KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan
karunia-Nya penulis masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini.
Dimana makalah ini merupakan salah satu tugas kelompok Mata Kuliah Masail
Fiqhiyah Al-Haditsah 2 (Dua), Semester IV (Enam) Reguler dan Prodi PAI. Adapun
judul makalah ini adalah “ANALISIS HUKUM KHITAN TERHADAP LAKI – LAKI DAN
PEREMPUAN”.
Tidak
lupa penulis ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Masail Fiqhiyah
Al-Haditsah 2 (Dua), yakni Bapak Nuriddin AR, M.Pd.I. Dan juga teman-teman yang
telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari rekan semua yang nantinya
penulis jadikan bahan dalam penyempurnaan makalah ini.
Dan
semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat umum dan
khususnya bagi penulis sendiri. Aamiin.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
………. ….…….…………..…...……………..….…………......
i
DAFTAR
ISI ……………...………….….……
…..………………...…..…...………..….. ii
BAB
I
PENDAHULUAN: LATAR BELAKANG DAN
SEJARAH KHITAN ………. 1
BAB II ANALISIS HUKUM KHITAN TERHADAP LAKI – LAKI
DAN PEREMPUAN3Pengertian dan Cara Pelaksanaan Khitan ………….… 3
A. Waktu Melaksanakan Khitan
……………………………..…………… 3
B. Tinjauan Medis terhadap Khitan
…………………………………… 6
C. Tinjauan Hukum Islam terhadap
Khitan ………………………. 7
D. Pendapat Ulama Mazhab terhadap Hukum
Khitan …………… 10
E. Fatwa MUI mengenai Masalah Khitan
………………………… 14
F. Pelaksanaan Walimah Khitan dalam
Pandangan Hukum Islam …....15
G. Tujuan, Manfaat, dan Hikmah
Melaksanakan Khitan ……………… 15
BAB
III PENUTUP: KESIMPULAN .………….….……………..…..……….…...….
17
DAFTAR PUSTAKA
……….….……..…..….………… ……….……..……...…..
19
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG DAN SEJARAH KHITAN
Khitan merupakan perintah Allah SWT. Sejak
masa Nabi Ibrahim as. Sebagaimana dalam beberapa riwayat hadits Nabi Muhammad
SAW. Mengutip keterangan dari Injil Barnabas, Nabi Adam as. Adalah manusia
pertama yang berkhitan. IA melakukannya setelah bertobat kepada Allah SWT. Dari
dosa-dosa yang dilakukannya karena melanggar larangan Allah untuk tidak memakan
buah khuldi.
Pada masa Babilonia dan Sumeria Kuno, yakni
sekitar tahun 3500 Sebelum Masehi (SM), mereka juga sudah melakukan praktik
berkhitan. Hal ini diperoleh dari sejumlah prasasti yang berasal dari peradaban
bangsa Babilonia dan Sumeria Kuno. Pada prasasti itu, tertulis tentang
praktik-praktik berkhitan secara terperinci. Begitu juga pada masa bangsa Mesir
Kuno sekitar tahun 2200 SM. Prasasti yang tertulis pada makam Raja Mesir yang
bernama Tutankhamun, tertulis praktik berkhitan di kalangan raja-raja (Firaun).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
khitan telah ada sejak zaman nabi Ibrahim, sebagaimana disebutkan dalam kitab
taurat dan kitab injil dan terlebih dalam Al-Qur’an sendiri, sebagai kitab
terakhir seluruh Umat di dunia ini. Dan di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa
Allah SWT. Memerintahkan Nabi Muhammad SAW dan umatnya untuk mengikuti ajaran
Nabi Ibrahim As. Di antara ajaran Nabi Ibrahim as Adalah khitan.
Meskipun dalam Al-Qur’an telah dijelaskan
secara jelas, namun di zaman modern ini banyak kalangan muslim sendiri yang
melarang praktek pelaksanaan khitan, padahal jelas, bahwa Rasulullah SAW, di
suruh untuk mengikuti Ajaran Nabi Ibrahim as, yang salah satunya adalah khitan.
Dengan demikian bukan berarti Islam adalah pengikut Agama tauhid, tetapi Islam
adalah penyempurna seluruh Agama yang di utus Oleh Allah SWT ke muka bumi ini.
Berdasarkan perdebatan tentang khitan yang
terjadi di masa sekarang, maka penulis bermaksud menguraikan analisis dari
khitan, sebagaimana terangkum dalam rumusan masalah. Adapun rumusan masalahnya yaitu:
1. Apa
Pengertian dan Cara Pelaksanaan Khitan?
2. Kapan
Waktu Melaksanakan Khitan?
3. Bagaimana
Tinjauan Medis terhadap Khitan?
4. Bagaimana
Tinjauan Hukum Islam terhadap Khitan?
5. Bagaimana
Pendapat Ulama Mazhab terhadap Hukum Khitan?
6. Bagaimana
Fatwa MUI mengenai Masalah Khitan?
7. Bagaimana
Pelaksanaan Walimah Khitan dalam Pandangan Hukum Islam?
8.
Apa Tujuan, Manfaat, dan Hikmah Melaksanakan
Khitan?
Demikian rumusan masalah yang penulis
sajikan, untuk mempermudah pembahasan dalam makalah ini. Sehingga poin – poin
penting dapat mudah dijabarkan dalam penyajian makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
ANALISIS HUKUM KHITAN
TERHADAP LAKI – LAKI DAN PEREMPUAN
A.
Pengertian Dan Cara Pelaksanaan Khitan
Khitan berasal dari bahasa Arab, bentuk
masdar dari kata Khatana, Yakhtinu,
Khatnan. Khitan telah menjadi Bahasa Indonesia dan sering juga disebut
dengan “sunat”. Khitan berasal dari kata khatana
yang berarti memotong. Sedangkan al-khatnu
berarti memotong kulit yang menutupi kepala dzakar dan memotong sedikit daging
yang berada di bagian atas farji (clitoris). Dan al-khitan adalah Nama dari bagian yang dipotong tersebut. (Lihat Lisanul Arab, Imam Ibnu Manzhur).
Khitan bagi laki-laki dinamakan juga I’zar dan bagi perempuan disebut khafd.
Secara umum, sunat adalah tindakan memotong
atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari penis.
Frenulum dari penis dapat juga dipotong secara bersamaan dalam prosedur yang
dinamakan frenektomi. Imam Nawawi
menyatakan bahwa khitan pada perempuan adalah memotong bagian bawah kulit lebih
dan menutupi yang ada di atas vagina perempuan.
B.
Waktu Melaksanakan Khitan
Pelaksanaan khitan untuk anak laki-laki terkait
dengan kewajiban melaksanakan shalat setelah dewasa. Ketika seseorang ingin
mengerjakan shalat terlebih dahulu harus suci fisiknya dari najis dan hadats,
pakaiannya dan tempatnya harus suci dari najis. Untuk itu maka kulit yang
menutup penis harus dipotong. Jika tidak, najis air seni setelah seseorang
buang air kecil akan tertinggal dan bersembunyi di dalamnya dan ini akan
terbawa waktu shalat. Hal ini menyebabkan shalatnya tidak sah dan tidak
dibenarkan. Untuk itu wajib dihilangkan dengan cara dikhitan. Sedangkan khitan
bagi perempuan dilakukan sewaktu masih bayi atau kecil, sehingga yang
bersangkutan tidak mengetahuinya.
Berdasarkan kaidah “Mim Babi Ma Layatim al-Wajib Illa Bihi Fahuwa Wajib” berarti “sesuatu yang menjadi sempurnanya sesuatu
yang wajib, hukumnya juga wajib.”
Ulama Fiqh mazhab
Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa waktu seorang anak wajib dikhitan adalah
setelah dewasa, sebab khitan dilakukan untuk kepentingan kesucian. Menurut ulama
Fiqh mazhab Syafi’i waktu khitan di sunahkan ada dua pendapat. Pendapat sahih
yang difatwakan adalah pada saat umur 7 hari sejak kelahiran anak. Hal ini
berdasarkan hadits dari Jabir:
عق رسو ل الله صلى الله عليه وسلم عن
الحسن والحسين وختنهما لسبعة ايام (البيهقى)
“Rasulullah SAW melakukan aqiqah untuk Hasan dan Husain dan mengkhitannya
pada hari ke tujuh.” (Al-Baihaqi)
Dalam hadits yang lain disebutkan, Dari Abu Ja’far
berkata, “Fathimah melaksanakan aqiqah
anaknya pada hari ketujuh. Beliau juga mengkhitan & mencukur rambutnya
serta menshadaqahkan seberat rambutnya dengan perak.” (HR. Ibnu Abi
Syaibah).
Hadits
riwayat Ar-Rafi'i dalam At-Takwin, As-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmuah,
Al-Bahiri dalam As-Sabi':
اختنوا أولادكم يوم السابع فإنه أطهر
وأسرع لنبات اللحم.
Artinya:
“Khitanlah anak laki-lakimu pada hari ketujuh karena sesungguhnya itu lebih
suci dan lebih cepat tumbuh daging (cepat besar badannya).”
Meskipun begitu, khitan boleh dilakukan sampai anak
tumbuh dewasa, sebagaiman telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhyallahu’anhu,
bahwa beliau pernah ditanya, “Seperti
apakah engkau saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia ?”
Beliau menjawab, “Saat itu saya barusan dikhitan. Dan saat itu para sahabat tak
mengkhitan kecuali sampai anak itu bisa memahami sesuatu.” (HR. Bukhori,
Ahmad, & Thabrani).
Berkata Imam Al-Mawardzi, ”Khitan itu memiliki dua waktu,
waktu wajib dan waktu sunnah. Waktu wajib adalah masa baligh, sedangkan waktu
sunnah adalah sebelumnya. Yang paling bagus adalah hari ketujuh setelah
kelahiran dan disunnahkan agar tidak menunda sampai waktu sunnah kecuali ada
udzur. (Fathul Bari 10/342).
Menurut ulama Fiqh mazhab Maliki dan Hanbali, waktu
khitan sunat dilakukan ketika anak telah umur 7 tahun hingga 10 tahun. Sebab
waktu itulah anak diperintahkan mengerjakan shalat. Dalam mazhab Hanafi
disebutkan bahwa khitan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi fisik anak,
sudah mungkin apa belum khitan dilakukan. Sebab tidak ada penegasan dari hadits
Nabi kapan waktunya harus dilakukan. Dengan demikian, masalahnya kembali kepada
ijtihad.
Ulama fiqh Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat makruh
melakukan khitan pada hari ketujuh ( 7 ), karena hal itu menyerupai orang-orang
Yahudi. Menurut Syekh al-Azhar Imam Akbar Syekh Jadal Haq Ali Jadal Haq, karena
tidak ada penegasan dari Al-Qur’an dan hadits kapan waktunya khitan itu harus
dilakukan, sebaiknya diserahkan kepala wali atau orang tua anak dengan
pertimbangan dokter ahli, baik untuk laki-laki atau perempuan.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan
hukum waktu melaksanakan khitan adalah:
1. Waktu wajib yaitu sebelum masuk umur
baligh (Ibn al-Qayyim, Tuhfah-110).
2. Waktu yg dianjurkan yaitu ketika
anak-anak dianjurkan untuk solat (7 tahun) atau disebut juga waktu itsghar
(Tuhfah-112).
3.
Waktu
mubah yaitu waktu selain yg disebutkan di atas.
Selain penjelasan di atas, ada
anak-anak yang tidak mungkin di khitan dan hukumnya HARAM dikhitan dengan alasan, ternyata hal itu tidak mungkin
dilakukan (bila dilakukan membahayakan), semua ulama sepakat haram baginya
untuk dikhitan, sebab Allah berfirman:
ولا تلقوا بايديكم الى التهلكة واحسنوا
ان الله يحب المحسنين (البقرة ، 195 )
“Janganlah engkau mencampakkan dirimu dengan tanganmu ke lembah kebinasaan,
dan hendaklah kamu berbuat baik, karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik .” (QS. Al-Baqarah: 195)
Dalam hadits disebutkan:
لا ضرر ولا ضرار
“Tidak boleh berbuat mudlarat kepada diri sendiri dan tidak boleh berbuat
mudlarat kepada orang lain.”
Kaidah Fiqh juga menyatakan:
الضرر يزال
”Bahaya harus dihindarkan.”
Selain itu, jika seorang Muslim
meninggal belum di Khitan maka Ulama fiqh sepakat bahwa seseorang tersebut tidak
perlu dikhitan, sebab kewajiban khitan merupakan hukum taklifi, dengan
meninggal maka hukum itu menjadi gugur. Lebih dari itu tujuan khitan adalah
untuk mensucikan najis.
Dengan meninggal hal itu tidak diperlukan
lagi, sebab bagi orang yang sudah meninggal tidak ada pembebanan hukum. Di sisi
lain yang dikhitan itu adalah bagian dari jasad mayat. Maka tidak boleh
dipotong sebagaimana halnya pencuri yang meninggal sebelum dihukum, maka tidak
boleh dipotong tangannya. Demikian juga tidak boleh melakukan hukum qisas dari
orang yang telah meninggal. Hal ini
berbeda dengan memangkas rambut dan memotong kuku mayat. Untuk hal ini
diperbolehkan, karena sewaktu masih hidup hal itu dapat dilakukan dengan tujuan
berhias.
C.
Tinjauan Medis terhadap Khitan
Dalam isitilah medis khitan disebut female
circumcision, yaitu istilah umum yang mencakup eksisi suatu bagian
genitalia eksterna wanita. Dalam istilah medis, khitan wanita juga diistilahkan
Female Genital Cutting (FGC) atau Female Genital Mutilation
(FGM). Menurut WHO, definisi FGM meliputi seluruh prosedur yang menghilangkan
secara total atau sebagian dari organ genitalia eksterna atau melukai pada
organ kelamin wanita karena alasan non-medis. WHO mengklasifikasikan FGM
menjadi empat tipe yaitu:
1. Klitoridektomi.
Yaitu pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris, termasuk juga pengangakatan
hanya pada preputium klitoris (lipatan kulit di sekitar klitoris).
2. Eksisi: pengangkatan
sebagian atau seluruh klitoris dan labia minora, dengan atau tanpa eksisi dari
labia majora (labia adalah “bibir” yang mengelilingi vagina).
3. Infibulasi:
penyempitan lubang vagina dengan membentuk pembungkus. Pembungkus dibentuk
dengan memotong dan reposisi labia mayor atau labia minor, baik dengan atau
tanpa pengangkatan klitoris.
4.
Tipe lainnya: semua prosedur berbahaya
lainnya ke alat kelamin perempuan untuk tujuan non-medis, misalnya menusuk,
melubangi, menggores, dan memotong daerah genital.
Dapat kita simpulkan dari penjelasan WHO yang
dilarang adalah tindakan FGM (Female Genita Mutilation), yaitu seluruh
prosedur yang menghilangkan secara total atau sebagian dari organ genialia
eksterna atau melukai pada organ kelamin wanita karena alasan non-medis. Namun
perlu diperhatikan baik-baik bahwa definisi khitan wanita dalam Islam tidak
sama dengan FGM yang dilarang oleh WHO.
Permenkes tentang
Khitan Wanita, Terdapat Peraturan Menteri Kesehatan tentang
khitan bagi wanita yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Repubublik Indonesia nomor
1636/Menkes/Per/XI/2010 tentang Sunat Perempuan. Dijelaskan bahwa khitan
perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris,
tanpa melukai klitoris. Khitan perempuan hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan tertentu, yaitu dokter, bidan, dan perawat yang telah memiliki Surat
izin praktik atau Surat izin kerja. Yang melakukan khitan pada perempuan
diutamakan adalah tenaga kesehatan perempuan.
Adanya Permenkes ini bisa digunakan
sebagai standar operasional prosedur (SOP) bagi tenaga kesehatan apabila ada
permintaan dari pasien atau orangtua bayi untuk melakukan khitan pada bayi
perempuannya. Dalam melaksanakan khitan perempuan, tenaga kesehatan harus
mengikuti prosedur yang tercantum dalam Permenkes 1636/2010. Jadi khitan
perempuan yang diatur dalam Permenkes tersebut bukan mutilasi genital perempuan
(female genetal multilation = FGM) yang dilarang oleh WHO.
D.
Tinjauan Hukum Islam terhadap Khitan
Khitan merupakan ajaran agama Islam. Khitan
di dalam Islam disyari’atkan berdasarkan keterangan berikut:
1. Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 123 dan Q.S.
Al Hajj ayat 78:
ثم أوحينا إليك أن اتبع ملة إبراهيم
حنيفاً وما كان من المشركين [النحل:123]
“Kemudian Kami (Allah) mewahyukan kepadamu
(Nabi Muhamad SAW) untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim yang lurus. Tidaklah Nabi
Ibrahim itu termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. An-Nahl: 123)
Dalam
ayat ini Allah SWT. Memerintahkan Nabi Muhamad SAW dan umatnya untuk mengikuti
ajaran Nabi Ibrahim As. Di antara ajaran Nabi Ibrahim as Adalah khitan. Berdasarkan
hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Nabi Ibrahim as
Melakukan khitan pada umur 80 tahun.
حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ
الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ
وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
Artinya:
“Ikutilah agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian
orang-orang muslim dari dahulu, dan begitu pula dalam (Al quran) ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia.” (Q.S.
Al Hajj ayat 78)
2.
Al-Hadits (Sunnah)
1) Riwayat
Bukhari dan Muslim:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الْفِطْرَةُ خَمْسٌ –
أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ – الْخِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الإِبْطِ
وَتَقْلِيْمُ الاظافر وَقَصُّ الشَّارِبِ
Fithrah
itu ada lima: Khitan, mencukur rambut kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong
kuku, dan memotong kumis.” [H.R.Bukhari
(6297 - Fathul Bari), Muslim (3/257 - Nawawi), Malik dalam Al-Muwatha (1927),
Abu Daud (4198), At-Tirmidzi (2756), An-Nasa'i (1/14-15), Ibnu Majah (292),
Ahmad dalam Al-Musnad (2/229) dan Al-Baihaqi (8/323)].
Dalam hadits
yang lain di sebutkan riwayat Bukhary dan Muslim, Lihat juga As-Syaukani dalam
Nailul Autar 1/111:
اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ
السَّلَام وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِينَ سَنَةً بِالْقَدُومِ
Artinya: “Ibrahim ‘alaihissalam
telah berkhitan dengan qadum (nama sebuah alat pemotong) sedangkan beliau
berumur 80 tahun.”
2) Dari Utsaim bin Kulaib dari ayahnya
dari datuknya, bahwa dia datang menemui Rasulullah S.A.W. dan berkata: “Aku telah memeluk Islam. Maka Nabi pun
bersabda:
أَلْقِ
عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
“Hilangkan darimu rambut kekafiran (yang
menjadi alamat orang kafir) dan berkhitanlah.” [HR Ahmad, Abu Daud dan dinilai Hasan oleh al-Albani].
Hadits ini dinilai dha’if oleh manhaj mutaqaddimin.
3) Hadits Riwayat Ahmad dan Baihaqi:
الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ ،
مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ
Artinya: “Khitan itu sunnah bagi
laki-laki dan kemuliaan bagi wanita.”
Ini adalah dalil yang digunakan oleh
pihak yang mengatakan bahwa khitan wanita bukanlah wajib dan sunah, akan tetapi
kehormatan. Hadits ini dinyatakan lemah karena di dalamnya ada perawi yang
bernama Hajaj bin Arthoh.
4) Hadits riwayat As-Syaukani dalam
At-Talkhis Al-Jabir:
من أسلم فليختتن
Artinya: “Barangsiapa yang masuk
Islam maka hendaknya dia berkhitan.”
5) Hadits riwayat Ahmad, dan Baihaqi:
الختان سنة في الرجال، مكرمة في
النساء
Artinya: “Khitan itu sunnah bagi
laki-laki dan kemuliaan bagi wanita.”
6)
Hadits
riwayat Anas bin Malik bahwa rasulullah SAW, bersabda tentang khitan perempuan:
إذا خفضت أَشِمِّي ولا تَنْهَكِي فإنه
أحظى للزوج وأسرى للوجه
Artinya: “Apabila Engkau mengkhitan
wanita, sisakanlah sedikit dan jangan potong (bagian kulit klitoris) semuanya,
karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami.” [Dikeluarkan oleh Abu Daud
(5271), Al-Hakim (3/525), Ibnu Ady dalam Al-Kamil (3/1083) dan Al-Khatib dalam
Tarikhnya 12/291), dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah].
Bagi
yang mewajibkan khitan wanita, menganggap bahwa hadits di atas derajatnya ‘Hasan’,
sedang yang menyatakan sunah atau kehormatan wanita menyatakan bahwa hadits
tersebut lemah.
7) Hadits riwayat Abu Daud dari Ummu Atiyah:
إن
امرأة كانت تختن بالمدينة فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم: "لا تنهكي فإن
ذلك أحظى للمرأة وأحب إلى البعل
Artinya: “Bahwasanya di Madinah ada
seorang wanita yang (pekerjaannya) mengkhitan wanita, kemudian Rasulullah SAW,
bersabda: Jangan berlebihan di dalam memotong, karena yang demikian itu lebih
nikmat bagi wanita dan lebih disenangi suaminya.”
8) Hadits riwayat Muslim:
إذ جلس بين شهبها الأربع و مسّ الختان
الختان فقد وجب الغسل
Artinya: “Apabila seseorang
laki-laki berada di empat cabang wanita (bersetubuh dengan wanita) dan khitan
menyentuh khitan, maka wajib mandi.”
[Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (1/291 - Fathul Bari), Muslim (249 - Nawawi), Abu
Awanah (1/269), Abdurrazaq (939-940), Ibnu Abi Syaibah (1/85) dan Al-Baihaqi
(1/164)].
E.
Pendapat Ulama Mazhab terhadap Hukum Khitan
Khitan di dalam Islam disyari’atkan, semua
ulama Islam telah konsensus berdasarkan dalil-dalil di atas. Namun ketika dalam
penetapan status hukumnya, para Fuqaha’ berbeda pendapat. Diantaranya yaitu:
1.
Wajib khitan bagi laki – laki dan perempuan
Ulama yang mewajibkan khitan, mereka
berhujjah dengan beberapa dalil yaitu Hukum wanita sama dengan laki-laki,
kecuali ada dalil yang membedakannya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam Dari Ummu Sulaim radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Wanita itu
saudara kandung laki-laki.” (HR. Abu Daud 236, Tirmidzi 113, Ahmad 6/256
dengan sanad hasan).
Adanya beberapa dalil yang menunjukkan Rasulullah SAW,
menyebut khitan bagi wanita, diantaranya sabda beliau:
إذ التقى الختا نا ن فقد وجب الغسل
“Apabila
bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” [H.R. At-Tirmidzi (108-109),
Asy-Syafi'i (1/38), Ibnu Majah (608), Ahmad (6/161), Abdurrazaq (1/245-246) dan
Ibnu Hibban (1173-1174 - Al Ihsan) sanad sahih].
Kelompok
yang berpendapat wajib mengatakan bahwa hadits di atas menyebut dua khitan yang
bertemu, maksudnya adalah kemaluan laki-laki yang dikhitan dan kemaluan
perempuan yang dikhitan. Hal ini secara otomatis menunjukkan bahwa khitan
wanita hukumnya wajib. Sedangkan bagi yang berpendapat khitan wanita adalah sunah
mengatakan bahwa hadits tersebut tidak tegas menyatakan kewajiban khitan bagi
perempuan. Dari az-Zuhri, bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa masuk Islam, maka berkhitanlah walaupun sudah dewasa.” Komentar
Ibn Qayyim yang memuatkan hadits di atas dalam Tuhfah, berkata walaupun hadits
itu dha’if, tapi Ia dapat dijadikan penguat dalil.
Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal dalam satu
riwayat yang kuat, khitan bagi laki-laki dan perempuan hukumnya wajib. Dalilnya
adalah ayat dan hadits seperti yang telah disebutkan di atas.
Dalil lain yang dijadikan alasan bagi ulama yang
menyatakan bahwa khitan perempuan wajib adalah hadits dari Ummi Athiyah:
قالت ان امرأة كانت
تختن بالمدينة فقال لها النبى صلى الله
عليه وسلم : " لاتنهكى فان ذلك احظى للزوج وأسرى للوجه " ( رواه الامام
احمد بن حنبل وابو داود والحاكم )
”Ummi ‘Athiyah berkata: ”Perempuan-perempuan Madinah
biasa dikhitan.” Maka Nabi berkata kepada Ummi ’Athiyah: ”Jangan berlebih-lebihan
dalam melakukan pemotongan khitan pada perempuan, karena hal itu lebih disukai
oleh suami dan menyebabkan wajah perempuan lebih bersinar/berseri-seri.” (Imam
Ahmad bin Hanbal, Abu Daud dan al-Hakim).
Berkata Imam Nawawi, “Yang
wajib bagi laki-laki adalah memotong seluruh kulit yang menutupi kepala dzakar
sehingga kepala dzakar itu terbuka semua. Sedangkan bagi wanita, maka yang
wajib hanyalah memotong sedikit daging yang berada pada bagian atas farji.” (Syarah
Sahih Muslim 1/543, Fathul Bari 10/340).
Disebutkan dalam Tufatul Maudud, halaman 164 bahwa Siti
Sarah ketika menghadiahkan Siti Hajar kepada Nabi Ibrohim ‘alaihissalam, lalu Siti
Hajar hamil, hal ini menyebabkan ia cemburu. Maka ia bersumpah ingin memotong
tiga anggota badannya. Nabi Ibrohim ‘alaihissalam khawatir ia akan memotong
hidung dan telinganya, lalu beliau menyuruh Saroh utk melubangi telinganya dan berkhitan.
Jadilah hal ini sebagai sunnah yang berlangsung pada para wanita sesudahnya.
Kata
Ibn Abbas dalam Atsar Salaf, “al-Aqlaf
(orang belum khitan) tidak diterima solatnya dan tidak dimakan sembelihannya.”
(Ibn Qayyim, Tuhfah) dalam versi Ibn Hajar “Tidak
diterima syahadah, solat dan sembelihan si Aqlaf (orang belum khitan)”.
Kesimpulan dari beberapa hadist di atas, sangat wajar
jika para ulama berbeda pendapat tentang hukum khitan wanita. Yang jelas
semuanya mengatakan bahwa khitan wanita ada dasarnya di dalam Islam, walaupun
harus diakui bahwa sebagian dalilnya masih samar-samar. Perbedaan para ulama di
atas di dalam memandang khitan wanita harus disikapi dengan lapang dada,
barangkali di dalam perbedaan pendapat tersebut ada hikmahnya.
2.
Sunah Khitan bagi laki – laki dan Perempuan
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas berpendapat
bahwa khitan untuk laki-laki dan perempuan hukumnya sunnah, tidak wajib, tetapi
apabila ditinggalkan atau tidak dilakukan berdosa. Nampaknya dalam hal ini
kedua Imam tersebut membuat istilah sendiri tentang pengertian sunnah yang
tidak sama pengertiannya dengan yang lazim seperti yang selama ini kita pahami.
Mereka mengatakan sunnah, tetapi berdosa bila tidak dilakukannya.
Memang ada riwayat yang mengatakan bahwa menurut Imam Abu
Hanifah apabila dalam satu negeri orang sepakat untuk tidak berkhitan maka
pemerintah boleh memeranginya, sebab khitan merupakan identitas dan syiar
Islam. Ada juga riwayat
lain yang mengatakan bahwa khitan menurut Imam Malik adalah wajib, dan orang
yang tidak dikhitan tidak boleh menjadi imam dan kesaksiannya tidak diterima.
Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat khitan adalah
sunnah dikalangan laki-laki bukan wajib. Namun ia termasuk sunnah fitrah dan
salah satu syiar Islam. Maka jika ada satu negeri yang dengan sengaja
meninggalkannya, orang-orang di tempat itu wajib untuk diperangi oleh imam kaum
muslimin. Sebagaimana jika ada sebuah negeri yang dengan sengaja meninggalkan
adzan. Yang mereka maksud adalah sunnah-sunnah syiar yang dengannya kaum
muslimin berbeda dengan kaum lain.
Pendapat
ini didukung oleh Syeikh al-Qardhawi menyetujui pendapat ini dan berkata, “Khitan bagi lelaki cuma sunnah syi’ariyah
atau sunnah yang membawa syi’ar Islam yang harus ditegakkan. Ini juga pendapat
al-Syaukani. (Fiqh Thaharah).
Walaupun syeikh Al-Qardhawi berpendapat sunnah, tapi
menurut beliau khitan merupakan sunnah yang harus ditegakkan untuk membedakan
antara Muslim dan non-Muslim. Ini beliau tegaskan dalam buku beliau yang berjudul
Fiqh Thaharah hal. 171. Beliau mengatakan bahwa khitan sebagai sunnah
syi’ariyah sebenarnya lebih mendekati wajib dimana orang yang meninggalkannya
harus diperangi.
Jadi
menurut Syeikh Dr. Yusuf al-Qhardawi, bahwa pandangan yang mengatakan bahwa
khitan itu wajib bisa jadi merupakan pendapat yang terlalu keras bagi
orang-orang yang masuk Islam. Beliau menceritakan pembicarannya dengan seorang
mentri agama Indonesia dulunya:
Mentri
Agama Republik Indonesia pernah mengatakan kepada saya, saat saya untuk pertama
kalinya mengadakan kunjungan ke negeri itu pada tahun tujuh puluhan di abad dua
puluh; Sesungguhnya ada banyak suku di Indonesia yang akan masuk Islam.
Kemudian setelah pemimpin mereka datang menemui pimpinan agama Islam untuk
mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dalam ritual agama Islam agar mereka
bisa masuk dalam agama Islam. Maka jawaban yang diberikan oleh pemimpin agama
Islam saat itu tak lain adalah dengan mengatakan: Hal pertama kali yang harus
dilakukan adalah hendaknya kalian semua harus dikhitan! Hasilnya mereka sangat
ketakutan akan terjadinya penyunatan massal berdarah dan mereka berpaling dari
Islam. Akibatnya kaum muslimin mengalami kerugian yang besar dan mereka tetap
menganut paham animisme. Ini karena madzhab yang mereka pakai adalah madzhab
Imam Asy-Syafi’i, satu madzhab yang keras dalam masalah khitan. (Fiqh Taharah,
hal. 174).
F.
Fatwa MUI mengenai Masalah Khitan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) beserta
sejumlah ormas Islam menegaskan pentingnya sunat perempuan bagi kaum muslimah
karena merupakan bagian dari ajaran agama. MUI menentang dan menolak
mentah-mentah semua argumen para aktivis anti-sunat perempuan di Indonesia dan
dunia.
Hal ini disampaikan oleh Ketua MUI KH Ma’ruf
Amin di Kantor MUI, Jl Proklamasi No 51, Menteng, Jakarta, Senin (21/1/2013)
yang dihadiri sejumlah perwakilan ormas Islam. Beliau menegaskan kembali fatwa
MUI yang sudah dibuat pada tahun 2008 tentang hukum sunat perempuan berbunyi:
“Khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar
Islam. Dan khitan terhadap perempuan adalah makrumah (ibadah yang dianjurkan).
“Kami dari Majelis Ulama Indonesia, bersama
ormas Islam menyampaikan bahwa khitan adalah bagian dari ajaran Islam yang
sangat dianjurkan bagi umat Islam, baik bagi laki-laki maupun perempuan,” kata
Kiyai Ma’ruf didampingi Wasekjen MUI Amirsyah Tambunan.
Kata Kiyai Ma’ruf, Khitan bagi perempuan
diperbolehkan asal tidak berlebihan. Maksud dari berlebihan adalah memotong
clitoral hood (kulit pembungkus klitoris) yang terlalu banyak. Departemen
Kesehatan Indonesia juga sudah mengeluarkan kebijakan mengenai khitan.
Menurut Kyai Ma’ruf, Hukum khitan perempuan
adalah khilaf, yaitu hukum antara wajib, makrumah dan sunah. Di dalam Fatwa no.
9 tahun 2008 tentang khitan perempuan, bagi laki-laki maupun perempuan termasuk
ibadah yang dianjurkan dengan tata cara tertentu.
Khitan perempuan adalah bagian dari ajaran
agama yang melaksanakannya merupakan hak asasi manusia yang dilindungi oleh UUD
dan sudah didukung oleh Peraturan Menkes no 1636/Menkes/per/2010. “Oleh karena
itu, kami mendukung Permenkes tersebut, kami meminta pada pemerintah untuk
tidak mengindahkan setiap upaya dari pihak mana pun yang menginginkan adanya
pelarangan khitan di Indonesia,” pungkasnya.
G.
Pelaksanaan Walimah Khitan dalam pandangan
Hukum islam
Acara walimah khitan merupakan acara yang
sangat biasa dilakukan oleh umat Islam di Indonesia, atau mungkin juga di
negeri lainnya. Persoalannya, apakah acara semacam itu ada tuntunannya atau
tidak. Utsman bin Abil ‘Ash diundang ke (perhelatan) Khitan, dia enggan untuk
datang lalu dia diundang sekali lagi, maka dia berkata, “Sesungguhnya kami dahulu pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak mendatangi walimah khitan dan tidak diundang.” (HR. Imam
Ahmad).
Berdasarkan Atsar dari Utsman bin Abil’Ash di
atas, walimah khitan adalah tidak disyariatkan, walaupun atsar ini dari sisi
sanad tidak shohih, tetapi ini merupakan pokok, yaitu tidak adanya walimah
khitan. Karena khitan merupakan hukum syar’i, maka setiap amal yang ditambahkan
padanya harus ada dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan walimah ini
merupakan amalan yang disandarkan dan dikaitkan dengan khitan, maka membutuhkan
dalil untuk membolehkannya. Semoga Allah ta’ala memudahkan kaum muslimin untuk
menjalankan sunah yang mulia ini.
H.
Tujuan, Manfaat dan Hikmah Melaksanakan
Khitan
Tujuan utama syariah kenapa khitan itu
disyariatkan adalah karena menghindari adanya najis pada anggota badan saat
shalat. Karena, tidak sah Shalat seseorang apabila ada najis yang melekat pada
badannya. Selain itu, tujuan utamanya yaitu untuk mengikuti sunah Rasulullah
SAW, dan mengikuti sunah Nabi Ibrahim as.
Adapun manfaat dan hikmah melaksanakan khitan
menurut beberapa sumber baik itu dari sumber medis ataupun ulama seperti Al-Hawani,
Seiykh al-Qardhawi, dan fatwa MUI dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1. Khitan
merupakan pangkal fitrah, syiar Islam dan syari’at.
2. Khitan
itu membedakan kaum muslimin dari pada pengikut agama lain.
3. Khitan
merupakan pernyataan Ubudiyah terhadap Allah SWT. Ketaatan melaksanakan
perintah, hukum dan kekuasaannya.
4. Khitan
bagi wanita tidak berbahaya ditinjau dari sisi medis.
5. Khitan
memaksimumkan kepuasan seks ketika jima’, (Fiqh Taharah, 172).
6. Dengan
khitan kemungkinan terserang penyakit sifilis, kanker penis (penile cancer)
atau kanker leher rahim (cervical cancer) sangat kecil.
7. Khitan
berpengaruh pada daya tahan sek. Falh Gray menyatakan berdasarkan
penelitiannya, orang yang khitan memiliki ketahanan lebih lama dibanding orang
yang tidak dikhitan dalam melakukan hubungan suami istri (al-Halwani: 46).
8. Dengan
di khitan akan lebih higinis (sehat). Menurut penelitian medis, infeksi bekas
urine lebih banyak diderita orang yang tidak disunat. Infeksi yang akut pada Usia
muda akan berakibat pada masalah ginjal di kemudian hari.
9. Mengurangi
resiko infeksi yang berasal dari transmisi seksual. Pria yang dikhitan memiliki
resiko lebih rendah dari infeksi akibat hubungan seksual, termasuk HIV/AIDS.
Dan ia juga akan Terhindar dari kebiasaan melakukan Onani.
10. Mencegah
problem terkait dengan penis. Terkadang, kulit muka penis yang tidak dikhitan
akan lengket yang sulit dipisah. Dan ini dapat berakibat radang pada kepala
penis (hasyafah), bengkak dan lecet.
11. Khitan
pada perempuan yaitu untuk menyeimbangkan syahwat perempuan. “Menurut para
ulama, jika wanita tidak dikhitan, syahwatnya terlalu besar. Jika khitannya
berlebihan, itu menjadi rendah syahwatnya. Maka dari itu, khitannya sedikit
saja untuk membuka selaput saja. (Majmu’ Fatawa 21/114).
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Khitan atau sunat adalah tindakan memotong
atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari penis. Sedangkan khitan pada perempuan adalah memotong bagian
bawah kulit lebih dan menutupi yang ada di atas vagina perempuan.
hukum waktu
melaksanakan khitan adalah wajib jika sebelum masuk umur baligh (Ibn al-Qayyim,
Tuhfah-110). Waktu yang dianjurkan yaitu ketika anak-anak dianjurkan untuk
solat (7 tahun) atau disebut juga waktu itsghar (Tuhfah-112). Dan waktu mubah
yaitu waktu selain yang disebutkan di atas.
Seorang anak haram di
khitan jika hal itu tidak mungkin dilakukan (bila dilakukan membahayakan),
semua ulama sepakat haram mengkhitannya. Adapun jika seorang Muslim meninggal belum di Khitan maka Ulama
fiqh sepakat bahwa seseorang tersebut tidak perlu dikhitan, sebab kewajiban
khitan merupakan hukum taklifi, dengan meninggal maka hukum itu menjadi gugur.
Lebih dari itu tujuan khitan adalah untuk mensucikan najis.
Dalam tinjauan medis khitan perempuan adalah
tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai
klitoris. Dan khitan di anjurkan dalam segi medis. Sedangkan dalam tinjauan
hukum Islam khitan itu wajib di laksanakan baik bagi laki – laki maupun
perempuan. Namun, jika di tinjau dari pandangan para ulama mazhab, Hukum khitan
di bagi menjadi dua (2). Yaitu hukumnya wajib bagi laki – laki dan perempuan
itu menurut pendapat mazhab Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Sedangkan hukumnya sunah
fitrah bagi laki – laki dan makhrumah (kemuliaan) bagi perempuan dan itu
menurut Madzhab Hanafi dan Maliki juga Syeikh Dr. Yusuf
al-Qhardawi. Menurut beliau, sunnahnya adalah mendekati wajib. Jika khitan satu
negeri sepakat untuk tidak melaksanakan khitan, maka pemerintah tersebut wajib
memeranginya. Karena khitan disini merupakan salah satu Syiar Islam.
Menurut MUI dan ormas Islam, khitan adalah
bagian dari ajaran Islam yang sangat dianjurkan bagi umat Islam, baik bagi
laki-laki maupun perempuan. Khitan bagi perempuan diperbolehkan asal tidak
berlebihan. Maksud dari berlebihan adalah memotong clitoral hood (kulit
pembungkus klitoris) jangan terlalu banyak. Departemen Kesehatan Indonesia juga
sudah mengeluarkan kebijakan mengenai khitan.
Dan masih menurut MUI, Hukum khitan perempuan
adalah khilaf, yaitu hukum antara wajib, makrumah dan sunah. Di dalam Fatwa no.
9 tahun 2008 tentang khitan perempuan, bagi laki-laki maupun perempuan termasuk
ibadah yang dianjurkan dengan tata cara tertentu.
Selanjutnya adalah, hukum walimah dalam
pandangan Islam. Berdasarkan Atsar dari Utsman bin Abil’Ash di atas, walimah
khitan adalah tidak disyariatkan, walaupun atsar ini dari sisi sanad tidak
shohih, tetapi ini merupakan pokok, yaitu tidak adanya walimah khitan. Karena
khitan merupakan hukum syar’i, maka setiap amal yang ditambahkan padanya harus
ada dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan walimah ini merupakan amalan
yang disandarkan dan dikaitkan dengan khitan, maka membutuhkan dalil untuk membolehkannya.
Tujuan utama syariah kenapa khitan itu
disyariatkan adalah karena menghindari adanya najis pada anggota badan saat
shalat. Selain itu, tujuan utamanya yaitu untuk mengikuti sunah Rasulullah SAW,
dan mengikuti sunah Nabi Ibrahim as. Adapun manfaat dan hikmah melaksanakan
khitan menurut beberapa sumber baik itu dari sumber medis ataupun ulama seperti
Al-Hawani, Seiykh al-Qardhawi, dan fatwa MUI dapat dipaparkan dibawah ini.
Khitan merupakan pangkal fitrah, syiar Islam
dan syari’at, Khitan merupakan salah satu masalah yang membawa kesempurnaan
Ad-Din yang disyari’atkan Allah SWT. Khitan itu membedakan kaum muslimin dari
pada pengikut agama lain, Khitan memaksimumkan kepuasan seks ketika jima’ (hubungan
seks) (Fiqh Taharah, 172). Dengan khitan kemungkinan terserang penyakit
sifilis, kanker penis (penile cancer) atau kanker leher rahim (cervical cancer)
sangat kecil. Terhindar dari peradangan, lecet, pembengkakan karena kulit penis
tertutup. Dengan khitan, anak terhindar dari bahaya melakukan onani.
DAFTAR PUSTAKA
Khitan
bagi Wanita, Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Al-Furqon edisi 6
Tahun V/ Muharram 1427/ Februari 200
Khitan
bagi Wanita, Ustadz Abu Nu’aim Al-Atsari, As Sunnah edisi 1/V/1421 H/2001 M
http://blog.wiemasen.com/hukum-khitan/ di Akses tanggal
08 Mei 2014
http://www.jadipintar.com/2013/10/Hukum-Khitan-Perempuan-tata-Cara-dan-Hikmahnya.html di akses tanggal 23 Mei 2014.
http://www.arrahmah.com/read/2013/01/21/26253-mui-dan-ormas-islam-tolak-larangan-khitan-perempuan.html di Akses tanggal 20 Mei 2014.
http://duniaglobalislam.blogspot.com/2011/05/hukum-khitan-bagi-laki-laki-dan.html di
Akses tanggal 20 Mei 2014.
http://salafy.web.id/khitan-bagi-wanita-imam-nawawi-141.htm dan www.who.int di Akses pada
tanggal 20 Mei 2014 jam 19:35.
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/polemik-khitan-wanita.html di
Akses tanggal 20 Mei 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar