masuk Islam, maka berkhitanlah walaupun sudah dewasa.” Komentar Ibn Qayyim yang memuatkan hadits di atas dalam Tuhfah, berkata walaupun hadits itu dha’if, tapi Ia dapat dijadikan penguat dalil.
Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal dalam satu riwayat yang kuat, khitan bagi laki-laki dan perempuan hukumnya wajib. Dalilnya adalah ayat dan hadits seperti yang telah disebutkan di atas. Dalil lain yang dijadikan alasan bagi ulama yang menyatakan bahwa khitan perempuan wajib adalah hadits dari Ummi Athiyah:
قالت ان امرأة كانت تختن بالمدينة  فقال لها النبى صلى الله عليه وسلم : " لاتنهكى فان ذلك احظى للزوج وأسرى للوجه " ( رواه الامام احمد بن حنبل وابو داود والحاكم )
”Ummi ‘Athiyah berkata: ”Perempuan-perempuan Madinah biasa dikhitan.” Maka Nabi berkata kepada Ummi ’Athiyah: ”Jangan berlebih-lebihan dalam melakukan pemotongan khitan pada perempuan, karena hal itu lebih disukai oleh suami dan menyebabkan wajah perempuan lebih bersinar/berseri-seri.” (Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Daud dan al-Hakim).
Berkata Imam Nawawi, “Yang wajib bagi laki-laki adalah memotong seluruh kulit yang menutupi kepala dzakar sehingga kepala dzakar itu terbuka semua. Sedangkan bagi wanita, maka yang wajib hanyalah memotong sedikit daging yang berada pada bagian atas farji.” (Syarah Sahih Muslim 1/543, Fathul Bari 10/340).
Disebutkan dalam Tufatul Maudud, halaman 164 bahwa Siti Sarah ketika menghadiahkan Siti Hajar kepada Nabi Ibrohim ‘alaihissalam, lalu Siti Hajar hamil, hal ini menyebabkan ia cemburu. Maka ia bersumpah ingin memotong tiga anggota badannya. Nabi Ibrohim ‘alaihissalam khawatir ia akan memotong hidung dan telinganya, lalu beliau menyuruh Saroh utk melubangi telinganya dan berkhitan. Jadilah hal ini sebagai sunnah yang berlangsung pada para wanita sesudahnya.
Kata Ibn Abbas dalam Atsar Salaf, “al-Aqlaf (orang belum khitan) tidak diterima solatnya dan tidak dimakan sembelihannya.” (Ibn Qayyim, Tuhfah) dalam versi Ibn Hajar “Tidak diterima syahadah, solat dan sembelihan si Aqlaf (orang belum khitan)”.
Kesimpulan dari beberapa hadist di atas, sangat wajar jika para ulama berbeda pendapat tentang hukum khitan wanita. Yang jelas semuanya mengatakan bahwa khitan wanita ada dasarnya di dalam Islam, walaupun harus diakui bahwa sebagian dalilnya masih samar-samar. Perbedaan para ulama di atas di dalam memandang khitan wanita harus disikapi dengan lapang dada, barangkali di dalam perbedaan pendapat tersebut ada hikmahnya.
2.     Sunah Khitan bagi laki – laki dan Perempuan
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas berpendapat bahwa khitan untuk laki-laki dan perempuan hukumnya sunnah, tidak wajib, tetapi apabila ditinggalkan atau tidak dilakukan berdosa. Nampaknya dalam hal ini kedua Imam tersebut membuat istilah sendiri tentang pengertian sunnah yang tidak sama pengertiannya dengan yang lazim seperti yang selama ini kita pahami. Mereka mengatakan sunnah, tetapi berdosa bila tidak dilakukannya.
Memang ada riwayat yang mengatakan bahwa menurut Imam Abu Hanifah apabila dalam satu negeri orang sepakat untuk tidak berkhitan maka pemerintah boleh memeranginya, sebab khitan merupakan identitas dan syiar Islam. Ada juga riwayat lain yang mengatakan bahwa khitan menurut Imam Malik adalah wajib, dan orang yang tidak dikhitan tidak boleh menjadi imam dan kesaksiannya tidak diterima.
Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat khitan adalah sunnah dikalangan laki-laki bukan wajib. Namun ia termasuk sunnah fitrah dan salah satu syiar Islam. Maka jika ada satu negeri yang dengan sengaja meninggalkannya, orang-orang di tempat itu wajib untuk diperangi oleh imam kaum muslimin. Sebagaimana jika ada sebuah negeri yang dengan sengaja meninggalkan adzan. Yang mereka maksud adalah sunnah-sunnah syiar yang dengannya kaum muslimin berbeda dengan kaum lain.
Pendapat ini didukung oleh Syeikh al-Qardhawi menyetujui pendapat ini dan berkata, “Khitan bagi lelaki cuma sunnah syi’ariyah atau sunnah yang membawa syi’ar Islam yang harus ditegakkan. Ini juga pendapat al-Syaukani. (Fiqh Thaharah).
Walaupun syeikh Al-Qardhawi berpendapat sunnah, tapi menurut beliau khitan merupakan sunnah yang harus ditegakkan untuk membedakan antara Muslim dan non-Muslim. Ini beliau tegaskan dalam buku beliau yang berjudul Fiqh Thaharah hal. 171. Beliau mengatakan bahwa khitan sebagai sunnah syi’ariyah sebenarnya lebih mendekati wajib dimana orang yang meninggalkannya harus diperangi.
Jadi menurut Syeikh Dr. Yusuf al-Qhardawi, bahwa pandangan yang mengatakan bahwa khitan itu wajib bisa jadi merupakan pendapat yang terlalu keras bagi orang-orang yang masuk Islam. Beliau menceritakan pembicarannya dengan seorang mentri agama Indonesia dulunya:
Mentri Agama Republik Indonesia pernah mengatakan kepada saya, saat saya untuk pertama kalinya mengadakan kunjungan ke negeri itu pada tahun tujuh puluhan di abad dua puluh; Sesungguhnya ada banyak suku di Indonesia yang akan masuk Islam. Kemudian setelah pemimpin mereka datang menemui pimpinan agama Islam untuk mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dalam ritual agama Islam agar mereka bisa masuk dalam agama Islam. Maka jawaban yang diberikan oleh pemimpin agama Islam saat itu tak lain adalah dengan mengatakan: Hal pertama kali yang harus dilakukan adalah hendaknya kalian semua harus dikhitan! Hasilnya mereka sangat ketakutan akan terjadinya penyunatan massal berdarah dan mereka berpaling dari Islam. Akibatnya kaum muslimin mengalami kerugian yang besar dan mereka tetap menganut paham animisme. Ini karena madzhab yang mereka pakai adalah madzhab Imam Asy-Syafi’i, satu madzhab yang keras dalam masalah khitan. (Fiqh Taharah, hal. 174).
F.     Fatwa MUI mengenai Masalah Khitan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) beserta sejumlah ormas Islam menegaskan pentingnya sunat perempuan bagi kaum muslimah karena merupakan bagian dari ajaran agama. MUI menentang dan menolak mentah-mentah semua argumen para aktivis anti-sunat perempuan di Indonesia dan dunia.
Hal ini disampaikan oleh Ketua MUI KH Ma’ruf Amin di Kantor MUI, Jl Proklamasi No 51, Menteng, Jakarta, Senin (21/1/2013) yang dihadiri sejumlah perwakilan ormas Islam. Beliau menegaskan kembali fatwa MUI yang sudah dibuat pada tahun 2008 tentang hukum sunat perempuan berbunyi: “Khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Dan khitan terhadap perempuan adalah makrumah (ibadah yang dianjurkan).
“Kami dari Majelis Ulama Indonesia, bersama ormas Islam menyampaikan bahwa khitan adalah bagian dari ajaran Islam yang sangat dianjurkan bagi umat Islam, baik bagi laki-laki maupun perempuan,” kata Kiyai Ma’ruf didampingi Wasekjen MUI Amirsyah Tambunan.
Kata Kiyai Ma’ruf, Khitan bagi perempuan diperbolehkan asal tidak berlebihan. Maksud dari berlebihan adalah memotong clitoral hood (kulit pembungkus klitoris) yang terlalu banyak. Departemen Kesehatan Indonesia juga sudah mengeluarkan kebijakan mengenai khitan.
Menurut Kyai Ma’ruf, Hukum khitan perempuan adalah khilaf, yaitu hukum antara wajib, makrumah dan sunah. Di dalam Fatwa no. 9 tahun 2008 tentang khitan perempuan, bagi laki-laki maupun perempuan termasuk ibadah yang dianjurkan dengan tata cara tertentu.
Khitan perempuan adalah bagian dari ajaran agama yang melaksanakannya merupakan hak asasi manusia yang dilindungi oleh UUD dan sudah didukung oleh Peraturan Menkes no 1636/Menkes/per/2010. “Oleh karena itu, kami mendukung Permenkes tersebut, kami meminta pada pemerintah untuk tidak mengindahkan setiap upaya dari pihak mana pun yang menginginkan adanya pelarangan khitan di Indonesia,” pungkasnya.
G.    Pelaksanaan Walimah Khitan dalam pandangan Hukum islam
Acara walimah khitan merupakan acara yang sangat biasa dilakukan oleh umat Islam di Indonesia, atau mungkin juga di negeri lainnya. Persoalannya, apakah acara semacam itu ada tuntunannya atau tidak. Utsman bin Abil ‘Ash diundang ke (perhelatan) Khitan, dia enggan untuk datang lalu dia diundang sekali lagi, maka dia berkata, “Sesungguhnya kami dahulu pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendatangi walimah khitan dan tidak diundang.” (HR. Imam Ahmad).
Berdasarkan Atsar dari Utsman bin Abil’Ash di atas, walimah khitan adalah tidak disyariatkan, walaupun atsar ini dari sisi sanad tidak shohih, tetapi ini merupakan pokok, yaitu tidak adanya walimah khitan. Karena khitan merupakan hukum syar’i, maka setiap amal yang ditambahkan padanya harus ada dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan walimah ini merupakan amalan yang disandarkan dan dikaitkan dengan khitan, maka membutuhkan dalil untuk membolehkannya. Semoga Allah ta’ala memudahkan kaum muslimin untuk menjalankan sunah yang mulia ini.
H.    Tujuan, Manfaat dan Hikmah Melaksanakan Khitan
Tujuan utama syariah kenapa khitan itu disyariatkan adalah karena menghindari adanya najis pada anggota badan saat shalat. Karena, tidak sah Shalat seseorang apabila ada najis yang melekat pada badannya. Selain itu, tujuan utamanya yaitu untuk mengikuti sunah Rasulullah SAW, dan mengikuti sunah Nabi Ibrahim as.
Adapun manfaat dan hikmah melaksanakan khitan menurut beberapa sumber baik itu dari sumber medis ataupun ulama seperti Al-Hawani, Seiykh al-Qardhawi, dan fatwa MUI dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1.     Khitan merupakan pangkal fitrah, syiar Islam dan syari’at.
2.     Khitan itu membedakan kaum muslimin dari pada pengikut agama lain.
3.     Khitan merupakan pernyataan Ubudiyah terhadap Allah SWT. Ketaatan melaksanakan perintah, hukum dan kekuasaannya.
4.     Khitan bagi wanita tidak berbahaya ditinjau dari sisi medis.
5.     Khitan memaksimumkan kepuasan seks ketika jima’, (Fiqh Taharah, 172).
6.     Dengan khitan kemungkinan terserang penyakit sifilis, kanker penis (penile cancer) atau kanker leher rahim (cervical cancer) sangat kecil.
7.     Khitan berpengaruh pada daya tahan sek. Falh Gray menyatakan berdasarkan penelitiannya, orang yang khitan memiliki ketahanan lebih lama dibanding orang yang tidak dikhitan dalam melakukan hubungan suami istri (al-Halwani: 46).
8.     Dengan di khitan akan lebih higinis (sehat). Menurut penelitian medis, infeksi bekas urine lebih banyak diderita orang yang tidak disunat. Infeksi yang akut pada Usia muda akan berakibat pada masalah ginjal di kemudian hari.
9.     Mengurangi resiko infeksi yang berasal dari transmisi seksual. Pria yang dikhitan memiliki resiko lebih rendah dari infeksi akibat hubungan seksual, termasuk HIV/AIDS. Dan ia juga akan Terhindar dari kebiasaan melakukan Onani.
10.  Mencegah problem terkait dengan penis. Terkadang, kulit muka penis yang tidak dikhitan akan lengket yang sulit dipisah. Dan ini dapat berakibat radang pada kepala penis (hasyafah), bengkak dan lecet.
11.  Khitan pada perempuan yaitu untuk menyeimbangkan syahwat perempuan. “Menurut para ulama, jika wanita tidak dikhitan, syahwatnya terlalu besar. Jika khitannya berlebihan, itu menjadi rendah syahwatnya. Maka dari itu, khitannya sedikit saja untuk membuka selaput saja. (Majmu’ Fatawa 21/114).


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Khitan atau sunat adalah tindakan memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari penis. Sedangkan khitan pada perempuan adalah memotong bagian bawah kulit lebih dan menutupi yang ada di atas vagina perempuan.
hukum waktu melaksanakan khitan adalah wajib jika sebelum masuk umur baligh (Ibn al-Qayyim, Tuhfah-110). Waktu yang dianjurkan yaitu ketika anak-anak dianjurkan untuk solat (7 tahun) atau disebut juga waktu itsghar (Tuhfah-112). Dan waktu mubah yaitu waktu selain yang disebutkan di atas.
Seorang anak haram di khitan jika hal itu tidak mungkin dilakukan (bila dilakukan membahayakan), semua ulama sepakat haram mengkhitannya. Adapun jika seorang Muslim meninggal belum di Khitan maka Ulama fiqh sepakat bahwa seseorang tersebut tidak perlu dikhitan, sebab kewajiban khitan merupakan hukum taklifi, dengan meninggal maka hukum itu menjadi gugur. Lebih dari itu tujuan khitan adalah untuk mensucikan najis.
Dalam tinjauan medis khitan perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Dan khitan di anjurkan dalam segi medis. Sedangkan dalam tinjauan hukum Islam khitan itu wajib di laksanakan baik bagi laki – laki maupun perempuan. Namun, jika di tinjau dari pandangan para ulama mazhab, Hukum khitan di bagi menjadi dua (2). Yaitu hukumnya wajib bagi laki – laki dan perempuan itu menurut pendapat mazhab Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Sedangkan hukumnya sunah fitrah bagi laki – laki dan makhrumah (kemuliaan) bagi perempuan dan itu menurut Madzhab Hanafi dan Maliki juga Syeikh Dr. Yusuf al-Qhardawi. Menurut beliau, sunnahnya adalah mendekati wajib. Jika khitan satu negeri sepakat untuk tidak melaksanakan khitan, maka pemerintah tersebut wajib memeranginya. Karena khitan disini merupakan salah satu Syiar Islam.
Menurut MUI dan ormas Islam, khitan adalah bagian dari ajaran Islam yang sangat dianjurkan bagi umat Islam, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Khitan bagi perempuan diperbolehkan asal tidak berlebihan. Maksud dari berlebihan adalah memotong clitoral hood (kulit pembungkus klitoris) jangan terlalu banyak. Departemen Kesehatan Indonesia juga sudah mengeluarkan kebijakan mengenai khitan.
Dan masih menurut MUI, Hukum khitan perempuan adalah khilaf, yaitu hukum antara wajib, makrumah dan sunah. Di dalam Fatwa no. 9 tahun 2008 tentang khitan perempuan, bagi laki-laki maupun perempuan termasuk ibadah yang dianjurkan dengan tata cara tertentu.
Selanjutnya adalah, hukum walimah dalam pandangan Islam. Berdasarkan Atsar dari Utsman bin Abil’Ash di atas, walimah khitan adalah tidak disyariatkan, walaupun atsar ini dari sisi sanad tidak shohih, tetapi ini merupakan pokok, yaitu tidak adanya walimah khitan. Karena khitan merupakan hukum syar’i, maka setiap amal yang ditambahkan padanya harus ada dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan walimah ini merupakan amalan yang disandarkan dan dikaitkan dengan khitan, maka membutuhkan dalil untuk membolehkannya.
Tujuan utama syariah kenapa khitan itu disyariatkan adalah karena menghindari adanya najis pada anggota badan saat shalat. Selain itu, tujuan utamanya yaitu untuk mengikuti sunah Rasulullah SAW, dan mengikuti sunah Nabi Ibrahim as. Adapun manfaat dan hikmah melaksanakan khitan menurut beberapa sumber baik itu dari sumber medis ataupun ulama seperti Al-Hawani, Seiykh al-Qardhawi, dan fatwa MUI dapat dipaparkan dibawah ini.
Khitan merupakan pangkal fitrah, syiar Islam dan syari’at, Khitan merupakan salah satu masalah yang membawa kesempurnaan Ad-Din yang disyari’atkan Allah SWT. Khitan itu membedakan kaum muslimin dari pada pengikut agama lain, Khitan memaksimumkan kepuasan seks ketika jima’ (hubungan seks) (Fiqh Taharah, 172). Dengan khitan kemungkinan terserang penyakit sifilis, kanker penis (penile cancer) atau kanker leher rahim (cervical cancer) sangat kecil. Terhindar dari peradangan, lecet, pembengkakan karena kulit penis tertutup. Dengan khitan, anak terhindar dari bahaya melakukan onani.
DAFTAR PUSTAKA
Khitan bagi Wanita, Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Al-Furqon edisi 6 Tahun V/ Muharram 1427/ Februari 200
Khitan bagi Wanita, Ustadz Abu Nu’aim Al-Atsari, As Sunnah edisi 1/V/1421 H/2001 M
http://blog.wiemasen.com/hukum-khitan/  di Akses tanggal 08 Mei 2014
http://salafy.web.id/khitan-bagi-wanita-imam-nawawi-141.htm  dan www.who.int  di Akses pada tanggal 20 Mei 2014 jam 19:35.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar